Wujud Hukum Dalam
Teori Hukum Klasik : Berguru Pada Hukum atau Berhukum Pada Guru[1]
Wajah hukum dalam setiap era
peradaban manusia adalah manifestasi atas pola pikir dan kehidupan manusia di
zamannya. Semakain modern dan cerdas manusia yang terlahir di suatu era maka
tentu akan semakin modern dan maju peradaban hukumnya. Sebaliknya jika semakin primitive
manusia yang terlahir pada suatu era maka peradaban hukumnya akan semakin
dangkal. Logika sebab-akibat tersebut secara umum dapat diakui bersama sebagai
hal yang lumrah terjadi, namun terkadang pemikiran-pemikiran tertentu akan
berubah ketika ada satu orang saja pemikir yang berani berbeda. Sebagaimana yang
dilakukan oleh kaum sofisme atas pemikiran filsuf Ionia maupun bantahan
Socrates atas ke-hedonisan hukum kaum sofi. Hukum selalu dituntut untuk
mengikuti perkembangan manusia, sebab jika tidak maka hukum akan membuat
kekacauan didalam peradaban manusia. Sangat lumrah jika kiranya Socrates
menganggap bahwa sesungguhnya manusia harus mengakui hukum sebagai komitmen
hidup di lingkungan sosial hingga ke lingkungan Negara. Sikap sokrates sungguh
menggemparkan zamannya, Sokrates mencoba keluar dari kemunafikan kaum sofi yang
“menjual-belikan” hukum.
Sebagai komitmen hidup kepada
lingkungan sosial dan lingkungan Negara, hukum di masa Sokrates diletakan
sebagai komitmen diri. Komitmen itu dibuktikan oleh Sokrates sekalipun ia
berada dalam penjara yang sesat. Meski Socrates dihukum oleh peradilan sesat ia
tetap menerima, karena ia sungguh menghormati komitmennya atas hukum. Negara
seakan lupa bahwa tugasnya sebagai penyelenggara hukum haruslah menegakkan
hukum dan menjauhkannya dari kekuatan-kekuatan penguasa. Namun apa daya,
kekuatan pemikiran Socrates msih kalah dengan kuasa Negara atas hukum.
Keteraturan yang diciptakan Negara cenderung berubah menjadi tirani ditengah
orang-orang yang salah dalam mengendalikan hukum. Situasi tersebut membuat
murid Socrates, Plato (427 SM – 347 SM)[2]
berfikir untuk memodifikasi pemikiran Socrates. Hukum bagi Plato tak sebatas
pada konsep keteraturan tatanan kehidupan manusia yang diatur oleh Negara, tapi
juga diperlukan idea (akal/logika)
dalam menjalankannya. Hukum memerlukan logika kecerdasan atas keadilan dan
logika kecerdasan atas moral[3].
Hukum yang diatur dan dilaksanakan oleh Negara, bagi Plato haruslah dipakai
untuk menegakkan keadilan dengan menggunakan instrument aturan
(perundang-undangan). Kesempurnaan penegakan hukum akan tercipta jika idea (akal/logika) dapat membawa para
pemimpin Negara beserta aparaturnya kearah kecerdasan moralitas yang baik. Dengan
demikian nantinya Negara yang berhukum dapat berjalan dengan dipimpin oleh
aparatur Negara yang baik pula.
Jadi bagi Plato, hukum itu bukan
hanya soal komitmen (kontrak) sosial antara masaing masing individu dengan
individu lainnya ataupun dengan Negara, tapi juga soal Negara itu sendiri. Apakah
kemudian komitmen sosial maupun komitmen Negara atas hukum dapat dijalankan
dengan sendirinya tanpa ada individu-individu yang baik didalamnya? Dalam khasanah berfikir Plato, kesempurnaan
individu dalam berhukum akan dapat terwujud jika Negara berada dalam konteks
yang benar, yaitu Negara dibawah kendali guru moral, para pemimpin yang bijak,
para mitra bestari maupun individu lain yang secara moral telah teruji.[4]
Dengan di kendalikan oleh aristocrat yang secara moralitas terjamin, maka hukum
akan menghadirkan keadilan ditengah-tengah situasi yang sedang sulit mencipta
keadilan. Sebagaiman situasi sulit yang dialami oleh gurunya, Socrates, yang
sulit menemukan keadilan ditengah belantara hukum dan Negara. Jadi Plato
menyampaikan ke permukaan bahwa hukum merupakan tatanan terbaik untuk menata
dunia fenomena dengan idea agar
ketidak adilan dapat berubah dengan keadilan bersama dengan penghimpunan
aturan-aturan yang ada oleh lembaga yang disebut Negara. Dengan mengarungi
pemikiran Plato, paling tidak Plato menginspirasi bahwa komitmen atas hukum
pada Negara harus diimbangi dengan kecerdasan moralitas bagi aparat Negara itu
sendiri sehingga gagasan hukum bagi keadilan dapat tercapai.
