Jumat, 16 Agustus 2013

(dulu) Merdeka atau Mati!!! (sekarang) Merdeka dan Matii...



(dulu) Merdeka atau Mati!!! (sekarang) Merdeka dan Matii.....


     
      Bulan Agustus menjadi bulan yang penuh suka cita bagi bangsa Indonesia. Melalui proses yang panjang dan melelahkan, Agustus menjadi bulan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dwitunggal Soekarno-Hatta di bulan Agustus pada tanggal 17 tahun 1945 atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Keringat dan darah dikucurkan demi daulatnya ibu pertiwi, Soedirman memimpin perang gerilya walau kondisi fisik melemah. Kartini, Dewi Sartika memperjuangkan hak-hak perempuan yang selalu dianggap terbelakang. Kapiten Pattimura, Sultan Hasanuddin, Christina Martha Tiahahu, Frans Kaisiepo, dengan lantang menyuarakan kobaran semangat Indonesia dari timur. Barat ke Timur, Utara ke Selatan, tiap jengkal wilayah dipertaruhkan dengan nyawa. Sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan para putra ibu pertiwi rela menumpahkan darahnya demi tegaknya merah putih. Pahlawan Revolusi, Pahlawan Reformasi, merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan sekedar merdeka biasa, tapi harapan merdeka sesungguhnya.
    
     Ketika era 60-an hingga 90-an, semangat dan jiwa patriotisme putra-putri ibu pertiwi dengan mudah ditemukan. Nilai-nilai kepahlawanan muncul dengan idealisme nasionalis yang kuat. Berbondong-bondong orang akan mendengarkan dengan seksama pidato Soekarno di radio, terik panas bukan halangan untuk sekedar melihat sang bapak bangsa. Pasca Soekarno menjabatpun, nilai-nilai kepahlawanan dan jiwa nasionalisme tetap saja terkekang dalam sanubari, bioskop keliling dan televisi umum dikerumuni oleh banyak warga yang ingin sekedar menonton film-film perjuangan. Judul-judul seperti: Enam Djam di Djogja (1951), Anak-Anak Revolusi (1964), Janur Kuning (1979), Serangan Fajar (1981) merupakan cerita sederhana yang dapat dengan cepat memainkan imajinasi nyata sikap nasionalis para putra-putri pertiwi. Selepas film-film yang mengimajikan para putra-putri pertiwi, era 90-an masih mampu membendung arus liberalis yang individualis dengan lomba-lomba yang tak kalah nasionalis-nya dibanding imajinasi film tersebut. Bendera merah putih masih mampu membuat tiap putra-putri pertiwi menantikan Agustus sebagai bulannya kemerdekaan. Bahkan nasionlisme di era 90-an tak hanya sebatas Agustus yang membahana merah, namun juga pada peringatan-peringatan seperti G-30 S - PKI, Hari pahlawan 10 November, Hari Kartini 21 April, dll. Hampir semua tanggal bersejarah mampu kembali mengimajikan alam pikiran para putra-putri pertiwi kedalam semangat nasionalis.

     Arus perubahan yang semakin meluas seakan tak mampu lagi dibendung oleh jiwa-jiwa patriot yang nasionalis. Kebobrokan moral mulai merasuki para pemimpin bangsa yang tadinya juga kuat nasionalismenya. Atas nama kepentingan pribadi, golongan dan bahkan keluarganya, harta bangsa dikeruk, rakyat dibodohi dengan surga kemakmuran yang ternyata hanya fatamorgana. Terungkap bahwa "negara digadaikan atas nama pembanguan". Gerbong orde baru yang menganggap orde lama tak layak lagi memimpin kemudian digusur oleh orde reformasi yang katanya menjanjikan sesuatu yang lebih baik. Habibie "disingkirkan" dan mulailah era reformasi menjadi pahlawan baru.

     Reformasi digadang-gadang mampu membawa perubahan yang signifikan bagi bangsa Indonesia. Reformasi harus pada segala bidang, sehingga "reform" (format ulang) terhadap bangsa ini pada akhirnya mampu memberikan pencerahan dan pembersihan pada tempat-tempat yang kotor. Mei 1998 reformasi berhasil menggulingkan penguasa yang telah memimpin selama 32 tahun. Dalam semangatnya reformasi justru melahirkan pergolakan politik yang cukup liar. Reformasi melahirkan 48 partai dalam pemilu pertama setelah jatuhnya orde baru. Pemilu pada era reformasi tersebut diharapkan mampu memberi nuansa "benar" dalam proses bernegara selanjutnya. Konstitusi yang oleh orde reformasi dianggap tidak reformis diubah sebanyak 4 kali. Perubahan demi perubahan dilakukan oleh penguasa era reformasi, tak semuanya buruk dan juga tak semuanya baik. Era reformasi memang pada akhirnya memberikan warna tersendiri terhadap nilai, jiwa dan semangat nasionalisme para putra-putri pertiwi.

