Jumat, 18 September 2015

Berguru Pada Hukum atau Berhukum Pada Guru

Wujud Hukum Dalam Teori Hukum Klasik : Berguru Pada Hukum atau Berhukum Pada Guru[1]

Wajah hukum dalam setiap era peradaban manusia adalah manifestasi atas pola pikir dan kehidupan manusia di zamannya. Semakain modern dan cerdas manusia yang terlahir di suatu era maka tentu akan semakin modern dan maju peradaban hukumnya. Sebaliknya jika semakin primitive manusia yang terlahir pada suatu era maka peradaban hukumnya akan semakin dangkal. Logika sebab-akibat tersebut secara umum dapat diakui bersama sebagai hal yang lumrah terjadi, namun terkadang pemikiran-pemikiran tertentu akan berubah ketika ada satu orang saja pemikir yang berani berbeda. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sofisme atas pemikiran filsuf Ionia maupun bantahan Socrates atas ke-hedonisan hukum kaum sofi. Hukum selalu dituntut untuk mengikuti perkembangan manusia, sebab jika tidak maka hukum akan membuat kekacauan didalam peradaban manusia. Sangat lumrah jika kiranya Socrates menganggap bahwa sesungguhnya manusia harus mengakui hukum sebagai komitmen hidup di lingkungan sosial hingga ke lingkungan Negara. Sikap sokrates sungguh menggemparkan zamannya, Sokrates mencoba keluar dari kemunafikan kaum sofi yang “menjual-belikan” hukum.

Sebagai komitmen hidup kepada lingkungan sosial dan lingkungan Negara, hukum di masa Sokrates diletakan sebagai komitmen diri. Komitmen itu dibuktikan oleh Sokrates sekalipun ia berada dalam penjara yang sesat. Meski Socrates dihukum oleh peradilan sesat ia tetap menerima, karena ia sungguh menghormati komitmennya atas hukum. Negara seakan lupa bahwa tugasnya sebagai penyelenggara hukum haruslah menegakkan hukum dan menjauhkannya dari kekuatan-kekuatan penguasa. Namun apa daya, kekuatan pemikiran Socrates msih kalah dengan kuasa Negara atas hukum. Keteraturan yang diciptakan Negara cenderung berubah menjadi tirani ditengah orang-orang yang salah dalam mengendalikan hukum. Situasi tersebut membuat murid Socrates, Plato (427 SM – 347 SM)[2] berfikir untuk memodifikasi pemikiran Socrates. Hukum bagi Plato tak sebatas pada konsep keteraturan tatanan kehidupan manusia yang diatur oleh Negara, tapi juga diperlukan idea (akal/logika) dalam menjalankannya. Hukum memerlukan logika kecerdasan atas keadilan dan logika kecerdasan atas moral[3]. Hukum yang diatur dan dilaksanakan oleh Negara, bagi Plato haruslah dipakai untuk menegakkan keadilan dengan menggunakan instrument aturan (perundang-undangan). Kesempurnaan penegakan hukum akan tercipta jika idea (akal/logika) dapat membawa para pemimpin Negara beserta aparaturnya kearah kecerdasan moralitas yang baik. Dengan demikian nantinya Negara yang berhukum dapat berjalan dengan dipimpin oleh aparatur Negara yang baik pula.

Jadi bagi Plato, hukum itu bukan hanya soal komitmen (kontrak) sosial antara masaing masing individu dengan individu lainnya ataupun dengan Negara, tapi juga soal Negara itu sendiri. Apakah kemudian komitmen sosial maupun komitmen Negara atas hukum dapat dijalankan dengan sendirinya tanpa ada individu-individu yang baik didalamnya?  Dalam khasanah berfikir Plato, kesempurnaan individu dalam berhukum akan dapat terwujud jika Negara berada dalam konteks yang benar, yaitu Negara dibawah kendali guru moral, para pemimpin yang bijak, para mitra bestari maupun individu lain yang secara moral telah teruji.[4] Dengan di kendalikan oleh aristocrat yang secara moralitas terjamin, maka hukum akan menghadirkan keadilan ditengah-tengah situasi yang sedang sulit mencipta keadilan. Sebagaiman situasi sulit yang dialami oleh gurunya, Socrates, yang sulit menemukan keadilan ditengah belantara hukum dan Negara. Jadi Plato menyampaikan ke permukaan bahwa hukum merupakan tatanan terbaik untuk menata dunia fenomena dengan idea agar ketidak adilan dapat berubah dengan keadilan bersama dengan penghimpunan aturan-aturan yang ada oleh lembaga yang disebut Negara. Dengan mengarungi pemikiran Plato, paling tidak Plato menginspirasi bahwa komitmen atas hukum pada Negara harus diimbangi dengan kecerdasan moralitas bagi aparat Negara itu sendiri sehingga gagasan hukum bagi keadilan dapat tercapai.

Balada guru dan murid antara Socrates dan Plato nampaknya merupakan fenomena pada era itu, dimana setelah Plato menelurkan teori-teorinya Aristoteles[5] (384 SM – 322 SM) yang merupakan murid Plato kemudian mengkritisi pandangan Plato soal hukum. Secara sederhana Aristoteles menyampaikan bahwa hukum bukan hanya bertujuan atas keadilan tapi juga harus memberikan kebahagiaan (eudainmonia)[6] bagi setiap inan yang menikmati hukum itu. Hukum tidak dibenarkan untuk menebarkan ancaman kepada individu-individu. Hukum bukan hanya soal doktrin benar-salah atas apa kata undang-undang, tapi lebih jauh lagi justru soal keadilan yang membahagiakan. Jadi basis dari hukum selain soal moralitas normanya, moralitas instrument pelaksanya juga terkait dengan basis kesamaan dalam keadilan dan kebahagian sebagaimana dipaparkan aristoteles.

