Jumat, 31 Mei 2013

Urip Iku Sok2 Senengane Do Rebutan (Hidup Itu kadang-kadang sering berebut)


Hidup kadang menjadi sebuah kata yang teramat sulit untuk didefinisikan. Bagi sebagian orang hidup itu indah, namun bagi sebagian lain hidup itu runyam. Bagi yang merasa hidup itu indah maka kenyamanan akan dirasakan dalam setiap hembusan nafasnya. Ketika hidup itu dianggap runyam maka tiap kali mata terpejam, enggan rasanya untuk segera terbuka esok pagi. Runyam dan indah bukan sekedar definisi, namun lebih kepada cita rasa.

Cita rasa menikmati hidup ini bukan soal definisi, tapi soal bagaimana kita memaknainya. Ketika kita selalu berebut menjadi yang benar, ketika kita selalu berebut menjadi yang terpenting. Ketika "berebut" itulah kita lupa makna indahnya hidup, kita lupa bahwa berebut bukan hanya soal menjadi benar dan salah. "Berebut" juga soal memaafkan dan saling mengerti.

Hidup akan runyam ketika "berebut" hanya soal benar salah atau penting dan tidak penting. Apalagi ketika berebut itu telah memasuki ranah "aku" dan "kamu" maka hidup akan semakin runyam. Indahilah hidup ini dengan "berebut" yang positif. Berebut untuk saling mengerti. Berebut untuk saling memaafkan dan mengingatkan kebenaran.

Ketika "berebut" menjadi sesuatu yang positif, maka permaknaan hidup ini bukan hanya soal "aku" dan "kamu" namun justru akan muncul kata kita. Bukan hanya kita sekeluarga tapi "kita" sebagai umat. Niscaya hidup akan sangat indah dan sesekali saja runyam-nya. Jadi berebutlah menjadi manusi terbaik dalam berbagi.

Rabu, 29 Mei 2013

Darurat Amandemen Dalam UUD NRI 1945 (Negara Hukum + Kekuasaan)

Jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negara hukum, artinya hukum merupakan nafas yang selalu dihembuskan dalam setiap perjalanan bangsa. Seperti yang tampak belakangan, KPK dengan penuh semangat melakukan pemberantasan korupsi atas nama penegakan hukum (law enforcement). Luar biasa memang, ketika 2 orang ketua umum partai ternama di negeri ini ditetapkan sebagai tersangka. Seakan-akan hukum memang panglima di negeri ini. Sang ketua umum kedua partai tersebut seakan menjadi ikon penegakan hukum oleh KPK, seakan berseru bahwa hukum masih hidup dan masih menjadi Panglima di negeri ini. Ketangkasan KPK tersebut memang perlu diapresiasi sebagai sebuah keberanian institusi baik secara politis maupun secara hukum. Bukan Cuma sekedar festival seperti yang diungkapkan oleh salah satu politisi yang ketuanya jadi tersangka.
Keberanian dan ketegasan KPK diharapkan bukan Cuma milik KPK seorang sebagai institusi maupun perseorangannya yang ada didalam KPK itu. Keberanian itu seharusnya dapat ditularkan kepada institusi lain yang ada di negeri ini. Keberanian dan ketegasan harus hadir dalam setiap nurani penyelanggara negara. Mutlak dan wajib, karena negara ini telah kehilangan nuraninya. Penguasa bersalah memiliki nilai tawar yang tinggi jika dibandingkan dengan rakyat jelata yang benar. Benar salah bukan lagi relatif tapi mutlak milik penguasa. Bunyi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum agaknya perlu diamandemen ulang untuk yang kelima kalinya. Indonesia adalah negara hukum kekuasaan, itu tepat rasanya untuk menggambarkan situasi carut marut bangsa ini di era sekarang ini.
Indonesia sebagai sebuah negara hukum kekuasaan itu nyata, ada dan memiliki eksistensi yang terukur. Beberapa bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum kekuasaan acapkali muncul di media dan menggelitik rasa iba banyak orang. Pertama, seorang nenek renta asal Ajibarang Banyumas, bernama mbok minah dituduh mencuri 3 biji kakao yang terjatuh ditanah. Dalam proses penegakan hukum, mbok minah dikenakan pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian. Secara yuridis formil, perbuatan mbok minah memang telah memenuhi unsur-unsur pasal 362 KUHP dan mbok minah bersalah atas perbuatan itu. Disinilah eksistensi negara hukum kekuasaan menyeruak, dimana mbok minah yang renta dan tergolong rakyat jelata, dilaporkan oleh PT. Rumpun Sari Antan (RSA) atas sebuah tindak pidana pencurian. Kepolisian, Kejaksaan saklek menerapkan ketentuan hukum formil KUHP, dimana jelas tidak ada kemampuan intelektual, financial dan kekuasaan mbok minah untuk membela diri. Mbok minah pasrah terhadap laporan sebuah perusahaan yang memiliki kuasa secara finansial. Kepolisian seharusnya mampu menengahi urusan ini dengan kuasanya, dengan diskresinya, karena banyak energi dan biaya negara yang dikeluarkan dalam sebuah kasus ini. Tidak dengan serta merta maju terus karena secara formil unsur-unsurnya telah dipenuhi. Ironis memang, ketika penegak hukum lupa bahwa hukum itu bukan hanya soal kepastian, namun juga soal kemanfaatan dan keadilan. Kasus ini memang sudah cukup lama tapi masih menggelitik rasa keadilan masyarakat. Bukti pertama bahwa UUD NRI 1945 layak diamandemen ulang dan menambahkan 1 kata dalam Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum kekuasaan.
Kedua, adalah menyoal kasus seorang suami yang istrinya meninggal saat terjatuh dari motor, Lanjar Sriyanto. Lanjar, warga Solo yang pada sekitaran tahun 2009 memboncengkan istri dan anaknya terpaksa berurusan dengan hukum karena istrinya terjatuh dari motor dan meninggal. Oleh polisi, Lanjar dikenai Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain mati. Sungguh ironis, sudah kehilangan istri, anak luka-luka, Lanjar masih juga harus berurusan dengan hukum karena dituduh lalai. Walau pada putusan tingkat Kasasi MA memberikan hukuman 2 bulan percobaan namun hal ini kembali menggelitik rasa iba kita semua. Bandingkan dengan kasus kecelakaan yang menimpa anak Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Lanjar yang tergolong rakyat jelata, harus bersusah payah mempertahankan keadilan, waktu, tenaga dan mental dipertaruhkan didalamnya. Sedangkan dalam kasus Rasyid Rajasa, penegak hukum