Kamis, 19 Maret 2015

Gubernur Untuk (Rakyat) Bengkulu

GUBERNUR UNTUK (RAKYAT) BENGKULU


Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia merencanakan untuk menggelar Pilkada secara serentak di tahun 2015. Pilkada tersebut dilaksanakan bagi daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis sepanjang tahun 2015. Tak kurang dari  8 provinsi, 170 kabupaten dan 26 kota yang akan menggelar Pilkada sepanjang tahun 2015. Meski sempat terombang-ambing oleh dinamika politik nasional terkait pola pemilihan langsung atau perwakilan, akhirnya pemilihan kepala daerah tetap menggunakan pola pemilihan langsung. Dengan dinamika sidang yang cukup “smooth” pada tanggal 17 Februari 2014 Undang-Undang Pilkada direvisi dengan 11 poin penting perubahan yang dibacakan oleh Rambe Kamarulzaman. Sebuah kepastian hukum telah disepakati oleh KPU selaku penyelenggara Pemilu, Pemerintah dan DPR. Kepastian hukum tersebut tentunya merupakan angina segar bagi para politisi daerah yang cukup lama dirundung kegundahan akan aturan main pilkada. Tak terkecuali para politisi di Bengkulu, dimana Bengkulu merupakan salah satu dari 8 daerah yang masa jabatan Gubernurnya habis ditahun 2015 ini.

Merupakan sebuah kelaziman ketika pesta demokrasi 5 tahunan bagi daerah tersebut menawarkan banyak pengharapan baru. Tak hanya soal nama pemimpin yang baru tapi justru yang dinanti adalah konsep-konsep anyar terkait pola pembangunan suatu daerah tersebut. Bengkulu sebagai salah satu daerah yang ikut terjadwal dalam Pilkada serentak tersebut juga mempunyai dinamika tersendiri. Mulai dari kedua petahana (Gubernur dan Wakil Gubernur) yang sama-sama berambisi mencalonkan diri, hingga hasrat para bupati untuk menantang sang petahana. Tak hanya itu, Bengkulu rupanya juga menarik bagi Bupati daerah sekitar Provinsi Bengkulu untuk menjajal peruntungannya sebagai Calon Gubernur. Pilkada Bengkulu menjadi semakin menarik ketika para bakal calon tersebut membangun komunikasi politik ke partai maupun ke masyarakat. Berbagai konsep soal memperbaiki Bengkulu disampaikan para bakal calon seakan mereka adalah “kecap nomor satu” semua.


Dalam pola komunikasi politik dan pembangunan daerah di Bengkulu, figure nama besar  bukan jaminan untuk bisa sukses meraih suara di Bengkulu. Dengan pola ‘kedaerahan’ yang cukup kental pesta demokrasi di Bengkulu selalu menjadi milik warga Bengkulu, artinya, tawaran perbaikan dan pembaharuan selalu menarik untuk dijadikan alat komunikasi politik yang baik. Namun sayang 2 (dua) periode terakhir apa yang ditawarkan oleh pemimpin nomor 1 daerah ini tak terbukti dan terkesan jalan ditempat. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Asia Competitiveness Institute (ACI) National Univesity Singapore (NUS), Bengkulu yang pada tahun 2013 menempati posisi ke 27 dalam peringkat pertumbuhan ekonomi nasional dan turun pada tahun 2014 di peringkat 30 dari 33 Provinsi di Indonesia.  Hasil kajian tersebut tak hanya warning bagi para calon pemimpin baru di Bengkulu namun juga sebagai bahan intropeksi bagi rakyat Bengkulu secara umum. Sudahkah kita memilih pemimpin yang benar-benar memiliki konsep jelas dalam memperbaiki dan memperbarui Bengkulu?

Dalam konteks kepemimpinan Bengkulu yang kekinian, bukanlah sebuah parameter penting lagi mengenai limit kefiguran seorang calon gubernur. Bagi Bengkulu yang bisa dianggap sebagai daerah yang telah akut dalam kemunduran pembangunan, perilaku koruptif dan dekadensi moral, secara umum figure tak lagi menjadi jaminan perbaikan. Secara umum dengan situasi ekonomi, politik sosial dan budaya masyarakat Bengkulu saat ini, paling tidak ada 4 kriteria wajib yang harus dimiliki oleh seorang Gubernur Bengkulu. Pertama, Gubernur Bengkulu yang akan datang wajib memiliki kemampuan untuk membaca potensi Bengkulu. Dengan luas wilayah hampir 20juta kilometer persegi tentunya Bengkulu menyimpan banyak potensi yang bisa dikembangkan secara maksimal. Tak hanya soal luasan wilayah, jumlah penduduk yang menyentuh angka 2juta jiwa, warisan budaya dan sejarah, kontur wilayah yang berimbang antara perbukitan, lembah, dan laut juga merupakan potensi lain yang perlu dimengerti oleh Gubernur yang akan datang.

Kriteria kedua yang wajib dimiliki oleh Gubernur Bengkulu yang akan datang adalah calon Gubernur yang berorientasi pada pembangunan moral. Gubernur Bengkulu yang akan datang wajib membangun dan menjaga moralitas rakyat Bengkulu, seirama dengan apa yang digagas oleh Presiden Jokowi tentang revolusi mental. Kikis habis kepercayaan akan ‘upeti’ yang akan memuluskan seorang masuk menjadi abdi Negara (ASN/PNS). Semua wajib berdasarkan kompetensi dasar yang dimiliki oleh seorang pelamar, sehingga tata kelola pemerintahan benar-benar dijalankan oleh orang yang tepat. Kikis habis kebiasaan tentang kekerabatan dalam menunjuk seorang pejabat teras lingkungan pemerintahan, sehingga semua pekerjaan dilaksanakan dengan dasar profesionalisme. Kikis habis budaya asal Bapak/Ibu senang, sehingga budaya kerja tercipta dengan semangat yang dinamis dan riil sesuai apa yang terjadi dilapangan. Dengan membangun moralitas rakyat Bengkulu yang demikian itu maka kita dapat berdiri tegap dan siap bersaing dengan daerah lainnya.


Pengusaan atas potensi wilayah dan pembangunan moralitas semata tak bisa serta merta membuat Bengkulu maju. Diperlukan kriteria ketiga bagi Gubernur Bengkulu yang akan datang, yaitu kemampuan menggaet investor. Dengan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang  tidak signifikan dari tahun ketahun, sulit rasanya mengembangkan Bengkulu dengan kemampuannya sendiri. Pada Tahun 2013, total pendapatan daerah Rp 1,68 triliun dengan PAD hanya Rp 504,81 miliar. Sedangkan tahun 2014 hanya naik menjadi Rp 1,80 triliun, dengan PAD hanya Rp 532,93 miliar (Data terhimpun dari sumber buku APBD Provinsi Bengkulu). Bila tidak ditambah dana perimbangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) atau dari pusat, sudah dipastikan pendapatan daerah Provinsi Bengkulu sangat minim. Situasi tersebut sangat mengkhawatirkan, sehingga Gubernur yang akan datang wajib memiliki kemampuan untuk menggaet investor agar menginvestasikan modalnya di Bengkulu. Dengan jaminan investasi yang baik dari Gubernur, tentunya geliat investasi akan menggelora dan membuat masyarakat makin sejahtera. Tak hanya kesejahteraan masyrakat Bengkulu yang membaik, PAD Bengkulu-pun akan naik seiring kesejahteraan yang meningkat.

Kriteria terakhir yang wajib dimiliki oleh Gubernur Bengkulu yang akan datang adalah orientasi pembangun fisik di Bengkulu. Data tahun 2010 yang dirilis oleh Media Indonesia pada 2011, dari 750,40 km jalan Negara di Provinsi Bengkulu, 70 % (tujuh puluh persen)-nya mengalami keruskan berat. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya akses untuk menyambungkan ekonomi antar daerah. Belum lagi soal gedung sekolah yang skala keruskannya telah akut yang berimbas pada kwalitas pendidikan di Bengkulu. Ketika penguasaan akan potensi wilayah telah dikuasai, pembangunan moralitas telah terjaga dan investor dijamin kenyamanannya berinvestasi di Bengkulu, maka hal mutlak yang wajib dilakukan adalah pembangunan infrastruktur di seluruh penjuru Bengkulu. Situasi akan sangat ideal jika ke empat kriteria tersebut dimiliki, sebab Gubernur akan mengarahkan pembangunan infrastruktur ke daerah-daerah yang potensi perkembangannya baik dimasa depan. Kemudian dengan moralitas yang terjaga di kalangan aparat pemerintah dan masyarakat, budaya koruptif dapat dihindari dengan kesadaran untuk mengawasi pembangunan secara transparan dan professional disertai dengan suntikan investasi yang berkelanjutan dari para investor yang berkelas. Kedepan jika pembangunan infrastruktur di Bengkulu dapat berjalan dengan baik, maka rakyat Bengkulu dapat membusungkan dada dengan bangga, ketika jalan masuk ke Bengkulu dari Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Lampung halus dan lebar sehingga dapat menjadi jati diri kebanggaan bagi Bengkulu.