Sebagaimana pendapat Plato bahwa Negara wajib menjamin keadilan atas hukum, maka Aristoteles menjadikannya lebih spesifik bahwa selain Negara menjamin adanya keadilan atas hukum, Negara juga wajib mendistribusikan keadilan itu kepada masyarakat agar dapat melahirkan kebahagian didalamnya. Distribusi keadilan atas hukum wajib dipenuhi oleh Negara tanpa terkecuali, sehingga manifestasi atas  eudainmonia bagi manusia-manusia yang telah berkomitmen pada hukum dan Negara dapat dicapai. Dengan demikian, konsep keadilan atas hukum bagi Arstoteles bukan hanya sesederhana keadilan berbasis kesamaan, tapi lebih jauh haruslah berupa keadilan yang distributif dan keadilan yang korektif. Keadilan harus disalurkan oleh Negara dalam kapasitasnya sebagai pelaksana atas komitmen hukum dari masyarakat kepada individu-individu secara proporsional sehingga dapat menyampaikan pesan keadilan yang mebahagiakan (eudainmonia) atas hukum. Demikian pula halnya dengan karakteristik keadilan korektif yang disimpulkan oleh Aristoteles dimana hukum harus memberikan keadilan yang mampu berwujud sebagai pembenar/pengkoreksi atas apa-apa yang belum benar didalam masyarakat (remedial). Setiap tindakan yang salah harus diberikan balasan yang adil oleh Negara sesuai dengan nilai moralitas dan etis dalam masyarakat dan setiap kerugian harus diganti sesuai dengan skala kerugian yang tercipta.

Hukum tidak selalu statis, hukum dan keadilan adalah guru dalam setiap sejarah peradaban manusia. Hukum yang usang bukan berarti hukum yang tidak tahu apa-apa, hukum yang usang adalah guru bagi hukum dimasa depan. Keberadaan hukum di masa lalu adalah pondasi atas ketahanan hukum dan keadilan dimasa depan. Hukum bersifat futuristik bukan karena norma-norma yang dikandung didalamnya saja, tapi juga soal instrument pelaksana yang ada didalamnya serta tentang komitmen atas hukum dan keadilan itu sendiri. Sebagaimana Al Qur’an menyampaikan bahwa : “Katakanlah (Muhammad): lakukanlah nadzar (penelitian dengan menggunakan metode ilmiah) mengenai apa yang ada di langit dan di bumi ...”[7]. Keilmiahan masa lalu bukan soal sejarahnya, tapi sejauh mana masa lalu dapat memberikan pandangan tentang masa depan hukum maupun keadilan dengan cara pengkajian secara ilmiah atas unur-unsur dan perilaku dimasa itu.

Yogyakarta, 18 September 2015






[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak, Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan) / Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
[2] http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-plato.html , diakses pada hari Jum’at, tanggal 18 September 2015, pukul 05.00 WIB.
[3] Teguh Prasetyo dkk, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum  (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat), Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2014, Hlm. 94.
[4] Bernard L. Tanya. Dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm. 40.
[5] Aristoteles (bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung – lih. https://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles .
[6] http://www.kompasiana.com/hariadideutsch/pola-pemikiran-socrates-plato-dan-aristoteles_550fd9fba33311c739ba7d5c , diakses pada hari Jum’at, tanggal 18 September 2015, pukul 05.30 WIB.
[7] QS. Yunus ayat 101.

Rabu, 16 September 2015

Hunian Vertikal Menyelamatkan Lingkungan (sawah)

Hunian Vertikal Menyelamatkan Lingkungan (sawah)[1]

Sebagai mahluk sosial, manusia memiliki kodrat untuk hidup bersama (menikah) dan memenuhi segala macam bentuk kebutuhan pokok yang biasanya dirangkum dalam sandang, pangan, papan. Kebutuhan akan sandang, pangan, papan merupakan hal alamiah yang membuat manusia kemudian berfikir keras untuk mengupayakan jalan agar kebutuhan tersebut terpenuhi. Menurut Abraham Maslow, manusia cenderung akan memenuhi kebutuhan dasarnya agar memiliki pondasi yang kuat dalam kehidupan dan kemudian barulah kebutuhan-kebutuhan lain secara bertahap akan dikejarnya. Hal tersebut menurut Maslow berlangsung secara instinctoid (alamiah) sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh hewan untuk memenuhi kebutuhannya. Ketika perut telah kenyang dan pakaian sudah cukup maka tujuan pemenuhan lainnya adalah papan (rumah). Kebutuhan akan rumah tinggal juga merupakan kebutuhan pokok yang (kadang) dalam pemenuhannya, diperlukan usaha yang ekstra keras. Usaha yang ekstra keras dianggap wajar, karena rumah bukan sekedar bangunan tempat berlindung saja. Lebih jauh dari itu, menurut beberapa ahli[2] rumah secara fisik berarti suatu bangunan tempat kembali dari berpergian, bekerja, tempat tidur dan beristirahat memulihkan kondisi fisik dan mental yang letih dari melaksanakan tugas sehari-hari. Sedangkan secara ditinjau secara psikologis rumah berarti suatu tempat untuk tinggal dan untuk melakukan hal-hal tersebut di atas, yang tentram, damai, menyenangkan bagi penghuninya. rumah dalam pengertian psikologis ini lebih mengutamakan situasi dan suasana daripada kondisi dan keadaan fisik rumah itu sendiri.

