Jelas dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia adalah sebuah
negara hukum, artinya hukum merupakan nafas yang selalu dihembuskan dalam
setiap perjalanan bangsa. Seperti yang tampak belakangan, KPK dengan penuh
semangat melakukan pemberantasan korupsi atas nama penegakan hukum (law enforcement). Luar biasa memang,
ketika 2 orang ketua umum partai ternama di negeri ini ditetapkan sebagai
tersangka. Seakan-akan hukum memang panglima di negeri ini. Sang ketua umum
kedua partai tersebut seakan menjadi ikon penegakan hukum oleh KPK, seakan
berseru bahwa hukum masih hidup dan masih menjadi Panglima di negeri ini.
Ketangkasan KPK tersebut memang perlu diapresiasi sebagai sebuah keberanian
institusi baik secara politis maupun secara hukum. Bukan Cuma sekedar festival
seperti yang diungkapkan oleh salah satu politisi yang ketuanya jadi tersangka.
Keberanian dan ketegasan KPK
diharapkan bukan Cuma milik KPK seorang sebagai institusi maupun
perseorangannya yang ada didalam KPK itu. Keberanian itu seharusnya dapat
ditularkan kepada institusi lain yang ada di negeri ini. Keberanian dan
ketegasan harus hadir dalam setiap nurani penyelanggara negara. Mutlak dan
wajib, karena negara ini telah kehilangan nuraninya. Penguasa bersalah memiliki
nilai tawar yang tinggi jika dibandingkan dengan rakyat jelata yang benar.
Benar salah bukan lagi relatif tapi mutlak milik penguasa. Bunyi Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum agaknya perlu diamandemen ulang untuk yang kelima
kalinya. Indonesia adalah negara hukum kekuasaan, itu tepat rasanya untuk
menggambarkan situasi carut marut bangsa ini di era sekarang ini.
Indonesia sebagai sebuah negara
hukum kekuasaan itu nyata, ada dan memiliki eksistensi yang terukur. Beberapa
bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum kekuasaan acapkali muncul di media
dan menggelitik rasa iba banyak orang. Pertama, seorang nenek renta asal
Ajibarang Banyumas, bernama mbok minah dituduh mencuri 3 biji kakao yang
terjatuh ditanah. Dalam proses penegakan hukum, mbok minah dikenakan pasal 362
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian. Secara yuridis
formil, perbuatan mbok minah memang telah memenuhi unsur-unsur pasal 362 KUHP
dan mbok minah bersalah atas perbuatan itu. Disinilah eksistensi negara hukum
kekuasaan menyeruak, dimana mbok minah yang renta dan tergolong rakyat jelata,
dilaporkan oleh PT. Rumpun Sari Antan (RSA) atas sebuah tindak pidana
pencurian. Kepolisian, Kejaksaan saklek menerapkan ketentuan hukum formil KUHP,
dimana jelas tidak ada kemampuan intelektual, financial dan kekuasaan mbok
minah untuk membela diri. Mbok minah pasrah terhadap laporan sebuah perusahaan
yang memiliki kuasa secara finansial. Kepolisian seharusnya mampu menengahi
urusan ini dengan kuasanya, dengan diskresinya, karena banyak energi dan biaya
negara yang dikeluarkan dalam sebuah kasus ini. Tidak dengan serta merta maju
terus karena secara formil unsur-unsurnya telah dipenuhi. Ironis memang, ketika
penegak hukum lupa bahwa hukum itu bukan hanya soal kepastian, namun juga soal
kemanfaatan dan keadilan. Kasus ini memang sudah cukup lama tapi masih
menggelitik rasa keadilan masyarakat. Bukti pertama bahwa UUD NRI 1945 layak
diamandemen ulang dan menambahkan 1 kata dalam Pasal 1 ayat (3) Negara
Indonesia adalah negara hukum kekuasaan.
Kedua, adalah menyoal kasus seorang
suami yang istrinya meninggal saat terjatuh dari motor, Lanjar Sriyanto.
Lanjar, warga Solo yang pada sekitaran tahun 2009 memboncengkan istri dan
anaknya terpaksa berurusan dengan hukum karena istrinya terjatuh dari motor dan
meninggal. Oleh polisi, Lanjar dikenai Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang
menyebabkan orang lain mati. Sungguh ironis, sudah kehilangan istri, anak
luka-luka, Lanjar masih juga harus berurusan dengan hukum karena dituduh lalai.
Walau pada putusan tingkat Kasasi MA memberikan hukuman 2 bulan percobaan namun
hal ini kembali menggelitik rasa iba kita semua. Bandingkan dengan kasus
kecelakaan yang menimpa anak Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Lanjar yang
tergolong rakyat jelata, harus bersusah payah mempertahankan keadilan, waktu,
tenaga dan mental dipertaruhkan didalamnya. Sedangkan dalam kasus Rasyid
Rajasa, penegak hukum menerapkan Pasal 310 ayat (4) untuk dakwaan primer dan
subsider Pasal 310 ayat (3), dimana akhirnya majelis hakim menjatuhi hukuman 5
bulan kurungan dengan masa percobaan 6 bulan dan denda 12 juta. Ditengah hiruk
pikuk kasusnya, Rasid Rajasa masih bisa bermain futsal dan jalan-jalan dengan
tenang tanpa kepanikan dan rasa was-was akan kasus hukum yang membelitnya.
Lupakan soal pasal-pasal yang membelit Lanjar dan Rasyid, tapi mari kita
bandingkan proses lahirnya keadilan dalam kedua kasus tersebut. Lanjar harus
bersusah payah dan berjuang demi “keadilan” sedangkan Rasyid cukup dengan
bermain futsal dan jalan-jalan, maka “keadilan” akan menghampiri. Pembelaan
maupun pembenaran atas santunan yang dilakukan oleh keluarga Rasyid kepada
korban boleh saja diacungi jempol, tapi masyarakat secara umum telah mahfum dan
“mengerti” situasi kasus itu. Kekuasaan berbicara, dan keadilan secara utuh
terdiam ketakutan. Sekali lagi ini membuktikan bahwa UUD NRI tahun 1945 perlu
diamandemen.
Kasus ketiga yang menggelitik rasa
iba adalah kasus mantan Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duaji. Masyarakat jelas
telah melihat dan memahami duduk perkara kasus Susno Duaji, dimana ia didakwa
korupsi dana Pilkada Jabar ketika ia masih menjadi Kapolda Jabar. Ketika
putusan kasasi Mahkamah Agung keluar, dan tim eksekutor kejaksaan akan
mengeksekusi tereksekusi, Susno justru berkelit. Susno berlindung dibalik
kepakaran Yusril Ihza Mahendra. Benar saja, Yusril menemukan “celah hukum”
versinya. Dijelaskan bahwa kasasi Mahkamah Agung tidak berisi kalimat-kalimat
eksekutorial dan itu mengakibatkan perdebatan panjang dan menarik. Sialnya,
Negara Republik Indonesia lewat tim eksekutornya, Kejaksaan Agung, dipermalukan
di dunia internasional oleh Susno cs. Kejaksaan Agung gagal menegakan hukum dan
kembali dengan tangan kosong, Susno melenggang dan menghilang beberapa saat.
Kasus ini membuktikan bahwa kekuasaan bisa mengalahkan segalanya bahkan negara
saja bisa kalah. Melalui kekuasaan retorika dan kekuasaan intelektualnya,
Yusril mempermalukan Kejaksaan. Walaupun akhirnya Susno kembali sadar dan
menyerahkan diri kepada kejaksaan, namun kasus ini membuktikan lagi bahwa
negara Indonesia bukan lagi negara hukum, namun negara Indonesia adalah negara
hukum KEKUASAAN dimana yang berkuasalah yang boleh dan bisa mengendarai hukum
itu.
Ketiga contoh kasus diatas bukan
akhir dan bukan pula sample tunggal, namun banyak lagi kasus-kasus lain yang membuktikan
bahwa hukum dapat dikendarai oleh kekuasaan. Baik kekuasaan finansial,
kekuasaan politis maupun kekuasaan intelektual. Benar saja jika taring
keberanian KPK wajib ditularkan kepada institusi-institusi lain di negeri ini.
Syukur-syukur tiap individu bisa tertular keberanian KPK dalam menegakkan
hukum. Fiat Justitia Ruat Caelum, Hukum harus ditegakkan walau langit runtuh.
Namun jika memang tak ingin langit
runtuh, maka negara harus segera mengamandemen UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 ayat
(3) menjadi : Negara Indonesia adlah negara hukum “kekuasaan”. Supaya kekuasaan
secara yuridis formil dapat mengendarai hukum kemanapun ia mau.
Sumber-sumber
: