Jumat, 27 September 2013

Kebijakan Murahan Mobil Murah

Kebijakan Murahan Mobil Murah

     
      Ketika berada pada jenjang sekolah menengah, tentunya pelajaran soal kebutuhan-kebutuhan hidup manusia adalah pelajaran diluar kepala. Saking diluar kepalanya maka jelas telah banyak orang yang memahami konsep dan definisi dari masing-masing kebutuhan tersebut. Kebutuhan primer jelas telah diketahui bersama sebagai kebutuhan pokok dan utama dalam kehidupan, dimana bila tak ada pemenuhan kebutuhan primer maka penyakit sosial akan muncul. Kemudian level selanjutnya adalah kebutuhan sekunder dimana dalam level ini yang terjadi adalah aktualisasi diri dari masing-masing individu setelah kebutuhan primernya terpenuhi, seperti pendidikan, rekreasi, dll. Pada level ketiga, yaitu kebutuhan tertier dimana dalam levelan ini yang terjadi hanyalah pemenuhan rasa dan ambisi diri dari individu-individu yang kebutuhan primer dan sekundernya telah terpenuhi, seperti mobil, pesiar keluar negeri, dll. Definisi singkat tersebut telah lama tertananm dan diajarkan di sekolah-sekolah sampai saat ini. Namun belakangan terjadi hal menggelitik dan lucu di negeri ini, dimana mobil murah seakan menjadi kebutuhan pokok rakyat Indonesia. Para politisi berpolemik terkait kebijakan mobil murah. 

     
   Jokowi sang "politibriti", dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa yang benar itu adalah transportasi murah, bukan mobil murah. Senada dengan Jokowi, Gubernur jateng, Walikota Solo, Walikota Bandung, ikut menolak kebijakan mobil murah. Argumentasi tokoh-tokoh tersebut tak beda jauh dengan Jokowi, yaitu soal kepadatan lalulintas dan transportasi masal. Pendapat berbeda jelas muncul dari banyak politisi pro pemerintah dimana kebijakan mobil murah dianggap penting dan dibutuhkan oleh masyarakat. Ramadhan Pohan, Sutan Batoegana adalah beberapa dari yang pro terhadap kebijakan mobil murah. Ini adalah soal transportasi yang sudah padat, begitu kata yang kontra kebijakan namun bagi yang pro, penolakan kebijakan mobil murah hanyalah panggung politik bagi Jokowi, sehingga penolakan itu bukan aspirasi yang murni dari masyarakat. Dalam pola argumentasi penolakan yang dikaitkan dengan persoalan transportasi mungkin memang benar argumen itu bukan murni dari masyarakat sebab kalaupun ada penolakan dari masyarakat jelas bukan karena sebab belum adanya transportasi murah, tapi masyarakat lebih butuh sembako (kebutuhan primer) murah ketimbang transportasi murah apalagi mobil murah.

      Lebih baik tak bermobil tapi kenyang dan terlindungi dari panas dan hujan daripada bermobil tapi tak mampu mengenyangkan keluarga dirumah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Maret 2013 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 28,07 juta orang, turun 520 ribu dibandingkan September 2012 yang tercatat 28,59 juta orang. "Jumlah penduduk miskin atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 28,07 juta orang atau 11,37 persen," ujar Kepala BPS Suryamin di Jakarta. Suryamin mengatakan selama periode September 2012-Maret 2013, jumlah penduduk miskin di kawasan perkotaan berkurang 180.000 atau dari 10,51 juta orang menjadi 10,33 juta orang. "Sedangkan di daerah pedesaan berkurang 350.000 dari 18,09 juta orang menjadi 17,74 juta orang, untuk periode yang sama," katanya. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun dari 8,6 persen menjadi 8,39 persen, dan di daerah pedesaan turun dari 14,7 persen menjadi 14,32 persen. Menurut Suryamin, penurunan jumlah penduduk miskin didorong inflasi umum yang relatif rendah selama periode September 2012-Maret 2013 yaitu sebesar 3,2 persen dan peningkatan upah harian buruh tani serta buruh bangunan masing-masing 2,08 persen dan 9,96 persen (ANTARA News).

     
      Berdasarkan paparan data dari BPS tersebut, jelas terungkap bahwa masih ada 28 juta orang yang masih membutuhkan sembako murah ketimbang mobil murah. Pemerintah dalam kebijakannya kali ini dapat dikatakan hanya membuat kebijakan murahan demi sebuah "perang politik". Ketika Jokowi dengan kebijakanya memanggil banyak investor transportasi masal ditandingi oleh pemerintah pusat dengan kebijakan yang lebih banyak mendatangkan investor otomotif dimana bila boleh berburuk sangka, sesungguhnya ini adalah perang antara kekuatan bisnis, kekuatan perusahaan pengembang transportasi masal dengan perusahaan pengembang otomotif individu. Orang miskin tak perduli akan kebijakan-kebijakan yang murahan itu, yang penting sembako murah dan tempat tinggal ada. Naik gerobakpun akan terasa nyaman bila perut telah tenang. Selain soal perut, ada sisi lain yang juga ternyata membuat rakyat kita menjadi lupa diri. Dalam kebijakannya di mobil murah ini, pemerintah pusat mendidik rakyat untuk lebih mendahulukan prestise daripada kepentingan primer dan sekunder. Gengsi lebih penting daripada makanan yang sehat dan pendidikan yang berkualitas. Bermobil dulu, urusan kenyang dan pintar belakangan. Kebijakan murahan itu membuat gengsi lebih baik dijaga ketimbang pintar dan kenyang, sungguh miris. Punya mobil dulu, sekolah belakangan. Selalu dibodohi dengan perilaku konsumtif dan jauh dari harapan rakyat yang produktif.

      Selain urusan perang industri dan soal membangun karakter bangsa, kebijakan murahan pemerintah ini jelas akan membuat spekulasi-spekulasi ekonomi bergejolak dimasyarakat. Data terakhir mengatakan bahwa telah ada ribuan pemesan mobil murah dan pesanan itu akan segera diproses. Coba perhatikan sudut lainnya, dimana diantara ribuan pemesan mobil murah itu tak semuanya akan membayar dengan cara tunai. Tentu akan ada diantara pemesan yang melakukan pembelian dengan cara kredit dan mencicil. Dari sudut perbankan mungkin ini sinyalemen baik dan positif, namun perhatikan jauh kedepan bahwa kemungkinan kredit mavetpun akan ada banyak. Berkaca pada kebijakan mobil murah Thailand, rakyat Thailand berbondong-bondong membeli mobil murah dengan cara kredit, setahun kemudian, kredit-kredit macet mulai menggurita dan tentunya masalah soasial baru akan mengganggu perekonomian dan perbankan. Di Thailand yang kecil itu kredit macet mencapai 10 % dari total pengajuan mobil murah, dap[at dibayangkan bila itu terjadi di Indonesia yang secara karakter telah diracuni oleh pemerintah dimana yang penting gengsi dulu yang lain belakangan.

     
      Sungguh ironi yang tragis, melalui kebijakan murahan mobil murah pemerintah secara perlahan merusak karakter bangsa. Mobil murah jauh lebih penting daripada sembakao murah dan pendidikan murah. 28 juta orang miskin akan tetap miskin ditengah-tengah hiruk pikuk lalu lalang mobil murah. Ini bukan soal panggung politik menuju 2014, tapi ini soal bangsa. Jangan hanya mencari sumber pemasukan untuk kepentingan 2014 yang katanya ini akan memperbaiki kekusutan ekonomi dan sumber pajak negara tapi..................................
Lebih baik membenahi dulu fasilitas umum yang ada agar distribusi sembako murah, pendidikan murah, kesehatan murah dapat secara umum dinikmati oleh rakyat Indonesia. Buat apa mobil murah jika menjadi dokter yang berkwalitas harus ke Jawa dulu dan menghabiskan ratusan juta tanpa bisa dilakukan di Papua. Buat apa transportasi murah jika masih ada gedung-gedung sekolah di Sulawesi, Ambon, Kupang yang bocor dan tidak standar. Buat apa mobil murah jika busung lapar masih ada di salah satu sudut kota Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar