Rabu, 16 September 2015

Hunian Vertikal Menyelamatkan Lingkungan (sawah)

Hunian Vertikal Menyelamatkan Lingkungan (sawah)[1]

Sebagai mahluk sosial, manusia memiliki kodrat untuk hidup bersama (menikah) dan memenuhi segala macam bentuk kebutuhan pokok yang biasanya dirangkum dalam sandang, pangan, papan. Kebutuhan akan sandang, pangan, papan merupakan hal alamiah yang membuat manusia kemudian berfikir keras untuk mengupayakan jalan agar kebutuhan tersebut terpenuhi. Menurut Abraham Maslow, manusia cenderung akan memenuhi kebutuhan dasarnya agar memiliki pondasi yang kuat dalam kehidupan dan kemudian barulah kebutuhan-kebutuhan lain secara bertahap akan dikejarnya. Hal tersebut menurut Maslow berlangsung secara instinctoid (alamiah) sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh hewan untuk memenuhi kebutuhannya. Ketika perut telah kenyang dan pakaian sudah cukup maka tujuan pemenuhan lainnya adalah papan (rumah). Kebutuhan akan rumah tinggal juga merupakan kebutuhan pokok yang (kadang) dalam pemenuhannya, diperlukan usaha yang ekstra keras. Usaha yang ekstra keras dianggap wajar, karena rumah bukan sekedar bangunan tempat berlindung saja. Lebih jauh dari itu, menurut beberapa ahli[2] rumah secara fisik berarti suatu bangunan tempat kembali dari berpergian, bekerja, tempat tidur dan beristirahat memulihkan kondisi fisik dan mental yang letih dari melaksanakan tugas sehari-hari. Sedangkan secara ditinjau secara psikologis rumah berarti suatu tempat untuk tinggal dan untuk melakukan hal-hal tersebut di atas, yang tentram, damai, menyenangkan bagi penghuninya. rumah dalam pengertian psikologis ini lebih mengutamakan situasi dan suasana daripada kondisi dan keadaan fisik rumah itu sendiri.

Dapat dibayangkan, selain pangan dan sandang, betapa rumah menjadi suatu kebutuhan yang cukup penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Dalam sebuah pepatah barat[3] yang kemudian menjadi inpirasi lagu[4] dikatakan bahwa, home is where the heart is (rumah adalah tempat dimana hati kita terpaut). Sungguh dalam dan penting arti rumah bagi peradaban manusia. Melihat pentingnya arti rumah bagi peradaban umat manusia tersebut maka tak heran jika kebutuhan rumah sangatlah tinggi. Sebagaimana data yang disampaikan oleh Real Estate Indonesia (REI) bahwa total kebutuhan rumah di Indonesia per tahunnya bisa mencapai 2,6 juta unit.[5] Jumlah kebutuhan tersebut tak semuanya dapat dipenuhi oleh pelaku pembangunan maupun pemerintah, sebab dalam setahun masih terdapat kekurangan jumlah unit sebanyak 400ribu. Data REI tersebut bukanlah isapan jempol semata, tapi justru seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah. Pemerintah perlu mewaspadai angka pernikahan yang setiap tahunnya memiliki trend meningkat. Sebagaimana data yang disajikan oleh BKKBN RI dimana pada 2009 jumlah masyarakat yang menikah sebanyak 2.162.268 dan pada tahun 2013 menjadi sebanyak 2.218.130 pernikahan.[6]  Data BKKBN tersebutlah yang seharusnya menjadi acuan peringatan bagi Pemerintah dimana sesungguhnya keluarga-keluarga baru tersebut selalu berorientasi untuk memiliki rumah tinggal sendiri. Kalau tadi disampaikan bahwa home is where the heart is maka bagi setiap pasangan baru, belum ada tempat untuk hatinya berpaut, karena saat ini lahan perumahan makin sempit dan harga tanah makin mahal. Karena mahalnya harga tanah, pelaku pembangunan sulit membebaskan lahan hingga berhektar-hektar untuk membangun perumahan, apalagi dikota besar seperti Jakarta, Solo, Yogyakarta, Semarang, dll. Lahan semakin sempit dan potensi alih fungsi persawahan jadi perumahan semakin nyata.