Keempat kriteria tersebut merupakan syarat wajib bagi Gubernur Bengkulu yang akan datang, sehingga Bengkulu yang maju, Bengkulu yang berkwalitas bukan hanya sekedar pemanis kampanye. Bengkulu yang maju dan berkwalitas dapat diwujudkan dengan simultan oleh pemerintahan yang baru beserta masyarakat yang berkesadaran dan mampu mengkritisi pemerintahnya. Jangan sampai rakyat Bengkulu dikibuli lagi oleh janji-janji manis para calon Gubernur saat kampanye. Rakyat Bengkulu harus benar-benar berfikir dalam menentukan piliha politiknya. Ini bukan sekedar pesta demokrasi biasa, ini situasi dimana masa depan Bengkulu dipertaruhkan lewat secarik kertas bergambar para pengumbar janji. Tetapkan pilihan dengan memperhatikan keempat kriteria wajib tersebut demi Bengkulu yang benar-benar berkwalitas. Salam Demokrasi!

Penulis :
Muhammad Zaki Mubarrak, SH., MH.
Putra Daerah Bengkulu/Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Univesitas Sebelas Maret Surakarta/Direktur Eksekutif Estungkara (lembaga kajian hukum, politik & pemerintahan)

Rabu, 04 Maret 2015

Dinamika Perkembangan Hunian Vertikal Di Yogyakarta

Dinamika Perkembangan Hunian Vertikal
Di Yogyakarta[1]
Oleh. Muhammad Zaki Mubarrak, SH., MH.[2]


 Dengan sejarah panjang dalam bidang pendidikan dan pariwisata, Yogyakarta selalu saja menjadi daerah yang eksotis dengan banyak pengharapan yang bisa diperjuangkan bagi para “alumni” kota itu. Sejarah membuktikan bahwa para “alumni” itu selalu saja ingin kembali ke Yogyakarta yang menjanjikan banyak hal, termasuk investasi. Banyak sekali ditemukan bahwa mahasiswa di Yogyakarta telah gemar berbisnis sejak masih mahasiswa, sehingga ketika mereka menjadi alumni maka mereka berhasrat kembali mengulangi bisnis lama mereka di Yogyakarta dengan semangat dan kekuatan yang baru tentunya. Sebagai destinasi pendidikan dan destinasi wisata, Yogyakarta tentunya memiliki jumlah konsumen yang tinggi terhadap bidang ekonomi apapun. Data menunjukan bahwa pada tahun 2012-2013 jumlah mahasiswa baru di Perguruan Tinggi (PT) Negeri saja sudah mencapai angka 7000 jiwa[3], dimana jumlah tersebut belum termasuk jumlah mahasiswa di PT swasta dan jumlah mahasiswa lama. Jika melihat jumlah tersebut maka sulit sekali mengingkari kesimpulan bahwa Yogyakarta sangat strategis untuk dijadilkan lahan investasi, utamanya investasi yang berkaitan dengan pendidikan dan pariwisata.

Berbicara soal investasi yang mendukung kapasitas Yogyakarta sebagai destinasi pendidikan dan destinasi wisata, tentunya akan ditemukan banyak konsep bisnis antara lain: kuliner, pelayanan jasa, jual-beli alat elektronik-pendidikan, property, hoby, dll. Semua jenis bisnis tersebut dapat ditemukan dengan mudah di Yogyakarta, sehingga tak sulit untuk memetakan laju perkembangan bisnis tersebut. Meski sempat terhenti dan lesu karena bencana erupsi Gunung Merapi, laju bisnis di Yogyakarta kembali kondusif pasca bencana tersebut.[4] Rupanya bencana erupsi Gunung Merapi menjadi satu titik tolak tersendiri bagi pelaku bisnis di Yogyakarta, baik itu bisnis kuliner maupun bisnis-bisnis lain seperti properti. Pasca erupsi Gunung Merapi harga-harga komoditi pangan dan komoditi properti di Yogyakarta sungguh liar tak menentu, dimana pasar tak terkendali karena kebutuhan dan perasaan traumatik warga lokal. Harga bahan pangan, utamanya ternak turun hingga mencapai 50 % dari harga normal[5]. Sedangkat harga komoditi properti, utamanya lahan, anjlok hingga sulit mendapatkan pembeli. Situasi itulah kemudian yang dibaca dengan baik oleh banyak pengusaha yang merupakan “alumni” Yogyakarta. Dengan situasi harga bahan pangan yang tak stabil pada waktu itu, pemerintah dengan sigap telah mengendalikannya. Sedangkan ketidakstabilan harga komoditi properti pada waktu itu membawa kisah tersendiri hingga sekarang.

Harga lahan yang anjlok karena perasaan traumatik warga terdampak erupsi Merapi pada waktu itu (akhir tahun 2010) disambut dengan baik oleh para investor. Para investor berbondong-bondong membelanjakan modalnya untuk menabung lahan di Yogyakarta. Geliat investasi yang pada saat itu belum terbaca oleh banyak orang awam tentunya telah terlihat hasilnya saat ini. Apa yang dismpaikan diatas bukan isapan jempol semata, terbukti dengan menjulangnya tower kondotel & apartemen Mataram City yang dirintis sejak tahun 2010. Tak bisa dipungkiri bahwa dengan kemunculan Mataram City ke langit Yogyakarta, menjadikan Yogyakarta saat ini sebagai kota yang sedang tumbuh dan berkembang dengan investasi propertinya. Para investor sangat percaya dengan daya beli masyarakat yang berada di Yogyakarta, terbukti dengan terus menjulangnya tower-tower hotel dan apartemen di Yogyakarta. Sempat ramai dengan penolakan lewat jargon “Jogja ora di dol” , “Jogja asat”, tapi geliat investasi properti di Yogyakarta tetap bergerak terus hingga sekarang. Dengan jumlah mahasiswa dan wisatawan yang terus bertambah tiap tahunnya, bisnis properti kiranya sulit untuk surut. Apalagi ditambah dengan kebijakan Wakil Presiden JK yang mengutarakan bahwa Indonesia akan membangun 1000 tower apartemen untuk dijadikan pola hunian baru bagi masyarakat.[6] Hal-hal tersebut semakin membuktikan bahwa pola investasi properti di Yogyakarta saat ini tengah mengarah kepada hunian vertikal, baik hotel (condotel), apartemen maupun perkantoran. Dengan tidak memandang sebelah mata pada perkembangan bisnis rumah tapak, hunian vertikal memberikan warna baru bagi dinamika investasi properti di Yogyakarta.

Sempat terbuai dengan cepatnya laju pertumbuhan hotel dan apartemen di Yogyakarta, akhirnya pemerintah selaku regulator-pun sadar akan tugas dan kewajibannya. Sejak akhir tahun 2013, pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman mulai menyiapkan regulasi terkait dengan perkembangan hotel dan apartemen di Yogyakarta secara umum. Hal tersebut sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, dimana Pemerintah Daerah wajib membuat aturan tentang rumah susun di daerah.[7] Sejak pertama kali melakukan diskusi dan pengayaan materi muatan Peraturan Perundang-undangan tentang rumah susun bersama tenaga ahli bidang rumah susun[8], hingga saat ini pemerintah daerah (Sleman & Yogyakarta) belum juga merampukan dan mengesahkan Peraturan Perundang-undangan tentang rumah susun tersebut. Padahal jika dibandingkan dengan situasi terkini dilapangan, telah banyak bangunan apartemen dan hotel berdiri yang memerlukan payung hukum yang jelas. Payung hukum dalam bentuk Perda maupun Perkada tersebut tak hanya penting bagi kelangsungan investasi di Yogyakarta, namun juga demi menjaga dan melindungi konsumen properti di Yogyakarta. Bayangkan saja ketika tower-tower yang telah berdiri dan dihuni tersebut tidak memiliki payung hukum (aturan rusun, aturan lingkungan, aturan keamanan, aturan SLF, aturan jual-beli, pajak & retribusi, dll) yang jelas, sehingga riskan untuk dapat terjadi masalah. Jangan sampai investasi yang menggeliat di Yogyakarta hanya kesemuan saja yang menunggu untuk meledak bak bom waktu.

