Permen Karet Cinta vs Burung
Garuda
Belakangan, negeri ini punya
kehebohan baru, yaitu permen karet cinta. Konon katanya permen karet tersebut
adalah permen karet yang jika dikunyah akan memberikan rangsangan libido tinggi
bagi penikmatnya sehingga (katanya) si pengunyah permen karet itu akan mencari
pelampiasan bagi libidonya. Sungguh ada-ada saja kehebohan yang menyeruak di
negeri ini, negeri si Nagabonar. Memang tidak ada perhatian khusus dari si
penguasa negara maupun bapak-ibu legislatif di DPR sana. Tidak seperti
biasanya, sang bapak penguasa beserta para legislator negara tidak latah
ikut-ikutan menanggapi kehebohan yang satu ini. Mungkin kehebohan tersebut
tidak terlalu seksi dan populer seperti kasus Cebongan. Bayangkan saja, dalam
kasus Cebongan, komisi III sampai datang dan tamasya (bahasa mereka sih investigasi)
di LP maut itu. Padahalkan sudah ada polisi, komnas HAM dan bahkan tim 9 TNI AD
yang menginvestigasi kasus tersebut. Lucu sekali kawan-kawan legislator itu.
Pencitraan saja urusannya.
Kembali pada permen karet cinta,
yang tidak populer bagi para legislator. Permen karet cinta sebenarnya bukan
barang baru di negeri ini. Sebab jauh sebelum permen karet cinta itu populer di
media cetak dan elektronik, barang itu sudah dikenal dikalangan penikmat media
online. Begitu mudahnya mendapat akses terhadap permen karet cinta ini. Lalu
kemudian apa hubungan permen karet cinta dengan burung garuda?? Ini bukan soal hubungan
yang porno, biar yang porno-porno menjadi bahan para sineas muda dalam mencipta
film horor. Dalam tulisan ini mari menjadikan permen karet cinta sebagai sebuah
kacamata lain dalam melihat eksistensi burung garuda dan sikap nasionalisme
para garuda muda (baca pemuda pemudi).
Baru-baru ini ada sekelompok warga yang
menamakan diri mereka sebagai Koalisi Gerakan Bebaskan Garuda Pancasila. Koalisi
Gerakan Bebaskan Garuda Pancasila ini tangguh loh ya,
mereka berhasil membuat Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat sama dengan mereka
bahwa burung garuda adalah milik rakyat, milik segenap bangsa dan tidak
seharusnya pemerintah lewat undang-undang meng-exclusive-kan penggunaan lambang garuda tersebut. Sebab bila hal
tersebut tetap dipertahankan maka tak ayal akan banyak sikap dan perbuatan yang
bisa dikriminalisasikan oleh segelintir orang dengan menggunakan ke-exclusive-an undang-undang tersebut (UU
No. 24 Tahun 2009). Dalam putusannya MK menyatakan Pasal 57 huruf c yang juga diuji
para pemohon bukan merupakan persoalan kontitusionalitas.MK menyatakan secara
faktual lambang negara lazim dipergunakan dalam berbagai aktivitas
kemasyarakatan. Seperti, disematkan di penutup kepala, sebagai bentuk monumen
atau tugu, digambarkan di baju, atau seragam siswa sekolah. Penggunaan lambang
negara seperti ini tidak termasuk penggunaan yang wajib maupun yang diizinkan
seperti dimaksud Pasal 57 huruf d. Karena itu, MK berpendapat larangan
penggunaan lambang negara dalam Pasal 57 huruf dtidak tepat karena tidak memuat
rumusan yang jelas. Apalagi, larangan itu diikuti dengan ancaman pidana.
Menurut Mahkamah, ancaman pidana seharusnya memenuhi rumusan yang bersifat
jelas dan tegas (lex certa), tertulis (lex scripta), dan ketat (lex stricta). Selain
itu, Mahkamah menyatakan pembatasan penggunaan lambang negara oleh masyarakat
adalah bentuk pengekangan ekspresi. Pengekangan itu dapat mengurangi rasa
memiliki dan mengurangi kadar nasionalisme. Terlebih, lambang Garuda Pancasila,
mutlak menjadi milik kebudayaan bersama seluruh masyarakat.
“Apalagi jika mengingat Pancasila sebagai sistem nilai
adalah terlahir atau merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia,” papar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi di persidangan. Dengan
dihapuskannya Pasal 57 huruf d, maka secara otomatis berlakunya Pasal 69 huruf
c juga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Terdapat hubungan yang erat
antara kedua pasal itu sebagai suatu ketentuan hukum yang berlaku. Maka
pertimbangan hukum MK terhadap Pasal 57 huruf d tersebut berlaku secara mutatis
mutandis (otomatis, red) terhadap Pasal 69 huruf c,” tutur Fadlil.
Jelas dan gamblang sudah soal putusan MK itu bahwa
burung garuda kini telah lepas dari sangkarnya dan boleh terbang bebas
kemanapun dan dimanapun. Di seragam, topi, sepatu, tatto ataupun kaos dalam,
tidak ada masalah. Namun ternyata masalahnya tidak sesederhana itu, pada awal pengajuan
permohonan di MK, saya pernah sedikit berdiskusi dengan kawan-kawan dari Koalisi Gerakan Bebaskan Garuda Pancasila. Tujuan
utama mereka bukan sekedar membebaskan garuda dari sangkar ke-
exclusive-an tapi justru lebih luas
lagi, yaitu soal membangkitkan semangat nasionalisme. Namun jika diamati secara
sederhana, tujuan utama itu sedikit lepas dari jalurnya, karena masyarakat masih
acuh saja terhadap keberhasilan melepaskan garuda itu. Nasionalisme masih tetap
kendor dan bocor oleh rangsangan global, rangsangan budaya hedon. Barang-barang
yang berlabel asing masih menjadi pilihan utama dalam setiap belanjaan masyarakat
Indonesia. Tontonan asing masih menjadi magnet setiap bioskop-bioskop untuk
menarik penonton. Konser musisi asing selalu lebih ramai daripada sebuah
pertunjukan reog, walaupun harga tiketnya jutaan rupiah. Namun apabila nanti
reog, angklung atau batik diklaim barulah kita marah dan mengumpat.
Dimanakah para pengumpat dan
pemarah itu kala reog terseok-seok diatas panggung Indonesia, dimanakah para
penimat musik ketika alunan angklung lirih dipanggungnya sendiri. Ironis
memang, nasionalisme hanya sebatas hingar bingar data dan tulisan, tidak dalam
dunia nyata. Garuda hanya menang diatas kertas, bukan diatas tanah airnya
sendiri. Kesamaan persepsi MK dan Koalisi Gerakan Bebaskan Garuda Pancasila
dalam memandang urgensi kebebasan burung garuda tak mampu memberikan therapy
bagi rakyat Indonesia untuk menakar ulang keIndonesiaan mereka. Garuda hanya
terbang bebas tak tentu arah, hanya hinggap saat timnas bertanding di Gelora
Bung Karno. Garuda hanya dinyanyikan kala pertandingan badminton dimenangkan
oleh laskar merah putih. Selebihnya garuda hanya teronggok didalam lemari
menunggu kegiatan-kegiatan tahunan (HUT RI, Kartinian, Hari pahlawan, dll). Sungguh
garuda yang malang.
Keberadaan garuda hanya
sebagai simbol hura-hura sesaat, bukan semangat yang dijadikan jiwa dalam hati
setiap rakyat Indonesia. Hati setiap rakyat Indonesia lebih dekat dengan Iron
man, Captain America, Manchester United dan Barcelona. Mereka lebih hafal
pemain-pemain asing itu daripada isi Pancasila. Nah, dalam saat-saat seperti
inilah rasanya formulasi permen karet cinta diperlukan. Dimana hendaknya setiap
warga negara Indonesia dibagikan permen karet cinta garuda, agar libido dan
hasrat mereka akan garuda menjadi menggebu-gebu dan menggelora luatr biasa.
Kunyah saja dan angklung akan sangat dicintai di panggungya sendiri, kunyah
saja dan reog akan menjadi idola baru anak-anak muda Indonesia. Andai saja
benar bisa begitu maka gatot kaca akan menjadi pahlawan di negerinya sendiri
dan tak perlulah ia mengemis recehan diperempatan lampu merah. Jika saja memang
permen karet cinta garuda ada maka jelas Garuda akan ada disegenap hati orang
Indonesia, Garuda akan ada di segenap air mata bahagia rakyat Indonesia.
Apakah sampai segenting
itukah persoalan nasionalisme di negeri ini?? Mari menakar ulang Indonesiamu,
Indonesiaku, Indonesia kita, sebab Nasionalisme bukan hanya soal burung garuda
tapi soal jiwa dan patriotisme yang ada didalamnya. Salam Indonesia, Salam
Garuda, Semoga kebebasan garuda bukan hanya diatas kertas.
Oleh :
Muhammad Zaki Mubarrak, SH.
*penulis
adalah mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum UGM*