Dapat dibayangkan, selain pangan dan sandang, betapa rumah menjadi suatu kebutuhan yang cukup penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Dalam sebuah pepatah barat[3] yang kemudian menjadi inpirasi lagu[4] dikatakan bahwa, home is where the heart is (rumah adalah tempat dimana hati kita terpaut). Sungguh dalam dan penting arti rumah bagi peradaban manusia. Melihat pentingnya arti rumah bagi peradaban umat manusia tersebut maka tak heran jika kebutuhan rumah sangatlah tinggi. Sebagaimana data yang disampaikan oleh Real Estate Indonesia (REI) bahwa total kebutuhan rumah di Indonesia per tahunnya bisa mencapai 2,6 juta unit.[5] Jumlah kebutuhan tersebut tak semuanya dapat dipenuhi oleh pelaku pembangunan maupun pemerintah, sebab dalam setahun masih terdapat kekurangan jumlah unit sebanyak 400ribu. Data REI tersebut bukanlah isapan jempol semata, tapi justru seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah. Pemerintah perlu mewaspadai angka pernikahan yang setiap tahunnya memiliki trend meningkat. Sebagaimana data yang disajikan oleh BKKBN RI dimana pada 2009 jumlah masyarakat yang menikah sebanyak 2.162.268 dan pada tahun 2013 menjadi sebanyak 2.218.130 pernikahan.[6]  Data BKKBN tersebutlah yang seharusnya menjadi acuan peringatan bagi Pemerintah dimana sesungguhnya keluarga-keluarga baru tersebut selalu berorientasi untuk memiliki rumah tinggal sendiri. Kalau tadi disampaikan bahwa home is where the heart is maka bagi setiap pasangan baru, belum ada tempat untuk hatinya berpaut, karena saat ini lahan perumahan makin sempit dan harga tanah makin mahal. Karena mahalnya harga tanah, pelaku pembangunan sulit membebaskan lahan hingga berhektar-hektar untuk membangun perumahan, apalagi dikota besar seperti Jakarta, Solo, Yogyakarta, Semarang, dll. Lahan semakin sempit dan potensi alih fungsi persawahan jadi perumahan semakin nyata.

Lalu dengan situasi yang demikian itu apakah solusinya?

Dengan situasi demikian itu, maka pemanfaat lahan harus direncanakan dengan matang. Jika tidak tentunya akan mengorbankan lahan-lahan produktif yang menjadi lumbung atas ketahanan  pangan maupun ketahanan lingkungan. Perencanaan yang matang tentunya bisa dimulai dengan restrukturisasi aturan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Dengan memetakan lokasi-lokasi produktif untuk kepentingan ketahanan pangan dan ketahanan lingkungan maka kemudian pola hunian vertikal dapat dimulai. Pemetaan dengan mendasar pada RTRW maupun RDTR tentunya akan memberikan tren positif atas pembangunan hunian vertikal. Gesekan antara warga yang belum faham benar (konsep hunian vertikal) dengan pelaku pembangunan, pemerintah maupun penghuni hunian vertikal tersebut nantinya dapat dihindarkan. Masyarakat terdampat (sekitar) lokasi pembangunan hunian vertikal akan dengan senang hati menerima pembangunan hunian vertikal tanpa antipasti. Dengan merubah pola hunian mendatar menjadi pola hunian vertikal akan memberikan banyak keuntungan bagi keberlangsungan peradaban manusia, maupun lingkungannya. Dengan luasan tanah persawahan yang saat ini terus berkurang, dari 13,83 juta hektare  menjadi 13,79 juta hektare (berkurang sebanyak 41.612 hektare)[7]. Situasi tersebut jelas perlu dikendalikan dengan konservasi lahan dan pemanfaatan lahan secara benar. Salah satunya adalah merubah pola hunian datar kepola hunian vertikal.

Jika menggunakan data REI yang telah disampaikan sebelumnya maka dapat dibayangkan berapa kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebanyak 2,6 juta hektare. Memakai logika sederhana saja, jika 1 (satu) unit rumah secara sederhana saja membutuhkan tanah 70 meter persegi maka berapa puluh juta meter persegi tanah yang akan ditutup beton? Berapa sawah yang harus dikorbankan? Tentunya sangat banyak dan luas, sehingga cukup menghawatirkan bagi keberlangsungan ketahanan pangan dan ketahanan lingkungan. Situasi tersebut belum ditambah dengan pola hidup orang Indonesia yang sulit diajak berhemat atas pemakaian energy dan air. Data yang dirilis website JDFI Green Festival 2008, dimana rata-rata pemakaian air bersih harian per orang Indonesia adalah 144 L atau setara dengan sekitar 8 botol galon air kemasan. (Survey Direktorat Pengembangan Air Minum, Ditjen Cipta Karya pada tahun 2006). Sedangkan rata-rata pemakaian air harian per orang Indonesia yang tinggal di kota besar bisa sampai 250 L atau setara dengan sekitar 13 botol galon air kemasan. (Sulistyoweni Widanarko, Guru Besar Ilmu Teknik Penyehatan Lingkungan UI, 2004).[8]  Sungguh ironi ditengah semangat untuk membangunan ketahanan pangan dan ketahanan lingkungan di Indonesia. Hal tersebut sangat bisa dirubah jika secara bersama-sama, pemerintah menggandeng pelaku pembangunan (swasta) dan para ahli untuk merubah pola hunian masyarakat yang hanya berkembang dikawasan datar menjadi pola hunian vertikal.

Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), tujuan penyelenggaraan rumah susun di Indonesia adalah menjamin terwujudnya hunian yang layak huni, serasi, sehat, seimbang, efisien, efektif dan terjangkau demi mewujudkan lingkungan yang baik guna membangun ketahanan ekonomi, sosial dan budaya.[9]  Negara telah mengatur sedemikian rupa agar masyarakat dapat menerima dan menjalankan pola hunian baru, yaitu pola hunian vertikal agar dapat dicapai ketahahan ekonomi, sosial, budaya maupun lingkunagn. UU Rusun tersebut telah cukup mengakomodasi segala kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan rumah susun, baik aspek kepentingan lingkungan, kepentingan sosial, budaya, ekonomi maupun hukum. Dengan pola hunian vertikal atau bahasa undang-undang dikenal Rusun, masyarakat dipaksa untuk merubah pola hidupnya yang tidak hemat dan tidak sadar lingkungan akan lebih sadar dan hemat.

Dengan adanya iuran pemakain air, listrik dan fasilitas umum maka dengan sendirinya jiwa pemboros masyarakat akan tergerus. Masyarakat akan lebih sadar bagaimana memanfaatkan sumber daya dan energi karena pola hunian vertikal menuntut masyarakat untuk megerti arti berbagi air dan berbagi fasilitas umum. Pola hunian vertikal juga akan membuat masyarakat memahami kebersaman dalam merawatfasilitas bersama. Hal tersebut secara umum telah diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Lebih jauh, pola hidup hemat akan diperoleh dengan cara berbagi, dimana tadinya sebuah ruko yang berlantai tida dan hanya dipakai oleh 1 kantor saja kemudian dapat dipakai untuk 3 kantor sekaligus. Tentunya dengan menggunakan system hunian vertikal. Kebiasaan mencuci kendaraan sambil menghambur-hamburkan air akan terhenti karena fasilitas air yang ada diparkir mobil adalah air bersama yang harus digunakan secara bijak. Pemakaian energy harus digunakan secara bijak dan cenderung berhati-hati karena satu saja kesalahan dan kecelakaan menggunakan energy akan berakibat pada rusaknya banyak bangunan disamping, diatas mapun dibawah kita. Dengan menaikan hunian keatas dan semakin keatas maka sawah dan lahan hijau lainnya dapat dipertahankan. Keakraban dalam suasana perkumpulan RT-RW (pada hunian datar) dapat diterapkan dan ditemukan dalam perhimpunan penghuni pemilik satuan rumah susun (PPPSRS).

Dapat dihitung berapa banyak lahan persawahan diselamatkan dengan pola hunian vertikal. Berapa banyak pola hidup yang akan berubah dengan adanya system hunian vertikal. UU Rusun telah mengakomodasi lebih jauh tentang kesempatan memiliki rumah bagi pasangan-pasangan muda yang tergolong dalam masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) baik dalam proses jual beli maupun dalam hal pengadaan.[10]  Tak dipungkiri bahwa sikap antipati (menolak) masyarakat terhadap penyelenggaraan rumah susun (pola hunian vertikal) dilandasi atas ketidak tahuan mereka akan sudut lainnya dari penyelenggaraan rumah susun. Belum lagi provokasi dari lembaga-lembaga non pemerintah yang tidak sepenuhnya faham akan pola hunian vertikal. Sibuk menyuarakan selamatkan lingkungan tolak hunian vertikal tapi membiarkan perambahan hutan untuk pabrik sawit maupun hunian mendatar. Jadi mari bersama mempelajari apa itu system hunian vertikal, dan tinggalah di rumah susun untuk menyelamatkan lingkungan!

Yogyakarta, 16 September 2015






[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak, Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan) / Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
[2] http://rizkikhaharudinakbar.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-rumah-fungsi-dan-syarat.html , diakses pada hari Rabu,  tanggal 16 September 2015, pukul 06.00 WIB.
[3] Pliny the Elder,  Read more at http://www.brainyquote.com/quotes/topics/topic_home.html#dKAzrmKyou2VBzd1.99en
[4] https://www.youtube.com/watch?v=xGDmZw-liFg , diakses pada Rabu,  tanggal 16 September 2015, pukul 05.00 WIB.
[6] http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesia-meningkat-setiap-tahun-ini-datanya , diakses pada hari Rabu tanggal 16 September 2015, pukul 06.15 WIB.
[7] http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150302151819-92-36104/jumlah-lahan-berkurang-produksi-padi-tahun-lalu-merosot/ , diakses pada hari Rabu tanggal 16 September 2015, pukul 06.35 WIB.
[8] http://jdfi.co.id/greenfestival/GreenFest08-kmandi.php , diakses pada hari Selasa tanggal 15 September 2015, pukul 16.30 WIB.
[9] Lih. Pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.
[10] Lih. Ketentuan Pasal  16, 21, 54, 72, 80, 81, 82, 86, 87, 88 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.

Selasa, 15 September 2015

Wujud Hukum Dalam Teori Hukum Klasik : Hukum Klasik Rasa Modern

Wujud Hukum Dalam Teori Hukum Klasik : Hukum Klasik Rasa Modern[1]

Dalam pandangan filsuf Ionia (Kota Miletos, 6 SM) hukum adalah representasi kekuatan (teori hukum klasik). Hukum dibentuk oleh kekuatan yang ada dan diakui saat itu. Jika kekuatan yang ada dan diakui itu dzalim maka akan dzalim pula wajah hukum yang ada di masyarakat, sebaliknya jika kekuatan yang ada dan diakui itu bijaksana maka akan bijaksana pulalah wajah hukum yang ada di masyarakat. Hal tersebut membuat hukum lebih sering menjadi alat bagi pemegang kekuatan. Hukum dipakai untuk egoisme sempit agar kepentingan pemegang kekuatan terjamin tanpa memperhatikan kehidupan sosial lainnya. Hukum alam yang ‘telanjang’ dipuja oleh kalangan filsuf Ionia. Pandangan kosmologi alamiah dan mitis para filsuf Ionia tersebut melahirkan hukum yang hanya memiliki raga.

Hukum tak sepatutnya hanya barisan raga-raga yang kuat, namun justru lebih jauh hukum pun harus memiliki jiwa. Pandangan filsuf Ionia terkoreksi sesaat oleh kalangan Sofis[2] yang menelurkan konsep hukum yang selain memiliki raga, juga memiliki jiwa. Kaum Sofis tak lagi menatap hukum setelanjang para filsuf Ionia, para filsuf sofis telah “membumbui” wajah hukum dengan bumbu-bumbu lain yang diidentikan sebagai jiwa-nya hukum. Pandangan filsuf sofis ini tentunya langsung merobohkan pemujaan atas bentuk hukum kalangan filsuf Ionia yang mewujudkan kekuatan sebagai satu-satunya wajah hukum. Sofisme menyatakan bahwa manusia tak hanya berkekuatan fisik, tapi juga memiliki akal (logos), maka kemudian logos itulah yang menjadi pikiran pembeda dari konsep hukum klasik filsuf Ionia.[3] Paham Sofis tak semata-mata menggunakan pendekatan fisik secara bulat-bulat namun justru mengarah kepada keteraturan (nomos) yang berinti pada moralitas alam. Kekuatan boleh berkuasa tapi tak semata-mata berkuasa menjadi hukum, perlu bagi kekuatan itu untuk memperhatikan nilai kepantasan yang disaring melalui moral alam itu tadi. Moral alam bagi kaum Sofis di implementasikan kedalam nilai kepatutan atas setiap perilaku yang ada. Bukan kepatutan sempit tapi kepatutan luas menurut akal (logos) yang waras. Pada era ini, hukum seakan telah menempati posisi yang ideal sebagai pola untuk mengatur dan mewujudkan konsep nomos.

Jika pada pandangan filsuf Ionia hukum merupakan pandangan hidup yang tertutup atas dasar survival effort maka di era Sofis hukum diadaptasikan pada konsep yang lebih terbuka dengan menambahkan moralitas alam atas kekuatan fisik itu tadi. Konsep inilah kemudian yang membuat pandangan kaum Sofis menjadi “minus”. Kaum Sofis dengan sofisme-nya ternyata memiliki standar ganda atasa pandangan terhadap hukum, dimana titik tolak utama ternyata bukan soal moralitas alam tadi, melainkan masih pada soal kekuatan fisik. Hukum yang baik memang harus memperhatikan nilai moralitas alam (kepatutan umum yang waras) namun determinasi moralitas alam itu masih sangat mungkin kalah atas kekuatan. Hal demikian (kekalahan moralitas alam atas kekuatan manusia) dapat terjadi karena pandangan Sofisme menitik beratkan pada pelaku atas hukum itu sendiri dimana para Sofisme masih mengakui bahwa orang-orang kuat dan berkuasalah yang mampu membentuk hukum serta tentunya menjalankan hukum itu.

Pada akhirnya, sebagai reaksi atas pandangan kaum Sofis tersebut, kemudian Socrates[4] (469-399 SM) memunculkan pandangannya sebagai perlawanan atas faham filsuf Ionia dan faham Sofisme. Menurut Socrates, para filsuf Ionia terlalu memuja kekuatan (manusia) sebagai sentral atas pembentukan hukum, sama halnya dengan kaum Sofis yang tak memahami secara utuh bahwa posisi logos dalam membentuk hukum tidak menempatkan manusia sebagai sentralnya. Dalam alam pemikiran Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, hukum merupakan tatanan kebajikan  yaitu tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah piranti untuk melegetimasi setiap kekuatan yang berkuasa (membantah filsuf Ionia) dan bukan juga alat bagi cendikia untuk membenarkan manusia dengan pembenaran alam (membantah filsuf sofis)[5].  Menurut Socrates, tujuan kehidupan manusia adalah untuk mencapai kebahagian (eudaimonia). Dengan pandangan itulah kemudian Socrates menyimpulkan bahwa kebajikan adalah pengetahuan dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka kekeliruan hanya datang dari kegagalan untuk mengetahui apa yang baik. Sebab itu pulalah Socrates tidak takut ketika menghadapi peradilan yang sesat, karena menurut Socrates, pembangkangan atas hukum (walaupun hukum sesat) adalah pembangkangan atas peradaban manusia itu sendiri. Maka dari itu Socrates menerima dengan tangan terbuka putusan peradilan sesat itu.

Pada zaman se-klasik itu, Socrates berpendapat bahwa hukum merupakan kontrak sosial yang melahirkan kewajiban moral untuk menaati hukum. Dimana kontrak sosial itu dibuat maka disitulah kewajiban moral timbul untuk menaatinya. Bentuk hormat pada hukum bukan karena bentuk hukum itu, tapi justru karena penghargaan yang tinggi atas kontrak sosial yang telah dibuat dan rasa hormat atas lembaga sosial yang luhur (Negara). Ketika pandangan atas hukum bisa memakai pandangan Socrates maka paling tidak, akan banyak orang yang beranggapan bahwa bila melanggar hukum akan mengakibatkan pencabikan atas landasan hidup bersama (kontrak sosial). Secara umum Socrates juga berpendapat bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh factor-faktor non manusia termasuk ekonomi, dimana seringkali pelanggaran hukum terjadi karena kebutuhan untuk memenuhi kenikmatan diri.

Sungguh indah pandangan Socrates atas wajah hukum yang ideal pada masanya. Pada zaman se-klasik itu Socrates telah mengidentifikasi wajah hukum dengan pemikira  yang sangat modern bahwa hukum bukan untuk hukum itu saja, melaninkan hukum dibuat justru untuk manusia itu sendiri. Jadi ada korelasi antara bentuk hukum dengan kebutuhan dan perkembangan manusia. Tidak kemudian membuat hukumberdasarkan kekuatan yang ada, atau melegitimasi moral alam demi kepentingan kaum pintar sofisme. Socrates memberikan pandangan bahwa hukum pada zaman klasik pun dapat menjelma menjadi hukum klasik dengan rasa modern dimana kekuatan-kekuatan fisik maupun pemikiran-pemikiran non fisik pada masa itu coba ia mentahkan. Semoga dalam era modern ini tidak justru mengalami kemunduran dengan wajah hukum modern dengan rasa klasik (siapa kuat dia dapat/menang). Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S. An Nahl (16) ayat 90[6]. Semoga.

Yogyakarta, 15 September 2015




[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak, Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan) / Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
[2] Sofis adalah nama yang diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup dan berkarya pada zaman yang sama dengan Sokrates. Mereka muncul pada pertengahan hingga akhir abad ke-5 SM
[3] Bernard L. Tanya. Dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm. 27.
[4] Socrates (Yunani: Σωκράτης, Sǒcratēs) (469 SM - 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat.
[5] http://rgs-opini-hukum.blogspot.co.id/2013/05/hukum-menurut-socrates.html, diakses pada tanggal 15 September 2015, pukul 05.00 WIB.
[6] "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran".

Sabtu, 12 September 2015

Wujud Hukum Dalam Teori Hukum Klasik : Kekuatan adalah Hukum

Wujud Hukum Dalam Teori Hukum Klasik : Kekuatan adalah Hukum[1]

Kehidupan manusia merupakan sebuah perjalanan waktu yang memiliki wujud tak serupa dalam setiap masanya. Manusia selalu memberikan kontribusi bagi zamannya masing-masing, baik itu kontribusi yang berdampak positif maupun yang berdampak negatif kepada lingkungannya. Sejarah selalu membuktikan bahwa manusia selalu menjadi perusak dalam tatanan kehidupannya sendiri sekaligus kadang menjadi “montir” bagi kerusakan itu sendiri. Secara umum sejarah dunia mencatat bahwa hancurnya peradaban Kota Miletos[2] adalah buah karya dari bangsa Persia yang haus akan kekuasaan dan penaklukan. Miletos yang terkenal dengan tokoh-tokoh filsufnya, banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran menakjubkan pada zamannya. Sebagai dampak dari pemikiran-pemikiran yang luar biasa dari para filsuf Miletos, kota itu menjadi pusat peradaban bagi filsafat barat. Dengan kemampuannya (nafsu) manusia selalu merusak peradaban dan kemudian memperbaikinya lagi dengan kekuatan yang baru.
Pola kehidupan manusia seperti tersebut diatas seakan terus terulang dan sulit dicegah disetiap zamamnnya. Tercatat dalam sejarah bahwa manusia merupakan penemu yang berbakat, ketika banyak penemuan diciptakan untuk kemajuan manusia dan kedamaian, justru menjadi alat untuk saling menguasai. Berkaca pada kejadian di era abad 6 SM di Kota Miletos, dapat sedikit diambil pelajaran bahwa setiap kekuatan manusia sesungguhnya adalah malapetaka jika tak dikendalikan dengan baik. Para filsuf Miletos (Ionia) seperti Anaximander, Thales, Heraklitus dan Empedocles yang sangat dekat dengan kosmologi kealamiahan dan mitis menyimpulkan bahwa kekuatan sesuangguhnya merupakan inti dari tatanan alam.[3] Kesimpulan tersebut bukan isapan jempol semata ketika memang faktanya banyak yang kuat kemudian berkuasa dalam menata kehidupan lingkungannya. Kesimpulan para filsuf Kota Miletos tersebut dapat dipahami secara naluriah, sebab pada zaman itu yang kuatlah yang akan dominan menguasai tatanan kehidupan, sebagaimana Persia kemudian menaklukan Ionia. Pandangan kosmologi alamiah dan mitis para filsuf Ionia tersebut melahirkan  konsep bahwa sesungguhnya kekuatan adalah hukum. Maka dengan demikian yang kuat akan mampu membentuk hukum.
Dalam kehidupan masyarakat hukum menjadi domain penting yang digunakan untuk mengatur pola kehidupan masyarakat. Patut dimengerti bersama bahwa pada era klasik semacam era Kota Miletos tersebut, hukum merupakan cerminan kekuatan yang ada. Dinamika sosial tidak bisa dikatakan sebagai dinamika yang majemuk dan berwarna. Dinamika sosial adalah dinamika satu warna, dimana warna yang kuat akan menghapus warna sosial yang lain. Situasi tersebut menjadi sebuah cerminan wajah masyarakat yang belakangan dikenal sebagai konsep “feodal”. Tak pantas rasanya seorang manusia yang tak memiliki kekuatan apapun melakukan protes atas ketidakadilan sosial yang ia alami. Justru yang terjadi adalah ketika sesuatu yang terjadi berada diluar kuasanya, maka setiap insan yang berada didalam system tersebut akan menerima dengan terbuka. Ketidakberanian mendobrak atas apa yang terjadi merupakan hal lazim pada zaman itu di kota Miletos. Keberadaan penguasa merupakan symbol dari tegaknya hukum.
Ketika sekelompok manusia tersesat dihutan, maka hukum yang terbentuk adalah siapa yang survive dialah yang dapat menjadi hukum dalam kelompok itu. Tak ada peluang bagi ruang diskusi ataupun kebersamaan menentukan tujuan. Jika ingin selamat didalam hutan maka kekuatanlah yang dipakai dalam menentukan sikap, bukan lagi pada tatanan moralitas ataupun etika. Ketika seorang ibu harus mendiamkan anak kecil yang menangis ditengah kejaran hewan buas, maka bekapan kematian merupakan simbol atas tegaknya hukum demi untuk survive ditengah hutan. Tak perlu pembelaan jika si anak yang menangis itu kehilangan nyawanya, karena dia tidak kuat untuk bertahan dalam keadaan itu. Sekali lagi terbukti bahwa Kekuatan adalah tatanan hukum yang sempurna dalam wajah hukum di zaman klasik. Tak salah pula ketika Al Qur’an[4] menceritakan bahwa Fir Aun menciptakan hukumnya sendiri untuk menghidupmatikan seseorang. Bagi firaun, hukum adalah kekuasaan dan kekuatan yang ia genggam, hukum adalah firaun itu sendiri.
Seorang filsuf asal Amerika bernama Ayn Rand (1905-1982) mengatakan bahwa egoisme tidak punya rasa malu, siapapun berhak untuk angkat bahu menentukan hukum bagi nasibnya sendiri.[5] Bagi Rand yang merupakan kelahiran Rusia ini, rasa iba adalah kelemahan bagi manusia, siapa yang cepat iba maka celakalah ia. Pemikiran Rand tersebut senyampang dengan apa yang ada dalam pola kehidupan zaman klasik dimana rasa kasian adalah titik lemah dari hukum. Sekali lagi penulis menyampaikan bahwa cerminan pemikiran Rand dan tentunya para filsuf Ionia tersebut adalah pemikiran wujud hukum pada zaman klasik dimana memang kekuatan merupakan determinasi hukum atas kehidupan. Sulit menghindarkan anggapan bahwa wujud hukum pada zaman klasik adalah wujud hukum yang mengerikan dimana penguasa adalah pembentuk hukum dan kaum lemah adalah santapan empuk bagi pembuat hukum, jika kaum lemah itu tak tunduk.
Pemikiran tentang wujud hukum klasik yang “mengerikan” tersebut tentunya tak dapat lagi di implementasikan dalam era yang modern ini, karena telah banyak titik lemah yang kemudian tidak membuat hukum sebagai piranti yang memanusiakan manusia. Namun belakangan penulis sedikit mengendus bahwa pola hukum pada zaman klasik nampaknya sedang digandrungi oleh beberapa pemegang kuasa atas hukum. Lembaga seperti Kejaksaan, Polri, KPK, bahkan Presiden seakan membuat hukum sebagai implementasi dari kekuasaan yang mereka miliki. Taka da lagi hukum yang seharusnya buta dan tak berpihak. Hukum seakan mata angin kompas yang mengarah pada arah mana angina kekuasaan ingin menuju. Hukum tak lagi bisa menjadi tatanan hidup yang ideal bagi manusia yang menggantungkan nasibnya dalam hukum, tapi justru hukum sedikit-sedikit memangsa setiap manusia yang mencoba mengahalnginya. Apakah kemudian  pengandaian, “roda itu bulat kadang diatas kadang dibawah” dapat menjadi pembenar atas perilaku hukum penguasa yang seakan kembali pada wujud hukum di zaman klasik? Hukum sebagai tatanan kekuatan tak dapat lagi dibenarkan dalam zaman sekarang ini. Hukum sesungguhnya merupakan interpretasi atas kehidupan masyarakat itu sendiri.
Yogyakarta, 12 September 2015