     Sejak ditumbangkannya penguasa orde baru pada Mei 1998, Reformasi memberikan banyak perubahan. Termasuk perubahan karakter bangsa yang mulai lepas dari polanya. Bangsa ini menjadi lebih tidak sabaran dan agresif. Secara struktural ketatanegaraan mungkin reformasi memberikan dampak yang cukup signifikan bagi Republik Indonesia. Lembaga negara mengalami reposisi yang cukup tajam, beberapa lembaga baru dibentuk sebagai amanat konstitusi. Kecenderungan executive heavy turun drastis menjadi legislative heavy dan birokrasipun ikut-ikutan berubah. Namun kemudian mari perhatikan sudut lainnya dari pergerakan gerbong reformasi ini. Semangat reformasi yang oleh para tokohnya diharapkan dapat diterima dan diteruskan dengan baik oleh para putra-putri bangsa justru membuat bangsa ini tampak lebih liberal dan individualis. Bangsa ini justru terkoyak-koyak oleh kebebasan yang tercipta pasca reformasi.


Kemiskinan Moral yang melahirkan Kemiskinan Intelektual

     Pasca reformasi keadaan bangsa ini semakin tercabik-cabik oleh sesuatu yang bernama kebebasan dan hak asasi. Setiap individu merasa bebas dan memiliki hak asasi yang wajib dihormati tanpa merasa bahwa ada aturan atas itu semua. Tiap individu merasa bahwa haknya adalah hak yang paling asasi dan wajib dihormati, walaupun hak asasinya itu berjalan diatas perut-perut yang lapar. Kebebasan yang dimiliki tiap individu saat ini adalah kebabsan mutlak yang harus dijaga oleh setiap orang lainnya, walaupun kebebasan itu berada didepan penjara-penjara kehidupan individu lainnya. Perasaan miskin atas material dan kesejahteraan bukan merupakan masalah yang perlu dipecahkan oleh pemimpin bangsa ini. Negara ini pasca reformasi mengalami perubahan yang sangat drastis pada sisi moralitas kebangsaan. Rasa nasionalisme terkikis oleh kebebasan itu sendiri. Perut yang lapar masih bisa menahan teriknya sinar liberalisme, kerongkongan kering rela tidak menerima kebebasan yang ditawarkan jika kebebasan itu berdiri di atas kebebasan orang lain. Ketika moralitas bangsa ini mulai miskin maka kemiskinan lain akan segera menimpa putra-putri pertiwi. Kemiskinan Moral akan berimbas pada kemiskinan intelektual. Para kaya dan para cerdas lupa bahwa walau ditangan kanan dan kirinya bertabur kekayaan dan kecerdasan, mereka masih memiliki kaki untuk melangkah pada sesuatu yang baik.

     
     Para kaya lupa bahwa masih banyak langkah yang bisa dilakukan untuk mengisi perut-perut yang kelaparan, bukan justru menyumpal mulat penguasa dengan uang halanya yang kemudian menjadi haram dan busuk. Para cerdas cendikia lupa bahwa diluar kepalanya masih banyak kaum-kaum tak terdidik yang kepalanya kosong tak terisi oleh kecerdasan karena si cerdas hanya berusaha mencari kekayaan haram dengan kecerdasannya. Kemiskinan Moral dan Kemiskinan Intelektual yang terjadi di bangsa ini tak luput dari rasa patriotik dan jiwa nasionalis yang mulai luntur bahkan terhapus. Nasionalisme menjadi barang tak membanggakan, yang membanggakan adalah ketika anak 5 tahun dianggap cerdas ketika mampu bicara mother, father, i love you, i love america. Patriotisme dianggap tidak gaul dan tidak berkonsep kekinian ketika yang gaul dan kekinian itu adalah Ironman, Spyderman, dan Superman tidak ada lagi kisah teriakan lantang Bung Tomo, putra-putri pertiwi lupa siapa Ayam Jantan dari Timur, bahkan mungkin banyak yang tak lagi tau mengapa ada sebutan Si Jalak Harupat. Ironis, nilai-nilai kebangsaan dan nasionalis tak bernilai lagi dan gejala kemisminan moral yang pada akhirnya berujung pada kemiskinan intelektual telah akut pada bangsa ini. 