Pemerintah selaku regulator memang terkesan sangat berhati-hati sekaligus “takut” dalam menyusun materi muatan perda maupun perkada tentang rumah susun tersebut. Hal itu terlihat jelas dari waktu yang dibutuhkan untuk menyusun perda dan perkada tersebut, dimana proses tersebut telah berjalan selama 1,5 tahun. Pemerintah daerah memang mengalami situasi sulit dimana belum adanya satu kesepahaman atas konsep aturan yang akan dibuat dimana pengertian akan hunian vertikal (rumah susun) itu sendiri mengalami distorsi dengan pengertian hunian vertikal yang menjadi program pemerintah. Selain masalah batasan pengertian dan cakupan aturannya, pemerintah dalam menyusun perda dan perkada tersebut juga terbelenggu oleh ketentuan UU No. 20 /2011 pasal 16 ayat (2).[9] Sehingga ketika para pelaku usaha meminta petunjuk teknis dan administratif kepada pemerintah, jawaban yang diperoleh tidak memuaskan. Sebagai efek domino atas situasi tersebut, konsumen-pun mengalami kerugian karena tidak adanya kepastian hukum atas apa yang mereka beli.[10]

Belakangan, dengan semakin jelas dan cepatnya progresifitas pembangunan hotel dan apartemen di Yogyakarta, pemerintah daerah juga telah semakin gencar untuk kembali membahas materi muatan perda dan perkada tentang rumah susun tersebut. Secara umum materi muatan perda dan perkada tidak lagi memiliki substansi yang perlu diubah atau dikhawatirkan menimbulkan penafsiran yang salah. Hanya saja yang masih menjadi ganjalan sekaligus mungkin akan ditolak oleh investor adalah ketentuan Pasal 16 ayat (2) sebagaimana disebutkan sebelumnya. Jika tidak ada aral melintang maka tak lama lagi aturan tersebut akan memberikan payung hukum bagi pihak-pihak yang terlibat didalam dinamika investasi properti bertingkat di Yogyakarta saat ini. Artinya kelak aturan tersebut akan menjamin proses perizinan-pembangunan-penjualan-kelengkapan syarat administratif-serah terima-operasional berjalan dengan baik sesuai koridor hukum yang ada.





[1] Disampaikan dalam “Diskusi Pengayaan Isu Perkotaan” bagi staf pembela umum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, 25 Februari 2015, di Yogyakarta.
[2] Penulis adalah Konsultan Rumah Susun (DUAZ Property) dan Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum Politik & Pemerintahan), lembaga yang dipercaya menyusun Rancangan Peraturan Daerah (perda) dan Peraturan Kepala Daerah(perkada) Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kota Surabaya Tentang Rumah Susun.
[3] http://yogyakarta.bps.go.id/index.php?r=site/page&view=sosduk.tabel.4-1-19 , diakses pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015.
[4] http://bisnisukm.com/geliat-bisnis-di-jogja-pasca-letusan-merapi.html , diakses pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015.
[7] Sesuai dengan amanat Pasal 28 hingga pasal 34 UU No. 20/2011 yang tersimpul dalam isi pasal 33 UU tersebut : “Pasal 33 : Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan izin rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 serta permohonan izin pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 diatur dengan peraturan daerah.”
[8] Berdasarkan hasil diskusi dan pengayaan materi muatan oleh penulis dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten.
[9] Pasal 16 ayat (2) UU No. 20/2011 : Pelaku pembangunan rumah susun komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.
[10] Pemerintah daerah melalui Kepala Daerah memiliki kewajiban untuk mengesahkan dokumen rumah susun (persetujuan SLF, akta pertelaan, akta pemisahan, Akta pendirian Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS), AD & ART PPPSRS) sebagai syarat terbitnya sertifikat hak milik stuan rumah susun (SHMSRS.