Minggu, 28 April 2013


Surat Terbuka Untuk Kapolda DIY dan Kapolri

Aturan lalu lintas untuk semua, bukan hanya untuk rakyat kecil


            Sabtu, 27 April 2013, sebuah kecelakaan terjadi di Jogjakarta, sebuah motor gede (moge) menabrak ambulance yang membawa jenazah. Belakangan beberapa saksi menyatakan bahwa moge yang dikendarai oleh seorang dokter specialis tersebut melanggar lampu lalu lintas. Moge dalam hal ini bukan salah satu kendaraan yang di istimewakan untuk dapat menerobos lalulintas. Walaupun para pemilik moge tersebut adalah orang-orang besar dan berduit tidak lantas bisa seenaknya melewati lampu merah yang menyala merah. Risih rasanya mata dan alam pikiran saya ketika melihat arogansi para pengendara moge dengan raungan suaranya. Dalam undang-undang 22 tahun 2009 dan beberapa aturan lain jelas disampaikan bahwa ambulance merupakan salah satu yang harus didahulukan. Namun dengan aroganya (menurut saksi dalam berita online detik) si pengendara moge melintas lampu lali lintas yang menyala merah. Yang terhormat bapak Kapolda DIY dan Kapolri, saya merasa perlu menulis surat terbuka ini kepada anda sekalian karena kebetulan beberapa hari ini Jogja sedang ada acara JBR (Jogja Bike Rendezvous) dan saya pun sering melihat prtugas bapak acuh terhadap pengguna moge yang melanggar lampu lalu lintas.
            Seringnya saya melihat acuhnya petugas bapak terhadap para pengendara moge yang melanggar sama seringnya dengan pengamatan saya terhadap ketegasan petugas bapak Kapolda dan bapak Kapolri terhadap pengendara motor dengan CC kecil. Kegarangan dan ketegasan petugas lalu lintas Polri sangat nampak ketika menghadapi rakyat kecil seperti saya dan seketika mlempeng bak kerupuk terkena air jika ada pengendara moge yang melanggar. Dalam Pasal 1 Ayat (3) jelas dikatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana hukum adalah panglimanya dan kemudian Pasal 27 Ayat (1)  juga menyatakan bahwa segala warga bersamaan kedudukanya dihadapan hukum. Jadi tidak ada yang berbeda dalam tindakan terhadap pelanggaran hukum, baik pengendara moge maupun motor CC rendah. Namun ironisnya fakta lapangan berkata lain, petugas-petugas bapak mayoritas bernyali kecil terhadap pelanggar dari kalangan pengendara moge. Apa ayal, kejadiannya ya seperti yang terjadi di perempatan Jalan Wonosari Jogja tersebut, masih untuk tidak ada korban jiwa. Bapak Kapolda dan Bapak Kapolri, jangan gadaikan harapan kami dengan nyali polantas yang ciut dengan raungan suara moge. Jangan tunggu sampai korban jatuh baru ramai memfokuskan diri pada nyali. Mulailah dari sekarang pak polisi, fiat justitia ruat caelum, hukum harus ditegakkan walaupun langit runtuh. Jangan hanya berani dengan kalangan kecil tapi tilang dan tahan jika perlu para pelanggar dari kalangan pengendara moge serta seringkali juga para suporter sepak bola. Nyali para petugas lalu lintas Bapak Kapolda dan Bapak Kapolri hanya sebatas raungan suara moge dan raungan suara motor suporter. Semoga keluhan saya ini didengar bapak Kapolda dan bapak Kapolri, syukur-syukur juga didengar para pengurus persatuan moge di Indonesia.
Salam Santun dari rakyat BIASA

Muhammad Zaki Mubarrak.
Rakyat biasa, Mahasiswa
Condong Catur Yogyakarta.

Selasa, 09 April 2013

Permen Karet Cinta vs Burung Garuda


Permen Karet Cinta vs Burung Garuda

           
            Belakangan, negeri ini punya kehebohan baru, yaitu permen karet cinta. Konon katanya permen karet tersebut adalah permen karet yang jika dikunyah akan memberikan rangsangan libido tinggi bagi penikmatnya sehingga (katanya) si pengunyah permen karet itu akan mencari pelampiasan bagi libidonya. Sungguh ada-ada saja kehebohan yang menyeruak di negeri ini, negeri si Nagabonar. Memang tidak ada perhatian khusus dari si penguasa negara maupun bapak-ibu legislatif di DPR sana. Tidak seperti biasanya, sang bapak penguasa beserta para legislator negara tidak latah ikut-ikutan menanggapi kehebohan yang satu ini. Mungkin kehebohan tersebut tidak terlalu seksi dan populer seperti kasus Cebongan. Bayangkan saja, dalam kasus Cebongan, komisi III sampai datang dan tamasya (bahasa mereka sih investigasi) di LP maut itu. Padahalkan sudah ada polisi, komnas HAM dan bahkan tim 9 TNI AD yang menginvestigasi kasus tersebut. Lucu sekali kawan-kawan legislator itu. Pencitraan saja urusannya.