[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak, Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan) / Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
[2] Kota miletos adalah salah satu dari kota-kota di Ionia yang berada di Asia Kecil dengan peradaban yang baik dalam bidang ekonomi dan kutural. Pada era abad 6 SM, Kota Miletos adalah pusat peradaban Ionia dengan para filsufnya. (www.wikipedia.org)
[3] Bernard L. Tanya. Dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010.
[4] Al Qur’an surat Taha (136 ayat) dan Surat Al-Qasas (88 ayat) yang menceritakan betapa tiran-nya raja Firaun pada zamannya, dan ia menciptakan hukum dengan kekuatannya dengan membunuh dan menghidupkan orang (tidak membunuh).
[5] Ulasan mengenai pemikiran Ayn Rand ini, lihat Nathaniel & Barbara Branden, Who is Ayn?, 1962.

Kamis, 19 Maret 2015

Gubernur Untuk (Rakyat) Bengkulu

GUBERNUR UNTUK (RAKYAT) BENGKULU


Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia merencanakan untuk menggelar Pilkada secara serentak di tahun 2015. Pilkada tersebut dilaksanakan bagi daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis sepanjang tahun 2015. Tak kurang dari  8 provinsi, 170 kabupaten dan 26 kota yang akan menggelar Pilkada sepanjang tahun 2015. Meski sempat terombang-ambing oleh dinamika politik nasional terkait pola pemilihan langsung atau perwakilan, akhirnya pemilihan kepala daerah tetap menggunakan pola pemilihan langsung. Dengan dinamika sidang yang cukup “smooth” pada tanggal 17 Februari 2014 Undang-Undang Pilkada direvisi dengan 11 poin penting perubahan yang dibacakan oleh Rambe Kamarulzaman. Sebuah kepastian hukum telah disepakati oleh KPU selaku penyelenggara Pemilu, Pemerintah dan DPR. Kepastian hukum tersebut tentunya merupakan angina segar bagi para politisi daerah yang cukup lama dirundung kegundahan akan aturan main pilkada. Tak terkecuali para politisi di Bengkulu, dimana Bengkulu merupakan salah satu dari 8 daerah yang masa jabatan Gubernurnya habis ditahun 2015 ini.

Merupakan sebuah kelaziman ketika pesta demokrasi 5 tahunan bagi daerah tersebut menawarkan banyak pengharapan baru. Tak hanya soal nama pemimpin yang baru tapi justru yang dinanti adalah konsep-konsep anyar terkait pola pembangunan suatu daerah tersebut. Bengkulu sebagai salah satu daerah yang ikut terjadwal dalam Pilkada serentak tersebut juga mempunyai dinamika tersendiri. Mulai dari kedua petahana (Gubernur dan Wakil Gubernur) yang sama-sama berambisi mencalonkan diri, hingga hasrat para bupati untuk menantang sang petahana. Tak hanya itu, Bengkulu rupanya juga menarik bagi Bupati daerah sekitar Provinsi Bengkulu untuk menjajal peruntungannya sebagai Calon Gubernur. Pilkada Bengkulu menjadi semakin menarik ketika para bakal calon tersebut membangun komunikasi politik ke partai maupun ke masyarakat. Berbagai konsep soal memperbaiki Bengkulu disampaikan para bakal calon seakan mereka adalah “kecap nomor satu” semua.


Dalam pola komunikasi politik dan pembangunan daerah di Bengkulu, figure nama besar  bukan jaminan untuk bisa sukses meraih suara di Bengkulu. Dengan pola ‘kedaerahan’ yang cukup kental pesta demokrasi di Bengkulu selalu menjadi milik warga Bengkulu, artinya, tawaran perbaikan dan pembaharuan selalu menarik untuk dijadikan alat komunikasi politik yang baik. Namun sayang 2 (dua) periode terakhir apa yang ditawarkan oleh pemimpin nomor 1 daerah ini tak terbukti dan terkesan jalan ditempat. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Asia Competitiveness Institute (ACI) National Univesity Singapore (NUS), Bengkulu yang pada tahun 2013 menempati posisi ke 27 dalam peringkat pertumbuhan ekonomi nasional dan turun pada tahun 2014 di peringkat 30 dari 33 Provinsi di Indonesia.  Hasil kajian tersebut tak hanya warning bagi para calon pemimpin baru di Bengkulu namun juga sebagai bahan intropeksi bagi rakyat Bengkulu secara umum. Sudahkah kita memilih pemimpin yang benar-benar memiliki konsep jelas dalam memperbaiki dan memperbarui Bengkulu?

Dalam konteks kepemimpinan Bengkulu yang kekinian, bukanlah sebuah parameter penting lagi mengenai limit kefiguran seorang calon gubernur. Bagi Bengkulu yang bisa dianggap sebagai daerah yang telah akut dalam kemunduran pembangunan, perilaku koruptif dan dekadensi moral, secara umum figure tak lagi menjadi jaminan perbaikan. Secara umum dengan situasi ekonomi, politik sosial dan budaya masyarakat Bengkulu saat ini, paling tidak ada 4 kriteria wajib yang harus dimiliki oleh seorang Gubernur Bengkulu. Pertama, Gubernur Bengkulu yang akan datang wajib memiliki kemampuan untuk membaca potensi Bengkulu. Dengan luas wilayah hampir 20juta kilometer persegi tentunya Bengkulu menyimpan banyak potensi yang bisa dikembangkan secara maksimal. Tak hanya soal luasan wilayah, jumlah penduduk yang menyentuh angka 2juta jiwa, warisan budaya dan sejarah, kontur wilayah yang berimbang antara perbukitan, lembah, dan laut juga merupakan potensi lain yang perlu dimengerti oleh Gubernur yang akan datang.

Kriteria kedua yang wajib dimiliki oleh Gubernur Bengkulu yang akan datang adalah calon Gubernur yang berorientasi pada pembangunan moral. Gubernur Bengkulu yang akan datang wajib membangun dan menjaga moralitas rakyat Bengkulu, seirama dengan apa yang digagas oleh Presiden Jokowi tentang revolusi mental. Kikis habis kepercayaan akan ‘upeti’ yang akan memuluskan seorang masuk menjadi abdi Negara (ASN/PNS). Semua wajib berdasarkan kompetensi dasar yang dimiliki oleh seorang pelamar, sehingga tata kelola pemerintahan benar-benar dijalankan oleh orang yang tepat. Kikis habis kebiasaan tentang kekerabatan dalam menunjuk seorang pejabat teras lingkungan pemerintahan, sehingga semua pekerjaan dilaksanakan dengan dasar profesionalisme. Kikis habis budaya asal Bapak/Ibu senang, sehingga budaya kerja tercipta dengan semangat yang dinamis dan riil sesuai apa yang terjadi dilapangan. Dengan membangun moralitas rakyat Bengkulu yang demikian itu maka kita dapat berdiri tegap dan siap bersaing dengan daerah lainnya.


Pengusaan atas potensi wilayah dan pembangunan moralitas semata tak bisa serta merta membuat Bengkulu maju. Diperlukan kriteria ketiga bagi Gubernur Bengkulu yang akan datang, yaitu kemampuan menggaet investor. Dengan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang  tidak signifikan dari tahun ketahun, sulit rasanya mengembangkan Bengkulu dengan kemampuannya sendiri. Pada Tahun 2013, total pendapatan daerah Rp 1,68 triliun dengan PAD hanya Rp 504,81 miliar. Sedangkan tahun 2014 hanya naik menjadi Rp 1,80 triliun, dengan PAD hanya Rp 532,93 miliar (Data terhimpun dari sumber buku APBD Provinsi Bengkulu). Bila tidak ditambah dana perimbangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) atau dari pusat, sudah dipastikan pendapatan daerah Provinsi Bengkulu sangat minim. Situasi tersebut sangat mengkhawatirkan, sehingga Gubernur yang akan datang wajib memiliki kemampuan untuk menggaet investor agar menginvestasikan modalnya di Bengkulu. Dengan jaminan investasi yang baik dari Gubernur, tentunya geliat investasi akan menggelora dan membuat masyarakat makin sejahtera. Tak hanya kesejahteraan masyrakat Bengkulu yang membaik, PAD Bengkulu-pun akan naik seiring kesejahteraan yang meningkat.

Kriteria terakhir yang wajib dimiliki oleh Gubernur Bengkulu yang akan datang adalah orientasi pembangun fisik di Bengkulu. Data tahun 2010 yang dirilis oleh Media Indonesia pada 2011, dari 750,40 km jalan Negara di Provinsi Bengkulu, 70 % (tujuh puluh persen)-nya mengalami keruskan berat. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya akses untuk menyambungkan ekonomi antar daerah. Belum lagi soal gedung sekolah yang skala keruskannya telah akut yang berimbas pada kwalitas pendidikan di Bengkulu. Ketika penguasaan akan potensi wilayah telah dikuasai, pembangunan moralitas telah terjaga dan investor dijamin kenyamanannya berinvestasi di Bengkulu, maka hal mutlak yang wajib dilakukan adalah pembangunan infrastruktur di seluruh penjuru Bengkulu. Situasi akan sangat ideal jika ke empat kriteria tersebut dimiliki, sebab Gubernur akan mengarahkan pembangunan infrastruktur ke daerah-daerah yang potensi perkembangannya baik dimasa depan. Kemudian dengan moralitas yang terjaga di kalangan aparat pemerintah dan masyarakat, budaya koruptif dapat dihindari dengan kesadaran untuk mengawasi pembangunan secara transparan dan professional disertai dengan suntikan investasi yang berkelanjutan dari para investor yang berkelas. Kedepan jika pembangunan infrastruktur di Bengkulu dapat berjalan dengan baik, maka rakyat Bengkulu dapat membusungkan dada dengan bangga, ketika jalan masuk ke Bengkulu dari Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Lampung halus dan lebar sehingga dapat menjadi jati diri kebanggaan bagi Bengkulu.

Keempat kriteria tersebut merupakan syarat wajib bagi Gubernur Bengkulu yang akan datang, sehingga Bengkulu yang maju, Bengkulu yang berkwalitas bukan hanya sekedar pemanis kampanye. Bengkulu yang maju dan berkwalitas dapat diwujudkan dengan simultan oleh pemerintahan yang baru beserta masyarakat yang berkesadaran dan mampu mengkritisi pemerintahnya. Jangan sampai rakyat Bengkulu dikibuli lagi oleh janji-janji manis para calon Gubernur saat kampanye. Rakyat Bengkulu harus benar-benar berfikir dalam menentukan piliha politiknya. Ini bukan sekedar pesta demokrasi biasa, ini situasi dimana masa depan Bengkulu dipertaruhkan lewat secarik kertas bergambar para pengumbar janji. Tetapkan pilihan dengan memperhatikan keempat kriteria wajib tersebut demi Bengkulu yang benar-benar berkwalitas. Salam Demokrasi!

Penulis :
Muhammad Zaki Mubarrak, SH., MH.
Putra Daerah Bengkulu/Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Univesitas Sebelas Maret Surakarta/Direktur Eksekutif Estungkara (lembaga kajian hukum, politik & pemerintahan)