menerapkan Pasal 310 ayat (4) untuk dakwaan primer dan subsider Pasal 310 ayat (3), dimana akhirnya majelis hakim menjatuhi hukuman 5 bulan kurungan dengan masa percobaan 6 bulan dan denda 12 juta. Ditengah hiruk pikuk kasusnya, Rasid Rajasa masih bisa bermain futsal dan jalan-jalan dengan tenang tanpa kepanikan dan rasa was-was akan kasus hukum yang membelitnya. Lupakan soal pasal-pasal yang membelit Lanjar dan Rasyid, tapi mari kita bandingkan proses lahirnya keadilan dalam kedua kasus tersebut. Lanjar harus bersusah payah dan berjuang demi “keadilan” sedangkan Rasyid cukup dengan bermain futsal dan jalan-jalan, maka “keadilan” akan menghampiri. Pembelaan maupun pembenaran atas santunan yang dilakukan oleh keluarga Rasyid kepada korban boleh saja diacungi jempol, tapi masyarakat secara umum telah mahfum dan “mengerti” situasi kasus itu. Kekuasaan berbicara, dan keadilan secara utuh terdiam ketakutan. Sekali lagi ini membuktikan bahwa UUD NRI tahun 1945 perlu diamandemen.
Kasus ketiga yang menggelitik rasa iba adalah kasus mantan Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duaji. Masyarakat jelas telah melihat dan memahami duduk perkara kasus Susno Duaji, dimana ia didakwa korupsi dana Pilkada Jabar ketika ia masih menjadi Kapolda Jabar. Ketika putusan kasasi Mahkamah Agung keluar, dan tim eksekutor kejaksaan akan mengeksekusi tereksekusi, Susno justru berkelit. Susno berlindung dibalik kepakaran Yusril Ihza Mahendra. Benar saja, Yusril menemukan “celah hukum” versinya. Dijelaskan bahwa kasasi Mahkamah Agung tidak berisi kalimat-kalimat eksekutorial dan itu mengakibatkan perdebatan panjang dan menarik. Sialnya, Negara Republik Indonesia lewat tim eksekutornya, Kejaksaan Agung, dipermalukan di dunia internasional oleh Susno cs. Kejaksaan Agung gagal menegakan hukum dan kembali dengan tangan kosong, Susno melenggang dan menghilang beberapa saat. Kasus ini membuktikan bahwa kekuasaan bisa mengalahkan segalanya bahkan negara saja bisa kalah. Melalui kekuasaan retorika dan kekuasaan intelektualnya, Yusril mempermalukan Kejaksaan. Walaupun akhirnya Susno kembali sadar dan menyerahkan diri kepada kejaksaan, namun kasus ini membuktikan lagi bahwa negara Indonesia bukan lagi negara hukum, namun negara Indonesia adalah negara hukum KEKUASAAN dimana yang berkuasalah yang boleh dan bisa mengendarai hukum itu.
Ketiga contoh kasus diatas bukan akhir dan bukan pula sample tunggal, namun banyak lagi kasus-kasus lain yang membuktikan bahwa hukum dapat dikendarai oleh kekuasaan. Baik kekuasaan finansial, kekuasaan politis maupun kekuasaan intelektual. Benar saja jika taring keberanian KPK wajib ditularkan kepada institusi-institusi lain di negeri ini. Syukur-syukur tiap individu bisa tertular keberanian KPK dalam menegakkan hukum. Fiat Justitia Ruat Caelum, Hukum harus ditegakkan walau langit runtuh. Namun jika memang tak ingin  langit runtuh, maka negara harus segera mengamandemen UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menjadi : Negara Indonesia adlah negara hukum “kekuasaan”. Supaya kekuasaan secara yuridis formil dapat mengendarai hukum kemanapun ia mau.


Sumber-sumber :

Rabu, 01 Mei 2013

KAYUH TANPA KELUH

..puisi untuk Bapak & Mama

Tak terjangkau kayuhanmu dengan hela tiap nafasku..
Tak tergali perhatianmu dengan dayaku..
Tak terucap kebangganku akan keberadaanmu...
          
               Ayah, Ibu...Bahagiamu adalahsurgaku.....
               Tawamu merupakan simfoni nada-nada indah dalam setiap keluh ikhtiarku..
               Kini, bak piala bergilir...tiba saatnya kami akan merasakan....
               Peluhnya mengayuh tiap jengkal kehidupan.....

Ayah...Ibu...Tetesan air mata dan keringat ini bukan berarti kami menyerah...
Tapi ini adalah buliran nyata yang selalu memberi isyarat...
Bahwa kami...ingin selalu seperti kalian......Mengayuh tanpa pernah mengeluh....
Terus mengayuh dalam setiap jengkal cita-cita kami.....

               Ayah...Ibu..., ini bukan akhir dari rengekan tangis kami...
               Ini adalah awal mula kami memulai kehidupan seperti kalian....
               Doakan kami...restui kami.....untuk bersahabat dengan sang hidup....
               Tiba saatnya hidup nyata seperti kalian...