            Kembali pada permen karet cinta, yang tidak populer bagi para legislator. Permen karet cinta sebenarnya bukan barang baru di negeri ini. Sebab jauh sebelum permen karet cinta itu populer di media cetak dan elektronik, barang itu sudah dikenal dikalangan penikmat media online. Begitu mudahnya mendapat akses terhadap permen karet cinta ini. Lalu kemudian apa hubungan permen karet cinta dengan burung garuda?? Ini bukan soal hubungan yang porno, biar yang porno-porno menjadi bahan para sineas muda dalam mencipta film horor. Dalam tulisan ini mari menjadikan permen karet cinta sebagai sebuah kacamata lain dalam melihat eksistensi burung garuda dan sikap nasionalisme para garuda muda (baca pemuda pemudi).
Baru-baru ini ada sekelompok warga yang menamakan diri mereka sebagai Koalisi Gerakan Bebaskan Garuda Pancasila. Koalisi Gerakan Bebaskan Garuda Pancasila ini tangguh loh ya, mereka berhasil membuat Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat sama dengan mereka bahwa burung garuda adalah milik rakyat, milik segenap bangsa dan tidak seharusnya pemerintah lewat undang-undang meng-exclusive-kan penggunaan lambang garuda tersebut. Sebab bila hal tersebut tetap dipertahankan maka tak ayal akan banyak sikap dan perbuatan yang bisa dikriminalisasikan oleh segelintir orang dengan menggunakan ke-exclusive-an undang-undang tersebut (UU No. 24 Tahun 2009). Dalam putusannya MK menyatakan Pasal 57 huruf c yang juga diuji para pemohon bukan merupakan persoalan kontitusionalitas.MK menyatakan secara faktual lambang negara lazim dipergunakan dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan. Seperti, disematkan di penutup kepala, sebagai bentuk monumen atau tugu, digambarkan di baju, atau seragam siswa sekolah. Penggunaan lambang negara seperti ini tidak termasuk penggunaan yang wajib maupun yang diizinkan seperti dimaksud Pasal 57 huruf d. Karena itu, MK berpendapat larangan penggunaan lambang negara dalam Pasal 57 huruf dtidak tepat karena tidak memuat rumusan yang jelas. Apalagi, larangan itu diikuti dengan ancaman pidana. Menurut Mahkamah, ancaman pidana seharusnya memenuhi rumusan yang bersifat jelas dan tegas (lex certa), tertulis (lex scripta), dan ketat (lex stricta). Selain itu, Mahkamah menyatakan pembatasan penggunaan lambang negara oleh masyarakat adalah bentuk pengekangan ekspresi. Pengekangan itu dapat mengurangi rasa memiliki dan mengurangi kadar nasionalisme. Terlebih, lambang Garuda Pancasila, mutlak menjadi milik kebudayaan bersama seluruh masyarakat.
“Apalagi jika mengingat Pancasila sebagai sistem nilai adalah terlahir atau merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,” papar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi di persidangan. Dengan dihapuskannya Pasal 57 huruf d, maka secara otomatis berlakunya Pasal 69 huruf c juga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Terdapat hubungan yang erat antara kedua pasal itu sebagai suatu ketentuan hukum yang berlaku. Maka pertimbangan hukum MK terhadap Pasal 57 huruf d tersebut berlaku secara mutatis mutandis (otomatis, red) terhadap Pasal 69 huruf c,” tutur Fadlil.
Jelas dan gamblang sudah soal putusan MK itu bahwa burung garuda kini telah lepas dari sangkarnya dan boleh terbang bebas kemanapun dan dimanapun. Di seragam, topi, sepatu, tatto ataupun kaos dalam, tidak ada masalah. Namun ternyata masalahnya tidak sesederhana itu, pada awal pengajuan permohonan di MK, saya pernah sedikit berdiskusi dengan kawan-kawan dari Koalisi Gerakan Bebaskan Garuda Pancasila. Tujuan utama mereka bukan sekedar membebaskan garuda dari sangkar ke-exclusive-an tapi justru lebih luas lagi, yaitu soal membangkitkan semangat nasionalisme. Namun jika diamati secara sederhana, tujuan utama itu sedikit lepas dari jalurnya, karena masyarakat masih acuh saja terhadap keberhasilan melepaskan garuda itu. Nasionalisme masih tetap kendor dan bocor oleh rangsangan global, rangsangan budaya hedon. Barang-barang yang berlabel asing masih menjadi pilihan utama dalam setiap belanjaan masyarakat Indonesia. Tontonan asing masih menjadi magnet setiap bioskop-bioskop untuk menarik penonton. Konser musisi asing selalu lebih ramai daripada sebuah pertunjukan reog, walaupun harga tiketnya jutaan rupiah. Namun apabila nanti reog, angklung atau batik diklaim barulah kita marah dan mengumpat.
Dimanakah para pengumpat dan pemarah itu kala reog terseok-seok diatas panggung Indonesia, dimanakah para penimat musik ketika alunan angklung lirih dipanggungnya sendiri. Ironis memang, nasionalisme hanya sebatas hingar bingar data dan tulisan, tidak dalam dunia nyata. Garuda hanya menang diatas kertas, bukan diatas tanah airnya sendiri. Kesamaan persepsi MK dan Koalisi Gerakan Bebaskan Garuda Pancasila dalam memandang urgensi kebebasan burung garuda tak mampu memberikan therapy bagi rakyat Indonesia untuk menakar ulang keIndonesiaan mereka. Garuda hanya terbang bebas tak tentu arah, hanya hinggap saat timnas bertanding di Gelora Bung Karno. Garuda hanya dinyanyikan kala pertandingan badminton dimenangkan oleh laskar merah putih. Selebihnya garuda hanya teronggok didalam lemari menunggu kegiatan-kegiatan tahunan (HUT RI, Kartinian, Hari pahlawan, dll). Sungguh garuda yang malang.
Keberadaan garuda hanya sebagai simbol hura-hura sesaat, bukan semangat yang dijadikan jiwa dalam hati setiap rakyat Indonesia. Hati setiap rakyat Indonesia lebih dekat dengan Iron man, Captain America, Manchester United dan Barcelona. Mereka lebih hafal pemain-pemain asing itu daripada isi Pancasila. Nah, dalam saat-saat seperti inilah rasanya formulasi permen karet cinta diperlukan. Dimana hendaknya setiap warga negara Indonesia dibagikan permen karet cinta garuda, agar libido dan hasrat mereka akan garuda menjadi menggebu-gebu dan menggelora luatr biasa. Kunyah saja dan angklung akan sangat dicintai di panggungya sendiri, kunyah saja dan reog akan menjadi idola baru anak-anak muda Indonesia. Andai saja benar bisa begitu maka gatot kaca akan menjadi pahlawan di negerinya sendiri dan tak perlulah ia mengemis recehan diperempatan lampu merah. Jika saja memang permen karet cinta garuda ada maka jelas Garuda akan ada disegenap hati orang Indonesia, Garuda akan ada di segenap air mata bahagia rakyat Indonesia.
Apakah sampai segenting itukah persoalan nasionalisme di negeri ini?? Mari menakar ulang Indonesiamu, Indonesiaku, Indonesia kita, sebab Nasionalisme bukan hanya soal burung garuda tapi soal jiwa dan patriotisme yang ada didalamnya. Salam Indonesia, Salam Garuda, Semoga kebebasan garuda bukan hanya diatas kertas.
                                                                         Oleh : Muhammad Zaki Mubarrak, SH.
                                   *penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum UGM*

Senin, 08 April 2013

TNI-POLRI dan PEMILU yang Gagal




TNI-POLRI dan PEMILU yang Gagal
Oleh : Muhammad Zaki Mubarrak, SH.


            Suhu politik nasional meningkat pada tahun 2013, dimana tahun itu ditasbihkan sebagai tahun politik. Bukan saja karena banyaknya PEMILUKADA didaerah-daerah, namun juga disebabkan oleh eskalasi politik 2014 yang sudah mulai meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari mulai banyaknya “dagangan politik” di televisi oleh Parpol dan tokoh-tokoh yang mendeklarasikankan dirinya menjadi capres. Panasnya suhu politik 2013 bukan hanya karena waktu pelaksanaan semakin dekat namun juga disebabkan oleh kursi panas yang akan ditinggalkan oleh SBY. Secara konstitusional SBY akan melepaskan jabatanya pada 2014. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada Pasal 7 yang berbunyi : Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.  Maka apabila pada 2009 SBY dan Boediono dilantik pada tanggal 20 Oktober 2009, secara konstitusional, hari terakhir SBY dan Boediono menjabat adalah pada tanggal yang sama ditahun 2014. Itu hitungan matematis yang memang tidak secara riil ditulis dalam konstitusi. Namun dapat dipahami secara sederhana oleh semua kalangan.
            Melihat PEMILU 2014 dari sudut pandang konstitusi maka kesimpulan yang akan mengemuka adalah kesimpulan yang sederhana, dimana ketika seorang Presiden telah 2 periode menjabat maka ia akan secara otomatis tidak bisa lagi mencalonkan diri.  Namun PEMILU 2014 nampak sexy dari sudut lainnya, yaitu sudut pandang dinamika politik dan dinamika hukumnya. Dalam dinamika politik, PEMILU 2014 menjadi ajang tarung yang menarik, dimana kesempatan terbuka bagi setiap tokoh parpol untuk mencalonkan diri sebagai Presiden periode 2014 – 2019 sekaligus dapat menghancurkan hegemoni Demokrat 10 tahunan ini. Hingar bingar politik tersebut tidak dapat lepas dari gagalnya SBY mempersiapkan kader penggantinya serta badai kasus korupsi yang menerpa Demokrat. Peluang tersebut menjadi sangat manis dengan dibarengi situasi tidak mengenakan Partai Demokrat. Anas urbaningrum turun tahta dan badai berubah menjadi tsunami dima Demokrat harus bertaruh dengan meletakkan SBY sebagi ketua umumnya.
            Pembahasan ini bukan soal badai atau tsunami demokrat, namun justru soal PEMILU 2014 dan dinamika yang menyelimutinya. Dinamika politik PEMILU 2014 sangat jelas bisa disimpulkan secara sederhana, dimana PEMILU 2014 adalah kompetisi meraih simpati antara banyak tokoh parpol. Sebut saja ARB, HR, YIM, Prabowo Subianto, Megawati, JK dan nama-nama lain yang secara serius ataupun main-main sudah mendeklarasikan dirinya menjadi calon Presiden. Sudah berapa saja iklan ARB di televisi, lalu juga HR, kemudian Prabowo, tentu hal itu menjadi dinamika tersendiri bagi dunia politik ditahu politik 2013 ini. Namun sudut lainnya hegemoni politik 2014 bukan hanya dinamika politik ditahun 2013 tapi juga soal dinamika hukumnya. Sebagai akibat dari lebarnya peluang setiap tokoh mencalonkan diri menjadi capres 2014, maka peluang konflikpun menjadi lebar pula. Baik konflik yang mempengaruhi masa dan basis politik maupun konflik secara intelektual. Berkaca dari kejadian di daerah dimana banyaknya gugatan calon yang gagal menang Pilkada ke MK maka 2014 tentu akan memberi cerita tersendiri. Efek yang muncul dari banyaknya gugatan terhadap hasil-hasil Pilkada adalah molornya waktu pelantikan calon-calon yang menang sehingga hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum.
            Jika direfleksikan pada PEMILU 2014, maka peluang untuk terjadinya ketidakpastian hukum di PEMILU 2014 juga cukup besar. Dimulai dari molornya persiapan-persiapan PEMILU sampai pada kekacauan yang mungkin muncul sebagai akibat dari peluang yang besar bagi setiap calon dari partai tadi, yaitu tidak adanya kesepakatan dari para calon terhadap waktu persiapan, data pemilih, proses pemilihan sampai kepada hasil PEMILU. Hal-hal tersebut dapat berakibat pada molornya PEMILU hingga PEMILU yang tidak mendapatkan pemenang karena masing-masing memiliki data kecurangan. Molornya waktu dan gagalnya memperoleh pemenang PEMILU berakibat pada hal lain yang justru lebih penting dan memiliki urgensi yang darurat yaitu mundurnya pelantikan presiden. Disampaikan sebelumnya bahwa secara konstitusional Presiden RI saat ini memiliki masa jabatan sampai 20 Oktober 2014, sehingga sebelum tanggal tersebut seharusnya telah ada Capres terpilih dan segera dilantik oleh MPR. Namun jika proses persiapan dan pelaksanaan PEMILU berlarut-larut dan hanya mengedepankan kepentingan setiap partai maka niscaya kemungkinan mundur akan menjadi nyata dan negara ini berada dalam situasi yang sulit. Negara ini terancam berada dalam situasi “vacum of power” dimana penguasa eksekutif (Presiden) lama telah turun sesuai amanat konstitusi namun penguasa eksekutif baru belum dimiliki.
            Jika yang dipakai adalah dasar secara konstitusional maka MPR tidak memiliki hak untuk memperpanjang masa tugas penguasa eksekutif lama, dimana saat ini, tugas MPR hanya terbatas pada 3 bidang saja, yaitu :
(1)   Berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
(2)   Melantik Presiden dan Wakil Presiden.
(3)   Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden menurut undang-undang.
Sangat jelas bunyi pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa tidak ada kewenangan MPR memperpanjang jabatan Presiden, sehingga ancaman vacum of power semakin jelas didepan mata. Vacum of power dikatakan mengancam didepan mata karena jelas secara konstitusional Presiden berhenti dan kabinet sebagai pembantu presiden jelas akan ikut berhenti karena bagaimana mungkin pembantu bisa bertahan jika bosnya saja telah tidak diakui alias kosong. Pada 20 Oktober 2014 semua akan berhenti dan tidak dapat bertindak apapun secara konstitusional, sehingga konsep triumvirat (Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negerei, Menteri Pertahanan)  menurut pasal 8 ayat (3) UUD NRI tahun 1945 mentah dengan sendirinya. Situasi jelas, Indonesia berada dalam kekosongan penguasa ketatanegaraan dan tidak ada aturan yang jelas dan kongkrit dalam kontitusi yang mengakomodir situasi ini. Menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra ini adalah situasi darurat konstitusi.

Jika kemudian situasi tersebut memang benar terjadi, bagaimana solusinya? Secara konstitusional jelas tidak ada solusinya, bisa saja sih Presiden mengeluarkan Dekrit seperti yang dilakukan oleh Presiden Sukarno dengan Dekrit Presiden Juli 1959, namun resikonya sangat besar dan hitung-hitungan politiknya harus jelas (menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra). Jika dulu dalam SOB (Staat van Orlog en Beleg)/Undang-Undang situasi darurat, apabila negara dalam keadaan darurat maka yang dapat mengambil alih kekuasaan adalah militer. Namun dengan pengalaman 32 tahun dipimpin rezim Militer mungkinkah rakyat bisa menerimanya?
Dalam hemat saya ada 2 kemungkinan yang mungkin bisa menjadi solusi keadaan tersebut, pertama adalah kemungkinan Militer Menerapkan Kudeta Damai dalam situsi tersebut. Militer dalam sebuah negara, khususnya negara RI, memiliki sejarah perjalan panjang terkait kedekatan militer dan dinamika politik hukum. Memang terkesan menyeramkan jika mendengar kata kudeta militer, seakan-akan disana ada pertumpahan darah. Namun justru tidak seseram yang terbayangkan, militer dapat saja mengkudeta pemerintahan yang kosong itu dengan menerapkan kudeta putih dimana menurut Samuel P. Huntington (ditulis dalam http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/03/31/kudeta-%E2%80%9Cno-way%E2%80%9D/) ada tiga kategori kudeta: (1) Breakthrough coup d’etat, (2) Guardian coup d’etat, dan (3) Veto coup d’etat. Jenis kudeta pertama, kudeta total, paling khas/tipikal, yaitu klik militer melancarkan operasi bersenjata merebut kekuasaan dengan cara menghancurkan pusat kekuasaan rezim, khususnya istana. Pelaku biasanya perwira-perwira muda berpangkat mayor sampai kolonel dengan jabatan-kalau di Indonesia–Komandan Divisi, atau Batalyon. Kudeta total terjadi di Mesir pada 1952, Turki 1960, Libia 1969, Portugal 1974. Di Amerika Latin, pada kurun waktu 1950-1980-an, kudeta jenis ini silih berganti menjadi fenomena politik keseharian.
Kudeta jenis kedua lebih “santun”, sebab para pelakunya tidak bertujuan menjadi penguasa, tetapi semata-mata merespons kekecewaan rakyat terhadap situasi bangsa dan negara. Mereka dipaksa bertindak untuk mengembalikan ketertiban umum, kesejahteraan rakyat, dan memberantas korupsi. Setelah kudeta, biasanya tidak ada perubahan radikal terhadap struktur kekuasaan. Para pemimpinnya biasanya mengklaim bahwa mereka hanya sementara memegang tampuk kekuasaan. Setelah ada pemimpin baru yang dipilih secara demokratis, mereka siap mundur. Contoh paling gamblang adalah kudeta militer terhadap pemerintahan Thaksin pada 2006. Kudeta tanpa satu pun peluru meletus ini langsung mendapat restu dari Raja. Para Jenderal pelaku kudeta pun berjanji segera melangsungkan pemilu untuk memilih pemimpin baru. Kudeta veto, menurut Huntington, adalah gerakan militer untuk melawan kekuasaan sipil, melawan keputusan rakyat yang sebenarnya diambil melalui mekanisme demokrasi yang konstitusional. Contohnya, kudeta militer di Cile 1973. Salvador Allende sesungguhnya pemimpin yang secara sah dipilih rakyatnya. Hanya karena Allende dituding hendak membawa Cile ke “kiri” dan militer Cile termasuk “antek barat“ maka militer akhirnya menjatuhkan pemerintahan Allende. Kudeta jenis ketiga ini juga kerap diwarnai pertumpahan darah. Militer dengan segala kekuatannya memberangus dengan bengis perlawanan rakyat.
Maka jelas bila akhirnya Militer ingin menyelamatkan situasi bangsa maka militer dapat melakukan kudeta jenis kedua menurut Samuel P. Huntington, dimana militer melakukannya dengan santun sampai dengan Presiden dan Wakil Presiden yang baru dilantik oleh MPR dan/atau paling tidak terbentuk aturan baru menyoal situasi tersebut dan kemudian Militer menyerahkan kembali kekuasaan pemerintahan negara secara konstitusional kepada Penguasa Eksekutif.

Kemungkinan kedua menurut hemat saya adalah menggunakan teori Trias Politika dima kekuasaan negara harus tetap dibagi-bagi dan tidak boleh adanya satu lembaga yang memegang 2 bidang kekuasaan negara. Maksudnya adalah jika Presiden dan Wakil Presiden secara konstitusional berhalangan tetap dan triumvirat tidak pada posisinya maka DPR maupun MA+MK jangan sampai menjadi pelaksana tugas kepresidenan. Sebab jika hal tersebut terjadi maka Negara Indonesia justru mengingkari apa yang dianutnya selama ini yaitu soal pemisahan kekuasaan dalam bernegara. Dengan situasi tersebut maka kita perlu kembali mencermati situasi dan posisi keseluruhan penguasa eksekutif. Jika tadi masalahnya soal PEMILU yang gagal maka secar konstitusional, Presiden beserta jajaranya akan menjadi non aktif (berhalangan tetap termasuk konsep triumvirat (pasal 8 UUD NRI tahun 1945). Ini yang menjadi menarik, ditengah carut marut aturan itu, ternyata masih ada penguasa atau bagian dari eksekutif yang tertinggal dan tidak mengikuti berhentinya Presiden secara konstitusional. Bagian dari yang tersisa itu adala Panglima TNI dan Polisi, dimana aturan soal purna tugasnya kedua jabatan itu adalah mengikuti usia pensiun, bukan mengikuti Kabinet. Coba perhatikan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang POLRI dan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 usia pensiun anggota Polisi 58 tahun atau dapat ditambah 2 tahun jika diperlukan dan dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 usia pensiun seorang perwira adalah 58 tahun. Hal tersebut berarti bahwa Panglima TNI dan KAPOLRI bisa saja dan sangat mungkin menjadi penguasa eksekutif yang tersisa. Jika dilihat dari kedudukan, peran dan fungsinya maka Panglima TNI dan KAPOLRI (secara intitusi TNI dan POLRI) memiliki kedekatan dalam setiap pergolakan politik, seperti pada situasi pemberontakan PKI dan dekrit Presiden juli 1959. Maka jika atas nama menyelamatkan bangsa, rakyat bisa saja menerima situasi tersebut dan mendukung keberadaan TNI dan POLRI untuk melaksanakan tugas kepresidenan. Dengan menempatkan urusan Dalam dan Luar negeri pada KAPOLRI dan urusan Pertahanan pad Panglima TNI maka niscaya situasi vacum of power bisa dihindari dan gagalnya pemilu teratasi secara inkonstitusional namun duterima oleh rakyat. (Penulis sangat berharap kritik dan saran terhadap tulisan ini, apabila terdapat hal yang salah maka mohon dapat segera dikritik kepada penulis).
*Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum UGM*

Jumat, 05 April 2013

DALAM MARAHNYA IA MENGAJARI KAMI


DALAM MARAHNYA IA MENGAJARI KAMI

      Suatu pagi dalam balutan usia 25 tahun, ketika pagi itu saya sedang bersiap menuju tempat saya belajar bekerja, Bapak (biasa kami memanggilnya begitu) mengajak saya berbicara dan membahas soal persiapan pernikahan saya. Duduk saya diseberang beliau dengan diskusi ringan seputar persiapan saya menikah di bulan 6. Obrolan ringan seputar undangan dan persiapan awal pernikahan menjadi obrolan pembuka. Tensi obrolan meningkat dan dalam angan saya telah terbesit bahwa obrolan ini berpotensi mengarah kepada obrolan dengan gejolak emosi dan egoisme yang tinggi. Benar saja, alur obrolan itu berujung pada perdebatan antara anak dan Bapaknya. Gelora muda saya selalu berusaha mencari titik lemah Bapak untuk akhirnya saya debat. Sedangkan Bapak, dengan gaya khas temperamen nya, mengeluarkan arahan-arahannya.
          
        Saya dengan egoisme dan gelora muda saya bertahan dan membela diri habis-habisan, lalu kemudian Bapak dengan ciri khas tempramen yang cepat naik, mulai marah dan berakhir pada ucupan yang bagi saya cukup membuat saya gemetar. Saat itu jiwa muda saya tidak terima dan ingin “melawan”, saya meneteskan air mata sejadi-jadinya. Mama datang menenangkan saya dan memberi minum saya. Mereda air mata dan rasa berontak diri saya. Setelah ketenangan menyelimuti dir saya, kemudian saya bersiap untuk menuju kantor dengan membersihkan wajah sebelumnya. Dijalanan rupanya gejolak pemberontak saya belum mereda, terbukti dengan 3 orang kakak saya menjadi tempat saya mengadu. Semua mendengarkan dengan seksama, harapan saya semua akan membela saya dalam pemberontakan ini. Pembelaan memang saya dapatkan dari ketiga kakak saya tersebut, namun belakangan yang membuat saya tersenyum justru bukan pembelaan tersebut.

          “Rasanya sudah cukup Bapak dan Mama mengerti dan memahami kita ketika kita berlarian, menangis dan ngompol di sembarang tempat, sekarang saatnya kita yang memahami dan mengerti Bapak dan Mama”. Ini kalimat dahsyat yang saya terima hari itu, tersenyum haru saya menerima kalimat itu. Sampai dikantor saya ambil wudlu dan tunaikan sholat dhuha dengan harapan dapat lebih tenang. Dalam renungan saya setelah sholat dhuha, saya berfikir bahwa sungguh dahsyat cara Allah mendidik umatnya. Terkadang kita dididik dengan begitu kerasnya (oleh Allah SWt), sehingga tak sanggup rasanya fikiran dan fisik ini menerimanya. Namun di sudut lainnya, Allah memberikan pengetahuan dan pemahaman dengan halus, dengan memberi Bapak yang pemarah dan mau menang sendiri. Pada hari itu, dalam marahnya saya belajar. Belajar memahami jengkal demi jengkal pesan Allah melalui karya Bapak. Kalimat dahsyat tadi jelas bisa keluar karena kakak saya telah terlebih dahulu memahami ilmu dalam marahnya Bapak. Sebuah ilmu yang juga sering Bapak ajarkan pada saya. “Lihat satu titik dari berbagai sudut --- Lihat suatu sudut dari berbagai titik”. Itu ajaran Bapak saya yang sering saya sebarluaskan ke teman-teman.


         Sungguh saking emosionalnya saya pagi itu sehingga lupa akan sudut lainnya kemarahan Bapak. Dalam banyak kesempatan lain, Bapak juga sering marah. Beberapa kemarahan Bapak akan saya coba ceritakan di tulisan ini. Dijalanan misalnya, Bapak sering marah soal tidak tertibnya pengguna jalan raya. Kadang mama sering sewot dengan ocehan Bapak itu, tapi perhatikan sudut lainnya, Bapak mendidik kami soal ketertiban dan disiplin. Hebat kan Bapak, ada pesan dari sudut lainnya marah Bapak.

      Sudut lainnya marahnya Bapak adalah ketika saya masih kecil, sering saya sewot ketika disuruh nganterin mama ke pasar. Kenapa saya sewot? Saya sewot karena pastinya dipasar itu becek dan setelah pulang dari pasar, saya masih kebagian membersihkan ikan/udang/daging/sayuran hasil belanja dipasar tadi. Semakin jengkel adalah ketika sudah tu hasil belanjaan saya bersihkan, eh masih juga dimarahin Bapak soal belum beresnya kerjaan saya. Selalu saja ada yang kurang dimata Bapak. Sungguh menjengkelkan, namun perhatikan sudut lainnya marah Bapak, dicerita itu Bapak mendidik kami untuk menjadi anak yang serba bisa, walau laki-laki, kami tidak boleh alergi pasar, laki-laki itu harus bisa mengerjakan apa yang dikerjakan perempuan. Begitu juga perempuan, harus bisa mengerjakan mayoritas pekerjaan laki-laki. Bapak mempersiapkan kami menjadi anak-anak tangguh.

        Bapak itu menurut salah seorang sesepuh kampungnya di Palak Bengkerung, seorang yang sangat peduli dengan pendidikan. Ini cerita soal proses kuliah saya, Bapak sampai kekampus demi membuktikan laporan-laporan progress kuliah saya. Di kampus saya kena marah lagi karena dianggap berbohong dan mengecewakan bapak. Dalam perjalanan pulang Bapak marah besar dan sewot ke saya soal kuliah saya. Pembelaan saya waktu itu adalah bahwa saya ini aktivis dan punya skill lain, sedangkan ijazah itu formalitas. Perhatikan sudut lainnya dari marahnya Bapak di cerita ini, Bapak memberikan pelajaran bahwa memang skill dan pergaulan itu penting, tapi mengejar skill  dan pergaulan dengan mengorbankan pendidikan formal dan waktu bukanlah hal yang pantas diperbandingkan. Raih semuanya dalam batasan waktu dan kamu akan menjadi pribadi yang unggul nak. Begitulah pesan bapak dalam banyak kesempatan. Sekali lagi, perhatikan sudut lainnya.

       Terakhir saja, untuk mempersingkat sudut lainnya kemarahan bapak, adalah daya juang. Saya sering menyelesaikan pekerjaan rumah bersama bapak. Dalam proses itu sangat sering kami berdua berdebat dan ujung-ujungnya jelas, saya kena marah dan dianggap kebanyakan bicara. Ada suatu ketika saya menganggap bahwa pekerjaan rumah tersebut adalah hal yang mustahil untuk bisa diselesaikan. Sehingga beberapa kali saya debat dengan Bapak. Ujung-ujungnya jelas sekali, bahwa saya kena marah dan sampai disuruh tidak usah membantu jika tidak ikhlas. Ibarat tawaran bonus berlipat, segera sya terima usiran itu untuk selanjutnya saya keluar kerumah teman saya. Sore, saya pulang kerumah, apa yang saya dapati, pekerjaan yang tadi saya anggap mustahil selesai, oleh Bapak terselesaikan dan hebatnya Bapak sendiri menyelesaikannya. Saya sih cuek saja terhadap kejadian itu, tapi coba perhatikan sudut lainnya dan pesan yang ada didalamnya. Dalam marahnya Bapak mengajari kami untuk tidak mudah menyerah. Satu lagi ungkapan bapak yang tajam dalam tegak dalam diri saya “Jika suatu urusan itu masih menjadi urusan manusia maka perjuangkanlah sampai akhir, namun jika urusan itu sudah menjadi domain dari malaikat maka berdoalah memohon bantuan Allah”. Sudut lainnya dalam cerita tersebut adalah soal daya juang dan daya doa kami.

       Sungguh dalam marahnya ia mengajari kami. Sungguh sudut lainnya dari marah Bapak menginspirasi kami. Sedikit cerita saja mengenai sudut lainnya Bapak, karena tak lama lagi juga saya akan menjadi Suami/Bapak (mau nikah euy). Saya akan memulai untuk mengaplikasikan apa yang secara langsung dan tak langsung telah Bapak ajarkan. Menjadi suami, menjadi Bapak dan menjadi Inspirasi bagi lingkungannya. Sudut lainnya Bapak tentu ada negatifnya, namun biarlah itu menjadi milik Bapak. Masih banyak sudut lainnya dari Bapak, jika ada waktu nanti biar saya bukukan (harapan Bapak nih buat punya biografi yang ditulis anaknya..hehehe)  Next saya akan berbicara soal sudut lainnya dari Mama (judul buat mama : Dengan kesederhanaannya Ia memberi kami “Kekayaan”) dan sudut lainnya Bapak+Mama (berdua). 

I'm Not Proud of Indonesia


I’m Not Proud of Indonesia
Do you remember when our national anthem was sung out by thousands of our national team supporters in Istora Senayan Jakarta 2010? It was a great memory in many people’s mind, because many people were very happy with and proud of Indonesia at that time. It sounds like we are the champion, we are the great nation. But the fact?? We are the loser. For me, it shows happiness for a while, it shows temporary nationalism. I’m not proud of Indonesia, because Indonesia has many problems, many corruptors that suck.

Let us describe your pride for Indonesia one by one. I just want to describe three things of Indonesia’s stupidity. First, we are always pleased when we are able to help the Palestinian nation. Do you know there are so many poor people in Papua, Sulawesi, even in Jogja, untouched by our government and our society? It is funny when we are collecting money for the victims of war in Palestine, but there are so many people suffering from malnutrition among us. Second, Indonesia sends The Indonesians Army on behalf of UN to Syria, Congo, Cambodia, and many more. For some people, it shows that we have brave army, strong army, social minded, international relationship minded. But for me, it just shows the other stupidity, why? Because there are so many rebellions/separatism in our country, it is better if the army destroys them first, then we can go abroad to save the war victims. It is a stupid political policy. The third, I’m sure that all of us are familiar with Habibie. Indonesia dumps Habibie. But we will be proud of him when Germany, Russia, etc, accept him or give him a reward for his idea. Indonesian foolish citizens are proud when the other countries are more respectful of him than our nation/citizen.
Add caption
Those are a few things that made ​​me think again about being proud of Indonesia. In my opinion, we are proud on the cover, not the content. Let’s rethink again about our definition of nationalism and pride. Fix anything that was broken, then let’s talk about pride. Be Proud if it is really Indonesia!!! 
Presented by Zaki at eme’s DF on Wednesday January 23, 2013

Tulisan saya dulu soal kenaikan BBM...


NAIK BOLEH ASAL....
       Isue kenaikan harga BBM sedang menjadi isue primadona beberapa waktu belakangan. Rezim pemerintahan SBY pun  dianggap gagal dalam menjalankan amanat konstitusi yaitu, memajukan kesejahteraan umum. Alih-alih memajukan kesejahteraan umum, Presiden SBY sejak dilantiknya pada tanggal 20 Oktober 2009 telah beberapa kali menaikan harga BBM yang notabene BBm merupakan salah satu sendi dari kesejahteraan umum itu sendiri. Kenaikan harga BBM yang fantastis pada era kepemimpinan SBY terjadi ketika SBY berduat dengan JK di periode pertamanya. SBY-JK telah menaikkan harga BBM yang begitu fantastis pada 1 Oktober 2005. SBY-JK menaikkan bensin dari Rp. 2400 menjadi Rp. 4500 serta solar dari Rp. 2100 menjadi Rp. 4300. Sungguh ironi bagi sebuah negara kaya minyak namun tidak mampu mengolahnya dengan baik sebagai konsumsi dalam negeri. Indonesia sangat terpengaruh terhadap fluktuasi harga internasional yang katanya akan punya efek terhadap stabilitas ekonomi nasional.
           Memang jika ditilik dari lintasan sejarah, kenaikan harga BBM bukan hanya terjadi dimasa SBY berkuasa saja, namun pada periode-periode sebelumnya pun  BBM telah beberapa kali dinaikan. Seperti yang tertulis dalam http://nusantaranews.wordpress.com/2008/12/04/28-kali-kenaikan-bbm-sejak-1966/ sejak jatuhnya pemerintahan Soekarno dan masuknya pengaruh kapitalis liberal di era tahun 1967,  Pemerintah (Presiden) telah menaikkan harga BBM sebanyak 28 kali dalam kurun waktu 41 tahun. Rata-rata setiap 1.5 tahun (18 bulan), pemerintah menaikkan harga BBM. Selama kurang setengah abad, pemerintah telah menaikkan harga BBM rata-rata 10.000 kali atau 1 juta % lebih mahal dari tahun 1965.

Sejarah Kebijakan 5 Presiden RI dalam Bahan Bakar Minyak 


          Hanya 5 kali pemerintah menurunkan harga BBM. Pertama ketika tahun 1986, Pemerintahan Soeharto menurunkan solar sebesar 17.4%. Kedua, ketika krismon tahun 1998, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut Pres. Soeharto mencabut Keppres 69 Tahun1998 tentang kenaikan BBM, dan lalu menerbitkan Keppres  78 Tahun 1998 untuk menurunkan kembali bensin, solar dan minyak tanah masing-masing 16.7%, 8.3% dan 20%.
Kebijakan serupa dilakukan oleh Pres Megawati menurunkan harga solar dari Rp 1,890.- kembali menjadi Rp 1,650.- di tahun 2003. Dan di masa pemerintahan SBY sekarang, harga bensin kembali diturunkan Rp 500 di awal Desember 2008  setelah kenaikan Rp 1500 di akhir Mei 2008 silam. 

          Ketika data statistik telah disampaikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan harga BBM di Indonesia bukanlah barang baru, lalu kemudian apa yang membuat kenaikan BBM kali ini menjadi menarik dan sangat seksi untuk diperbincangkan. Dalam pandangan saya ada 4 hal yang menarik untuk ditelaah lebih mendalam dan selanjutnya menjadi kesimpulan. Pertama adalah mengenai pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.  (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kata demi kata dalam kedua pasal tersebut sangat jelas dan transparan mengatakan bahwa setiap warga negara punya kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, jadi apa yang dikatakan Menko Perekonomian Hatta Rajasa bahwa 70 persen subsidi salah sasaran adalah menyesatkan. Subsidi secara umum bukanlah diperuntukan bagi kaum tertentu, bukan pula salah sasaran, justru ketika hal ini dijadikan alasan kenapa BBM naik maka Pemerintah blunder dan menyesatkan pemahaman dari pasal 27 UUD 1945 yang mengatakan bahwa semua rakyat Indonesia punya kedudukan yang sama dan punya hak yang sama dalam kesejahteraan. Bukan malah ada pengkotakan-pengkotakan kaya dan miskin. Dalam hal ini saya menyatakan bahwa ini blunder pemerintah dalam pernyataannya.
          Hal menarik kedua adalah kajian saya terhadap bunyi pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. BBM jelas merupakan kekayaan alam yang terkandung didalam Bumi seperti apa yang disebutkan oleh pasal 33 tersebut, namun mengapa justru kekayaan Bumi Indonesia berupa BBM tersebut justru membuat rakyat semakin tertindas dan terpuruk. Independensi harga BBM tidak dimiliki oleh Indonesia, padahal secara statistik data jelas berbicara bahwa Indonesia adalah negara kaya SDA. Disini saya dapat menyimpulkan bahwa negara ini salah urus, negara ini dikelola oleh orang-orang yang salah. Ketika konstitusi secara bijak telah mengamanatkan kesejahteraan demi kesejahteraan namun Pemerintah justru menghasilkan kesengsaraan demi kesengsaraan bagi rakyat. Dalam bahasan kedua ini saya menyerukan pergantian penguasaan negara atau revolusi total dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia yang menjadi pengelola SDA Indonesia.
         
         Hal menarik ketiga adalah sebuah pernyataan dari anggota DPR RI asal PDIP, Rieke Dyah Pitaloka ‘oneng bajaj bajuri’, dalam tayangan “Apa Kabar Indonesia Pagi” edisi 28 Maret 2012, ‘oneng’ menyatakan bahwa ada kesalahan dalam memahami makna dari APBN dan subsidi. APBN itu adalah uang rakyat untuk negara agar negara dapat menjalankan tugasnya dan yang menerima subsidi sebenarnya bukan rakyat, tapi justru rakyat yang mensubsidi anggota-anggota DPR dan penerintah lewat APBN. Saya sepakat dengan pernyataan ‘oneng’ dalam acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” tersebut. APBN memang merupakan singkatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pemaknaan secara filosofis, APBN merupakan uang rakyat yang disalurkan melalui pajak-pajak dan iuran retribusi lain yang langsung dipercayakan rakyat kepada pemerintah demi berjalannya pemerintahan yang baik dan bersih. Maka selanjutnya dapat disimpulkan bahwa rakyat, secara berduyun-duyun, gotong royong mensubsidi Negara (pemerintah, DPR, dll) agar dikemudian hari dapat mengembalikan subsidi tersebut melalui pelayanan-pelayanan publik yang baik, melalui peraturan dan kebijakan yang pro rakyat. Namun saat ini yang terjadi justru sebaliknya, yang ada malah pelayanan-pelayan publik yang keteteran dalam melayani rakyat, kemudian juga diperparah dengan peraturan dan kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat. Kebijakan menaikan BBM salah satu bukti kegagalan pemerintah menggunakan uang rakyat dalam menentukan kebijakan.
        
         Terakhir adalah menyoal tentang pro kontra kenaikan BBM. Secara pribadi saya tidak mempersoalkan BBM dinaikan harga jualnya, namun tidak dengan cuma-cuma. Kenaikan BBM bukan di imbangi dengan BLSM, namun seharusnya di imbangi dengan peningkatan pelayanan transportasi masa dan sarana prasarana pendukung transportasi yang baik dan representatif. Kenaikan BBM dapat mengurangi tingkat kepadatan lalulintas, namun tetap dengan opsi pembenahan transportasi masa. Saya yakin ketika transportasi masa yang disediakan nyaman, murah dan aman maka kenaikan BBM tidak akan berimbas besar terhadap kehidupan sosial ekonomi rakyat. Ketika BBM mahal maka ketika rakyat meilih untuk berkendara dengan kendaraan umum maka setiap penikmat moda transportasi akan merasa aman dan nyaman kemudian juga ketika ada yang memilih untuk menjadi pejalan kaki maka mereka pun akan terlindungi oleh fasilitas yang ada. Namun hal itu hanya isapan jempol semata ketika banyak jalan-jalan berlubang, pohon-pohon tumbang, trotoar sangat tidak humanis, kemudian juga kendaraan-kendaraan umum yang tidak terpelihara dengan baik. Semua menjadi alat pembunuh perlahan bagi rakyat, senada dengan kebijakan kenaikan BBM yang juga menjadi pembunuhan massal perlahan oleh Pemerintah terhadap RAKYATnya.

      





Interaksi saya dengan Militer dan Polisi...


     Masa-masa awal saya di bangku perkuliahan, begitu berkesan. Bapak Ibu Dosen mengajari dan menanamkan sebuah konsep tentang bentuk sebuah negara. Belakangan saya iseng-iseng kembali memahami dan mengulas lagi apa yang bapak ibu Dosen saya dulu ajarkan kepada saya. Rechtsataat dan Machtsstaat, masih sangat jelas suara bapak dan ibu dosen berulang kali mengajarkan bahwa Indonesia adalah Rechtsstaat alias negara hukum dan bukan negara kekuasaan belaka alias Machsstaat. Sungguh ideal dan saking idealnya Rechtsstaat masuk dalam konstitusi kita. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Jelas dan tuntas, dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Artinya, segala sesuatu yang direncanakan, diprogramkan, dijalankan dan diawasi dengan selalu mendasarkan kepada hukum,baik oleh rakyat sipil, yang tua yang muda, PNS rendahan dan pejabat serta tentunya termasuk Militer dan Polisi. Semua wajib tunduk dan patuh pada hukum yang berlaku.

         Nah, belakangan kita dihebohkan oleh kejadian penyerangan Polres OKU pada 7 Maret 2013, lalu disusul kemudian oleh tewasnya anggota Kopassus diHugo's Cafe tanggal 19 Maret 2013 dan pembacokan anggota TNI AD tanggal 20 Maret 2013. Kejadian-kejadian itu telah membuat berita-berita di televisi menjadi acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.  Masyarakat menunggu hasil perkembangan demi perkembangan yang diungkap oleh polisi. Belum tuntas masyarakat penikmat berita terbelalak oleh kejadian di OKU muncul kejadian yang lebih heboh, Lapas IIB Cebongan disatroni segerombolan pria tegap bersenjata pada 23 Maret 2013. Gerombolan itu menghabisi tahanan titipan Polda yang merupakan pelaku pembacokan pada 19 Maret di hugo's. Indonesia sekali lagi mendunia dengan kebobrokannya. Bangun tidur saya langsung berburu berita kejadian di cebongan. 

       Marah, kecewa, dan ingin rasanya saya berbicara kepada Panglima TNI, Kapolri dan Pak Presiden. "Bapak-bapak sekalian, apa sih yang kalian lakukan kok bisa kejadian seperti itu terjadi di Negara Hukum Indonesia", itu gumaman saya dalam hati. Karena harus mengikuti ujian profesi advokat, rasa penasaran saya terpending. Hingga akhirnya ujian selesai mulailah saya bergerilya lagi mencari berita soal kejadian semalam. Banyak analis yang menyampaikan simpulan-simpulan mereka, dan yang paling mencengankan adalah ungkapan mantan Pangab Wiranto. Ia menyampaikan bahwa bila ia yang menginvestigasi, maka cukup sehari baginya untuk mengungkap kejadian itu. Luar biasa, Wiranto hebat (bukan kampanye loh ini) dan mungkin itu pertanda bahwa tak lama lagi kejadian itu akan terungkap. Sangat yakin saya bahwa tim khusus bentukan Polisi telah bisa mengungkap hal tersebut, namun Polisi tidak berani ungkap fakta kepublik. Desakan datang untuk segera mengungkap kejadian tersebut (terutama dari Komnas HAM dan Kontras). Ketika desakan demi desakan mulai mengganas, lalu Militer membentuk tim 9 yang dipimpin oleh Wadanpuspom Mabes. Tak butuh waktu lama bagi tim 9 untuk mengungkap, beberapa hari setelah dibentuk, kejadian di lapas Cebongan terungkap. Dan kita semua tau siapa pelakunya.

       Dalam tulisan ini, bukan analisis fakta atau analisis hukum yang akan saya sampaikan, tp pengalaman saya berinteraksi dengan Militer dan Polisilah yang akan saya tulis. Ini pengalaman ketika baru genap setahun saya menjadi alumni SMA. Ketika itu saya diundang untuk membantu persiapan eksebisi baris berbaris di SMA saya (maklum, saya ni alumni Tonti juga, padahal saya nggak jago baris berbaris). Kira-kira pukul 16.30 saya datang ke SMA saya, dan saya tanya situasi kepada penanggung jawab acara, mreka menjawab bahwa latihan telah 2 minggu dilakukan. Hal tersebut berarti bahwa kelelahan dan kebosanan sudah menumpuk di barisan pleton inti tersebut. Sampai magrib saya dampingi adik-adik saya berlatih, dan karena saya akan menunaikan ibadah sholat magrib, lalu pasukan saya istirahatkan dan saya pesan kepada senior untuk membawa situasi santai dan jangan didramatisir. Karena bagi saya, ketika suasana letih, bosan, tegang didramatisir maka kejadian-kejadian aneh bisa saja terjadi (kesurupan kalau kata berita-berita di televisi). Benar saja, peringatan saya tidak di indahkan dan suasana dibuat dramatis untuk pengumuman tim inti eksebisi. Setelah pengumuman, satu demi satu terkapar (biar makin dramatis pakai kata terkapar), persis seperti orang kesurupan. Padahal sih itu hanya kecapean dan situasi psykologi yang penat tidak bisa dimanajemen dengan baik.

       Singkatnya, situasi panik dan serba tegang, termasuk para senior yang melatih. Saya perintahkan yang lain agar memisahkan diri dari pasukan yang terkapar tadi. Nah, saat saya sibuk mengurusi pasukan yang terkapar, ada orang tua siswa yang datang dan ngamuk-ngamuk, pake nendangin pintu (bikin suasana hening sebentar dan panik lg). Tereak-tereaklah itu bapak, "siapa penanggung jawab acara ini", sontak saya maju, dan mengaku sebagai penanggung jawab acara. Alamak, perut saya ditonjok (nggak kena sih, karena saya tangkap pakai tangan, tapi syok jg saya). Setelah gagal nonjok dan orang mulai ramai, bapak itu marah-marah sambil minta identitas saya, tanpa pikir panjang dan supaya urusan selesai, ya saya kasih aja. Belakangan saya tau ternyata dia tu intel Militer Udara  yang dekat sekolah saya. Wow, gaya sekali ya, Militer ama preman sama aja kelakuannya, main fisik dan unjuk kekuatan. Belum lagi soal seragam loreng berperawakan tegap keliling rental-rental CD untuk narik uang keamanan. Dengan mata kepala saya lihat si oknum loreng itu narik uang keamanan. Masih ada beberapa cerita lagi soal interaksi saya dengan militer, namun saya fikir itu sudah mewakili kelakuan beberapa oknum. Menakutkan dan menyedihkan.


         Itu tadi soal interaksi saya dengan militer, sekarang soal interaksi saya dengan polisi. Alkisah ketika saya bersepeda motor lupa membawa STNK, dan kebetulan ada operasi kelengkapan surat kendaraan. Pada operasi itu saya masuk kedalam golongan tidak tertib karena non STNK. Dalam hati saya, ya sudah wong saya salah tidak bawa STNK, namun saya sempatkan memandang sekeliling. Ada plat merah yang sedang negosisasi, perihal si plat merah sama, lupa bawa STNK. Negosiasi tak berlangsung alot cukup dengan ucapan bahwa kita sama-sama aparatur negara pak, saling pengertianlah, dan motor itupun lepas. Kemudian adalagi seorang cewek yang pegang HP, entah dia menelepon siapa, dan telepon itupun diserahkan kepada salah seorang petugas. Setelah terima telepon iyu si petugas bilang siap, siap siap, dengan nada nurut. dan akhirnya motor si cewek itu lepas. Saya mulai jengkel dan nyari si komandan operasi, setelah ketemu komandan opersai saya sampaikan apa yang saya lihat dan saya dengar. Apa dinyana, saya dibentak "Kamu ini!!! Bikin ribet pekerjaan polisi, itu hak polisi untuk memilih dan melepaskan motor, itu namnya Diskresi!!!". Wow, atas nama diskresi Polisi membentak saya dan melepaskan motor yg jelas-jelas salah tidak bawa STNK. Lalu adakah diskresi untuk saya??? Polisi itu saya ingat betul namanya, tapi tak usahlah saya sebut. Memalukan dan menyedihkan. 



        Itulah sekilas singkat interaksi saya dengan Militer dan Polisi yang bila dikaitkan dengan kejadian belakangan, cukupo menarik untuk disandingkan. Mengapa menarik disandingkan?? Karena Militer dan Polisi tak ada bedanya dengan Preman. Kesimpulannya, Penembak di Lapas IIB Cebongan dengan yang ditembak serta Polisi yang menangkap si korban tembak sama saja menurut saya. Sama-sama premannya, coba saja anda lihat di Konser-konser atau kafe-kafe atau tempat karaoke. Militer dan Polisi tu biasanya arogan dan sangat minat untuk dijadikan kelas 1 sebagai warga negara. Kalau dijalanan, main salip main pelototin. Jadi saya fikir ditembaknya oknum militer di OKU saat melanggar lalu lintas itu wajar, karena ya yang jaga pos Polisi juga arogan yang melanggar juga arogan (mentang-mentang militer). Jadi ada garis linear antara militer-polisi-preman yaitu liniear dalam hal arogansi dan kebrutalan.

        Coba kita sebagai rakyat mulai berani mengkritik dan kalau perlu foto semua pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum Militer dan Polisi. Jadi cukuplah Preman saja yang bikin susah bangsa ini, jangan ditambahi kelakuan brutalnya Militer dan Polisi.