     Kiyai korupsi, maha guru korupsi, Al Qur'an dikorupsi, yang dianggap alim dan bersih ternyata sumbernya koruptor. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pihak-pihak yang "tak terduga" memang tak dapat dijadikan indikator, namun bisalah untuk sekedar dijadikan sebagai tanda bahaya terhadap bangsa ini. Pedih memang namun itulah Indonesia, dalam kepedihanpun kita masih dapat membayangkan kejayaan. Masih ada harapan ketika memang putra-putri ibu pertiwi masih mau berharap, berharap atas kemampuannya sendiri. Bangsa ini bukanlah bangsa yang miskin moral, bangsa ini adalah bangsa yang moralitasnya terjaga, bangsa yang ramah dan sangat beretika. Santun adalah cara kita sebagai bangsa yang bermoral. Mulailah dari diri kita, lingkungan kita dan dari hal yang kecil. Antrilah sesuai aturannya, buanglah sampah pada tempatnya, santunlah dalam berucap. Bangsa ini juga bukan bangsa yang tak terdidik. Indonesia adalah bangsa cerdas, bangsa yang mampu dan berani bersaing dengan negara manapun. Indonesia memiliki sumber apapun yang tak banyak dimiliki bangsa lain. Mulailah dari yang kecil, mulailah dari didi sendir dan mulailah saat ini juga.  


     Kemiskinan moral dan kemiskinan intelektual bukan barang menakutkan selama kita memiliki pegangan nasionalisme dan jiwa patriot. 68 tahun bangsa ini telah merasakan kemerdekaan dan 68 tahun pula bangsa ini telah meneteskan keringat serta darahnya. Jika dulu terikan yang lantang disebut adalah: MERDEKA ATAU MATI!!!!! maka kembalikan teriakan itu pada jalurnya, MERDEKA ATAU MATII!!!!! Jangan biarkan teriakan itu menjadi kalimat penutup: merdeka dan mati... Bangkit dan berjuanglah wahai putra putri ibu pertiwi, Berdirilah diatas kaki sendiri. Hentikan penjajahan atas bangsa sendiri. MERDEKAAA...!!!!!

Senin, 05 Agustus 2013

Budaya Mudik, Mudik Budaya...

Budaya Mudik, Mudik Budaya...


     Ramadhan 1434 H telah hinggap diujung bulan, aroma lebaran makin terasa manis dipelupuk mata. Geliat para penikmat ramadhan tampak khusuk di setiap hening masjid. Hingar bingar kebersamaan muncul dijalanan seiring dengan perasaan was-was para penunggu kampung halaman. Mudik, sebuah hajatan besar yang sulit ditinggalkan dalam tradisi lebaran Indonesia. Mudik menjadi sesuatu yang harus bahkan hampir menjadi wajib hukumnya bagi mayoritas perantau. Belumlah terasa lebaran jika dalam perantauan si perantau belum pulang kekampung halaman dan membawa aroma kesuksesan. Mudik menjadi sebuah rutinitas tahunan yang banyak menghabiskan energi namun juga menciptakan geliat emosinal tersendiri. Jalanan penuh sesak dengan rombongan kereta besi yang seakan diburu oleh raungan kerinduang kampung halaman.
    
     Masih banyak perdebatan dan penelitian soal definisi dan sejarah mudik. ada yang bilang bahwa mudik itu berasal dari kata udik yang artinya kampungan, adalagi yang menyampaikan bahwa mudik itu berasal dari bahasa betawi, yang memfilosofikan pada hulu-dan hilir. Sebagian orang juga mendefinisikan mudik dalam kata yang berasal dari bahasa Arab. Dalam terminologi bahasa Arab mudik dapat didefinisikan dalam 3 buah pengertian yang masing-masing memiliki makna sendiri-sendiri namun tetap berkesimpulan satu. 

     Mudik dari akar kata “ adhoo-a” yang berarti “ yang memberikan cahaya atau menerangi”, ini bisa dipahami dengan mudah, bahwa mereka para pemudik itu secara khusus memberikan ‘cahaya’ atau menerangi kampung-kampung halaman mereka. 

     Mudik dari akar kata “ Adhoo-‘a”, yang berarti “ yang menghilangkan “, slanjutnya, mudik berasal dari bahasa arab yang berarti : orang yang menghilangkan. Hal ini juga akan mudah kita tangkap, bahwa mereka pemudik itu adalah orang-orang perantauan yang dipenuhi beban perasaan kerinduan, dan kesedihan karena jauh dari orangtua, keluarga atau kampung halamannya. Karenanya mereka melakukan aktifitas mudik , dalam rangka ‘menghilangkan’ semua kesedihan tersebut.

     Mudik dari akar kata “ adzaa-qo” yang berarti “ yang merasakan atau mencicipi “, orang yang mudik ke kampung halaman pastilah mereka yang ingin kembali ‘merasakan dan mencicipi’ suasana kampung tempat kelahiran. Akhirnya, istilah mudik dari manapun asalnya, sesungguhnya tetap bisa kita perluas dan selami maknanya dari ‘versi’ padanan kata bahasa arabnya.

     Apapun definisi dan sejarah yang kemudian menjadi dasar mudik, tradisi mudik telah lama dan lekat dalam darah daging budaya lebaran Indonesia. Mudik bukan lagi sekadar kerinduang akan kampung halaman namun telah menjadi budaya yang sulit ditinggalkan. Saking sulitnya mudik ditinggalkan atau diubah untuk sebuah hal yang modern, setiap perantau rela mempersiapkan mudiknya berbulan-bulan bahkan setahun sebelumnya. Resiko apapun ditempuh, seorang pemudik asal Malang bahkan melakukan budaya mudik ini dengan menggunakan becak untuk mencapai tujuan Semarang. Dimuat dalam republika.co.id tanggal 3/08/2013, Tony (34 tahun) mudik dari malang menuju semarang dengan menggunakan becak. Dapat dibayangkan bagaimana mudik menjadi sebuah tradisi (budaya) yang sangat melekat dan sulit ditinggalkan bagi masyarakat Indonesia. Resiko apapun yang muncul menjadi pertaruhan yang seakan sebanding dengan apa yang akan didapat oleh si pemudik di kampung halaman. 

     Salah satu contoh dari pemudik asal Malang tersebut sesungguhnya dapat dijadikan sebagai representasi bahwa mudik telah menjadi budaya nasional yang seharusnya dapat dikelola dengan baik. Resiko celaka dijalan, biaya tinggi, energi fisik yang terkuras dianggap sebanding dengan nuansa kampung halaman dan berkumpulnya keluarga. Resiko tersebut bukan hanya arus datang saja namun juga resiko yang mungkin muncul pada arus balik. Resiko pertama tetap sama, yaitu pada tataran resiko celaka, resiko biaya dan resiko energi namun juga termasuk resiko gegar budaya.

     Resiko gegar budaya  jelas termasuk dalam salah satu resiko yang muncul dalam setiap perhelatan mudik di Indonesia. Kedatangan para perantau yang membawa cerita sukses menjadi sebuah fatamorgana yang menyejukan bagi sanak famili di kampung halaman. Jika ingin sukses maka merantaulah, dan jika ingin merantau ya kekota besar. Cerita sukses yang terkadang bersifat fatamorgana menjadikan budaya mudik memiliki sebuah idiom baru yang tercipta, yaitu "mudik budaya". Ketika si perantau membawa "cerita suksesnya" kekampung halaman dan cerita itu menawarkan sebuah kefatamorganaan impian. Para penghuni kampung halaman yang seharusnya-pun bisa kreatif dikampung halaman jadi berubah haluan untuk ikiut-ikutan mengadu nasib (menyesaki kota). Para pribumi kehilangan semangatnya sebagi penerus kepribumian setiap kampung yang disinggahi pemudik. Kampung nelayan berubah menjadi kampung perantau, kampung tani berubah jadi kampung perantau.

     Keberadaan para kampungisme dirusak oleh cerita fatamorgana kotaisme dan kampung kehilangan budayanya. Ketika budaya mudik menciptakan mudik budaya dan berhulu pada masyarakat yang kotaisme. Seakan kesuksesan hanya tgersedia pada kota-kota rantau yang belum jelas kebenarannya. Petani teladan yang mengharapkan keturunanannya menjadi ahli tani dikampung berubah menjadi buruh tani di kota sebagai akibat dari cerita sukses yang masih fatamorgana. Kemudian terus berlanjut dan berantai sehingga tumpukan penduduk pribumi inim skill di kota menumpuk dan kembali mudik budaya memberikan hasilnya. Budaya mudik seharusnya dapat menjadi budaya yang baik ketika memang cerita yang muncul bukan fatamorgana kesuksesan. Ketika memang semua pemudik menjalani kisah mudiknya dengan apa adanya, bukan dengan kisah "kesuksesan" yang kosong. Sehingga pribumi yang berkwalitas tetap menjadi berkwalitas di buminya, tidak malah mandul akibat kotaisme. Mudah-mudahan tradisi (budaya) mudik tahun ini dapat memberi banyak pencerahan yang benar-benar cerah bagi keluarga kita dirumah. Selamat mudik dan jangan lupa berhati-hati dijalan, kampung halaman kita tetap disana dan tak usah terburu-buru meraihnya. Minal Aidzin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Presiden Republik BBM (Benar-Benar Miskin)

Presiden Republik BBM (Benar-Benar Miskin)


     Senin, 17 Juni 2013, Republik Indonesia kembali mengalami kegaduhan sosial - politik - ekonomi. Demostrasi dibeberapa kota besar betah bertahan hingga sore hari guna meramaikan kegaduhan tersebut. Konon katanya kegaduhan melalui demonstrasi-demonstrasi tersebut mengatasnamakan rakyat yang menolak kenaikan BBM yang direncanakan Pemerintahan SBY. Sedari pagi hingga malam, walau demonstran bertahan toh akhirnya DPR menyetujui usulan perubahan APBN dengan mengesahkan UU APBN Perubahan. Jika dipahami dan dicermati, maka sebenarnya apa sih peduli masyarakat dengan sirkus politik - ekonomi tersebut??? Masyarakat telah terbiasa dengan gaya-gaya lama pemerintah yang kembali membebankan masalahnya ke masyarakat, semua atas nama rakyat dan si presiden bersembunyi dibaliknya. jika si presiden tersudut maka rakyat akan diatasnamakan dalam curhatannya. Sungguh ironi ketika negara yang "gemah ripah loh jinawi" ini harus berkali-kali dikatakan miskin dan serba kekurangan.

     Sebenarnya seberapa miskin kah negara Indonesia ini, sehingga perekonomian harus diselamatkan dengan berkali-kali kenaikan BBM dengan dalih mengurangi subsidi. Berdasarkan Worldfactbook, BPS, dan World Bank, di tingkat dunia penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat dibandingkan negara lainnya. Tercatat pada rentang 2005 – 2009 Indonesia mampu menurunkan laju rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin per tahun sebesar 0,8%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian negara lain semisal Kamboja, Thailand, Cina, dan Brasil yang hanya berada di kisaran 0,1% per tahun.  Bahkan India mencatat hasil minus atau terjadi penambahan penduduk miskin. Jika diambil dari data tersebut maka jelas bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia tiap tahunnya turun sehingga klaim pemerintah yang selalu mengatasnamakan masyarakat miskin itu masyarakat yang mana???
      

Jumat, 02 Agustus 2013

Sederhana Dalam Fikir, Anggun Dalam Sikap (1)

Sederhana Dalam Fikir, Anggun Dalam Sikap

     Siti Roemaeni, nama pertama mama yang diberikan oleh almarhum Mbah kakung Karsidan dan Mbah putri Siti Mainah. Mama yang lahir di Yogyakarta 2 Mei 1949 tidak terlalu lama memakai nama Siti Roemaeni, karena menurut ceritanya, nama tersebut tidak terlalu cocok dengan mama. Entah dari mana dasar pembenarannya, kemudian nama mama diubah menjadi Eny Budi Astututi. Mama dengan nama Siti Roemaeni dikisahkan sering menangis dan sulit dihentikan tangisnya, padahal nama Siti Roemaeni itu diharapkan oleh Mbah kakung dapat menjadi kenang-kenang saat keluarga kecil Mbah kakung menempati rumah barunya di seputaran Baciro. Walau berat tapi demi si bayi mungil yang sulit dihentikan tangisnya, Siti Roemaeni diganti menjadi Eny Budi Astuti dan alhamdulilah hingga kini nama itu masih menjadi idola saya dan tentunya keluarga yang lain. Mama lahir dalam keluarga sederhana dan penuh dengan keterbatasan, Mbah kakung yang yatim piatu berusaha sekuat tenaga membesarkan mama bersama Mbah Putri, sampai akhirnya mama dipersunting oleh Bapak (Drs. H. Djajusman, MS., SH., MH.) pada tanggal 10 Juni 1974.
     
     Itulah sedikit cerita soal latar belakang mama, perempuan luar biasa yang saat saya kecil, saya sering menganggap mama itu ribet soal pakaian. Belakangan saya mulai fahami dan coba mengerti, bahwa mama adalah perempuan luar biasa dengan fikiran sederhana namun elegan dan anggun dalam bersikap. Jika terdahulu telah sedikit saya berkisah soal Bapak, sekarang saya mau cerita sedikit soal mama, perempuan pertama yang saya anggap HEBAT. Dalam tulisan bapak saya berujar bahwa tulisan soal mama akan berjudul "dalam kesederhanaannya ia memberi kami kekayaan", namun sedikit saya rubah saja agar rasa dramanya lebih mengalir (hehe). Mama yang saya tau berasal dari keluarga sederhana dan mampu menjadikan ke-6 anaknya sebagai master di bidangnya masing-masing. Mama rela untuk menggadaikan emas, perhiasan dan barang-barang pribadi mama demi membayar biaya sekolah anak-anaknya dengan harapan kelak anak-naknya mampu menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik dari mama (susah sepertinya, karena mama hebatnya sulit ditandingi).

     Memori yang terekam dalam ingatan saya tentang mama cukup banyak, tapi dalam tulisan ini saya akan bercerita sedikit saja. Mama dimata saya merupakan sosok yang perfeksionis dan konsekuen. Ketika memang mama merasa belum nyaman belum enak maka mama akan turun tangan sendiri. Saking kami anak-anak memahami hal itu, pada pernikahan saya beberapa waktu yang lalu, kami, 6 bersaudara kompak melarang mama didapur. Kami ingin mama santai dan menerima tamu saja. urusan masak memasak untuk jamuan tamu sudah bukan tugas mama lagi. Tapi apa mau dikata, mama seorang perfeksionis yang konsekuen, tetap saja bolak balik kedapur mempersiapkan jamuan istimewa untuk keluarga. Rasa letih, capek dan ngantuk kadang mama lupakan demi jamuan yang istimewa dan sempurna. Semua bumbu harus siap sesuai polanya, semua jenis bahan makanan harus bersih dan terpotong dengan baik sesuai apa yang mama ketahui.Perfeksionisnya mama ini dalam sudut lainnya memberi kami pelajaran bahwa menyajikan sesuatu itu tidak boleh sembarangan, hal-hal kecil terkait kepantasan perlu diperhatikan. sungguh takjub saya ketika banyak orang menyajikan teh hangat ya begitu selesai diaduk tinggal disajikan. namun tidak begitu dengan mama, sangat jelas dalam ingatan saya bahwa mama mengajarkan untuk membersihkan buih-buih bekas adukan gula dalam teh. Menurut mama hal kecil itu bisa menimbulkan kesan negatif dan ngawur bagi beberapa tamu, terkesan seperti buih (maaf) ludah menurut mama. Luar biasa kan perfeksionisnya mama, belum lagi soal memotong kacang panjang saat masak gado-gado atau saat membuat adonan untuk masak bakwan. Beberapa dari kerabat telah tau sifat mama yang luar biasa ini. sederhana namun anggun dalam tampilan.

     Cerita lain soal mama adalah mengenai kemampuan mama mentransformasikan nilai-nilai kesantunan dan etika kepada kami. Belakangan kami sering memperhatikan anak-anak zaman sekarang yang kalau dimasjid lari-larian saat orang sedang sholat, atau saat bertamu kerumah orang kemudian anak-anak kecil pada masuk keruangan-ruangan dan "gumunan". Seingat saya, dari apa yang saya alami saja, sungkan dan takut rasanya kalau kami lari-larian di masjid saat yang lainnya sholat dan malu rasanya kalau dirumah orang kami keliling-keliling dan "gumunan". Sungguh dalam sikapnya dan dalam katanya mama selalu mengajarkan kami bagaiman bertamu yang baik, bagaiman bersikap yang baik. Suatu ketika pernah saya berujar kata "prek" saat ngobrol dengan adik saya, ya waktu itu usia saya sekitaran 12 tahhun. Tanpa babibu, mama menampar mulut saya, dan seketika itu saya jengkel dan ngambek ke mama. Ni mama kasar amat ya ama anaknya, betulah pikiran kanak-kanak saya ketika itu. Belakangan saya fahami, sudut lainnya dari sikap mama itu adalah kami, harus tau etika, etika bergaul, etika berbicara. Hebat sekali mama, tanpa perlu banyak teori, sikapnya secera sederhana mengajarkan keanggunan etika pada kami. Saya belajar banyak dari mama soal etika itu, dan akhirnya sekarang hal tersebut menjadi bahan diskusi saya dengan istri.

     Sderhana dalam fikir dan anggun dalam sikap, seperti itulah mama. Sering saya melihat dalam keseharian mama, mama berbeda pendapat dengan bapak. Secara alamiah, rasa jengkel mama kepada bapak tetap keluar dan tidak tertutupi, tapi katika memang mama harus tampil sebagai sosok seorang istri maka dalam kejengkelannya, mama tetap melayani bapak. Bandingkan dengan istri-istri jaman sekarang, palingan kalau jengkel ya ditinggal pergi, yang agak halusnya paling ditinggal tidur. Perhatikan sudut lainnya keanggunan sikap mama, walau hati dilanda kejengkelan, mama tetap tampil sebagai sosok istri yang melayani dan itu sungguh sulit untuk ditiru. Mama luar biasa, dalam sikapnya yang sederhana mama mengajarkan kami bagaiman seharusnya seorang istri itu, dan mama berhasil mencontohkan.

     Terakhir mungkin dalam tulisan ini adalah saat-saat menjelang pernikahan, ditengah ribetnya persiapan, dan riuhnya keadaan kadang ada sesekali konflik yang muncul. Ketika ada sebuah konflik muncul dan saya sempat ngobrol dengan mama, ini yang keluar dari bibir mama : "ki, ngomong itu mudah, tapi ngemong itu susah dan itulah yang selama ini mama lakukan.". Wow, mama yang saya kenal memang sangat jarang menasehati kami secara verbal (dalam kata-kata tapi sekalinya ngomong, dahsyat. Perhatikan mendalam, perhatikan sudut lainnya omongan mama itu. Dalam bahasa verbalnya (yang jarang sekali mama keluarkan) mama mengajari kami bagaiman susahnya menjadi seorang istri, seorang ibu yang ngemong banyak kepala. Banyak teori, banyak alasan yang bisa keluar tapi mama dengan "ngemong"-nya mengajarkan kesederhanaan pola pikir, mengajarkan kesantunan sikap tapi tetap berkelas dengan perilaku yang elegan dan anggun. Saya, dan tentunya keluarga yang lain punya segudang cerita soal mama, tapi sedikit saja yang tertuang disini telah mampu membuat kami merasa bangga dan bersyukur punya mama yang hebat. Mama yang super sabar dan pengertian. I love you ma...


Agama Nasionalis

AGAMA NASIONALIS




     Bulan suci ramadhan hampir menapaki ujungnya, ketika keberagaman umat kembali diusik dengan aksi-aksi tak terpuji beberapa oknum dengan legalitas agamanya. Terakhir yang cukup menggemparkan adalah peristiwa bentrok antara FPI dan warga di Kendal beberapa waktu lalu (Juli 2013). Beragam pembenaran dilakukan oleh masing-masing kelompok, baik pembenaran ala FPI dan pembenaran ala masyarakat. Sungguh menyedihkan bentrok di Kendal tersebut mengakibatkan 1 orang korban yang bukan berasala dari dua kelompok yang bersitegang. FPI yang selama ini dicap sebagai lembaga dakwah anarkis, kembali menjadi tertuduh dalam peristiwa tersebut. Masyarakat yang belum tentu juga benar semuanya, kembali dianggap sebagai korban. Kronologis pembenaran oleh FPI adalah bahwa masa FPI konvoi damai, namun dihadang oleh preman-preman penjaga lokalisasi, seiring dengan pembenaran FPI tersebut, beberapa orang atas nama masyarakat menyampaikan bahwa masyarakat geram atas perilaku FPI tersebut.
     Sesungguhnya siapa salah siapa benar bukanlah hal yang sepantasnya dijadikan alasan untuk suatu kaum menindas kaum yang lainnya, karena kekerasan tidak dibenarkan dilakukan walau diatasnamakan agama. Islam dalam kasus tersebut telah banyak memberikan contoh kesabaran Rasulnya dalam berdakwah, dicaci, diludahi dan dihardik namun kesantunan selalu keluar dari keteladanan Rasulnya. Pun juga dengan agama lainnya, Kristen maupun Katholik mengkisahkan bahwa Yesus, datang kedunia dengan kedamaian, menawarkan perdamaian dalam hidup. Kemudian dalam ajaran yang lain, Agama Hindu, dalam Kitab Suci Weda misalnya, terdapat satu ajaran yang disebut Tat Twam Asi, dimana anda dan saya adalah sama. tidak ada pembeda antara manusia satu dan manusia yang lain, sehingga apa yang akan kita lakukan ke orang lain adalah apa yang orang lain akan lakukan kepada kita, poin ajaarannya adalah mengarah pada perdamaian dan keharmonisan. Satu lagi contoh adalah dalam agama Budha, Budha Gaotama dalam beberapa artikel yang penulis telusuri, membawa ajaran cinta, kasih sayang, keseimbangan batin dan kedamaian. Maka jelas, apa yang terjadi dalam bulan Ramadhan ini, yang katanya dilakukan oleh FPI (Front Pembela Islam) tidak dapat dikatakan sebagai kekerasan atas nama agama. Tidak ada agama yang mengajarkan anarkisme dalam syiarnya. Perbedaan itu biasa, yang luar biasa adalah sikap kita menanggapi perbedaan yang ada.
     Agama-agama yang ada seharusnya bukan menjadi penghalang bagi kita untuk berbhineka, cukuplah Islammu, Kristenmu, atau Hindumu berada didalam hati dan rumah ibadahmu. Pakai Indonesiamu dalam setiap langkah sosial kemasyarakatanmu. Sehingga tak perlulah ada yang namanya anarkisme atas nama agama, sebab sesungguhnya tak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan. apalagi Indonesia ini telah menuangkan kebebasan beragama dalam konstitusinya, maka pemaksaan-pemaksaan bukan ciri dari Bhineka tunggal ika, tapi justru mencirikan bahwa bangsa ini telah kehilangan roh-nya. Kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi, jadi seharusnya, Pemerintah menjalankan amanat konstitusi tersebut. Jika agak jauh kita menoleh kebelakang, kejadian di Sampang Madura terjadi juga atas nama kemurnian agama A atau B. Si pengikut A harus ikut pengikut B. Sungguh ironis, belum lagi soal kisruh Gereja Yasmin di Bogor dan gereja-gereja lainnya. Kekisruhan tersebut seharusnya tidak perlu meluas bila memang Konstitusi dan aturan penunjangnya dapat ditegakkan dengan benar oleh pelaksananya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Pemerintah sebagai perpanjangan tangan Negara dan Konstitusi justru tidak pernah hadir di masyarakat sampang yang dirusuhi, negara tidak hadir memberi kejelasan dan ketuntasan di bogor atau tempat-tempat konflik lainnya.
     Seharusnya negara hadir dan menancapkan perannya, sebagai sebuah Indonesia dan bukan soal agama Islam, agama Kristen atau Hindu, Budha, Katholik. Ini soal Nasionalisme dan keBhinekaan. Tidak ada lagi Islam atau Kristen dalam bermasyarakat. Namun kemudian keretakan dan ambang kehancuran Indonesia muncul ketika Pemerintah tidak mampu tegas, Sarang perjudian tumbuh subur, minuman keras yang memabukan bebas dan bahkan kadang ada oknum yang melindungi. Jadi sekali lagi perlu di garis bawahi bahwa kekerasan dan pemaksaan yang terjadi bukan semata-mata atas nama agama, namun jelas karena Negara (dalam hal ini pemerintah) tidak mampu memberi jaminan dan kepastian kepada seluruh umat soal ketentraman mereka, sehingga bagi beberapa kelompok yang merasa berhak bertindak, mereka akan bertindak.
     Agama A dianggap benar dan yang B sesat, lalu dsini boleh dsana tidak boleh dan akhirnya kericuhan muncul yang akibatnya kebhinekaan kembali terusik. Tidak ada yang salah dalam beragama yang salah adalah oknum-oknum yang memahami gamanya. Sebuah ungkapan menarik disampaikan oleh Cotton, manusia bisa bertengkar untuk agama, bisa menulis tentang agama, bisa membunuh dan terbunuh karena agama, apa saja dapat dia lakukan untuk agama, tapi akan terasa sulit untuk melakoni agama. Meringislah, merenunglah, bahwa kemudian kita semua memang mampu berkorban untuk agama tapi mampukah kita beragama dengan benar ketika para pendiri bangsa mengamanatkan Kebhinekaan kepada kita. Cukuplah agama dan kepercayaanmu berada dalam hati dan rumah ibadahmu dan kemudian ciptakan kedamaian dan kasih sayang dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita. Bagimu agamamu Bagiku agamaku. Lakum Diinukum Waliyadiin....