Balada guru dan murid antara
Socrates dan Plato nampaknya merupakan fenomena pada era itu, dimana setelah
Plato menelurkan teori-teorinya Aristoteles[5]
(384 SM – 322 SM) yang merupakan murid Plato kemudian mengkritisi pandangan
Plato soal hukum. Secara sederhana Aristoteles menyampaikan bahwa hukum bukan
hanya bertujuan atas keadilan tapi juga harus memberikan kebahagiaan (eudainmonia)[6]
bagi setiap inan yang menikmati hukum itu. Hukum tidak dibenarkan untuk
menebarkan ancaman kepada individu-individu. Hukum bukan hanya soal doktrin
benar-salah atas apa kata undang-undang, tapi lebih jauh lagi justru soal
keadilan yang membahagiakan. Jadi basis dari hukum selain soal moralitas
normanya, moralitas instrument pelaksanya juga terkait dengan basis kesamaan
dalam keadilan dan kebahagian sebagaimana dipaparkan aristoteles.
Sebagaimana pendapat Plato bahwa
Negara wajib menjamin keadilan atas hukum, maka Aristoteles menjadikannya lebih
spesifik bahwa selain Negara menjamin adanya keadilan atas hukum, Negara juga
wajib mendistribusikan keadilan itu kepada masyarakat agar dapat melahirkan
kebahagian didalamnya. Distribusi keadilan atas hukum wajib dipenuhi oleh Negara
tanpa terkecuali, sehingga manifestasi atas eudainmonia
bagi manusia-manusia yang telah berkomitmen pada hukum dan Negara dapat
dicapai. Dengan demikian, konsep keadilan atas hukum bagi Arstoteles bukan
hanya sesederhana keadilan berbasis kesamaan, tapi lebih jauh haruslah berupa
keadilan yang distributif dan keadilan yang korektif. Keadilan harus disalurkan
oleh Negara dalam kapasitasnya sebagai pelaksana atas komitmen hukum dari
masyarakat kepada individu-individu secara proporsional sehingga dapat
menyampaikan pesan keadilan yang mebahagiakan (eudainmonia) atas hukum. Demikian pula halnya dengan karakteristik
keadilan korektif yang disimpulkan oleh Aristoteles dimana hukum harus
memberikan keadilan yang mampu berwujud sebagai pembenar/pengkoreksi atas
apa-apa yang belum benar didalam masyarakat (remedial). Setiap tindakan yang salah harus diberikan balasan yang
adil oleh Negara sesuai dengan nilai moralitas dan etis dalam masyarakat dan
setiap kerugian harus diganti sesuai dengan skala kerugian yang tercipta.
Hukum tidak selalu statis, hukum dan
keadilan adalah guru dalam setiap sejarah peradaban manusia. Hukum yang usang bukan
berarti hukum yang tidak tahu apa-apa, hukum yang usang adalah guru bagi hukum
dimasa depan. Keberadaan hukum di masa lalu adalah pondasi atas ketahanan hukum
dan keadilan dimasa depan. Hukum bersifat futuristik bukan karena norma-norma
yang dikandung didalamnya saja, tapi juga soal instrument pelaksana yang ada
didalamnya serta tentang komitmen atas hukum dan keadilan itu sendiri. Sebagaimana
Al Qur’an menyampaikan bahwa : “Katakanlah (Muhammad): lakukanlah nadzar
(penelitian dengan menggunakan metode ilmiah) mengenai apa yang ada di langit
dan di bumi ...”[7].
Keilmiahan masa lalu bukan soal sejarahnya, tapi sejauh mana masa lalu dapat
memberikan pandangan tentang masa depan hukum maupun keadilan dengan cara
pengkajian secara ilmiah atas unur-unsur dan perilaku dimasa itu.
Yogyakarta, 18 September 2015
[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak,
Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan)
/ Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta
[2]
http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-plato.html
, diakses pada hari Jum’at, tanggal 18 September 2015, pukul 05.00 WIB.
[3] Teguh Prasetyo dkk, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan
dan Bermartabat), Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2014, Hlm. 94.
[4]
Bernard L. Tanya. Dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm. 40.
[5] Aristoteles (bahasa Yunani:
‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani,
murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung – lih. https://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles
.
[6] http://www.kompasiana.com/hariadideutsch/pola-pemikiran-socrates-plato-dan-aristoteles_550fd9fba33311c739ba7d5c
, diakses pada hari Jum’at, tanggal 18 September 2015, pukul 05.30 WIB.
[7] QS. Yunus ayat 101.