Lalu dengan situasi yang demikian itu apakah solusinya?

Dengan situasi demikian itu, maka pemanfaat lahan harus direncanakan dengan matang. Jika tidak tentunya akan mengorbankan lahan-lahan produktif yang menjadi lumbung atas ketahanan  pangan maupun ketahanan lingkungan. Perencanaan yang matang tentunya bisa dimulai dengan restrukturisasi aturan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Dengan memetakan lokasi-lokasi produktif untuk kepentingan ketahanan pangan dan ketahanan lingkungan maka kemudian pola hunian vertikal dapat dimulai. Pemetaan dengan mendasar pada RTRW maupun RDTR tentunya akan memberikan tren positif atas pembangunan hunian vertikal. Gesekan antara warga yang belum faham benar (konsep hunian vertikal) dengan pelaku pembangunan, pemerintah maupun penghuni hunian vertikal tersebut nantinya dapat dihindarkan. Masyarakat terdampat (sekitar) lokasi pembangunan hunian vertikal akan dengan senang hati menerima pembangunan hunian vertikal tanpa antipasti. Dengan merubah pola hunian mendatar menjadi pola hunian vertikal akan memberikan banyak keuntungan bagi keberlangsungan peradaban manusia, maupun lingkungannya. Dengan luasan tanah persawahan yang saat ini terus berkurang, dari 13,83 juta hektare  menjadi 13,79 juta hektare (berkurang sebanyak 41.612 hektare)[7]. Situasi tersebut jelas perlu dikendalikan dengan konservasi lahan dan pemanfaatan lahan secara benar. Salah satunya adalah merubah pola hunian datar kepola hunian vertikal.

Jika menggunakan data REI yang telah disampaikan sebelumnya maka dapat dibayangkan berapa kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebanyak 2,6 juta hektare. Memakai logika sederhana saja, jika 1 (satu) unit rumah secara sederhana saja membutuhkan tanah 70 meter persegi maka berapa puluh juta meter persegi tanah yang akan ditutup beton? Berapa sawah yang harus dikorbankan? Tentunya sangat banyak dan luas, sehingga cukup menghawatirkan bagi keberlangsungan ketahanan pangan dan ketahanan lingkungan. Situasi tersebut belum ditambah dengan pola hidup orang Indonesia yang sulit diajak berhemat atas pemakaian energy dan air. Data yang dirilis website JDFI Green Festival 2008, dimana rata-rata pemakaian air bersih harian per orang Indonesia adalah 144 L atau setara dengan sekitar 8 botol galon air kemasan. (Survey Direktorat Pengembangan Air Minum, Ditjen Cipta Karya pada tahun 2006). Sedangkan rata-rata pemakaian air harian per orang Indonesia yang tinggal di kota besar bisa sampai 250 L atau setara dengan sekitar 13 botol galon air kemasan. (Sulistyoweni Widanarko, Guru Besar Ilmu Teknik Penyehatan Lingkungan UI, 2004).[8]  Sungguh ironi ditengah semangat untuk membangunan ketahanan pangan dan ketahanan lingkungan di Indonesia. Hal tersebut sangat bisa dirubah jika secara bersama-sama, pemerintah menggandeng pelaku pembangunan (swasta) dan para ahli untuk merubah pola hunian masyarakat yang hanya berkembang dikawasan datar menjadi pola hunian vertikal.

Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), tujuan penyelenggaraan rumah susun di Indonesia adalah menjamin terwujudnya hunian yang layak huni, serasi, sehat, seimbang, efisien, efektif dan terjangkau demi mewujudkan lingkungan yang baik guna membangun ketahanan ekonomi, sosial dan budaya.[9]  Negara telah mengatur sedemikian rupa agar masyarakat dapat menerima dan menjalankan pola hunian baru, yaitu pola hunian vertikal agar dapat dicapai ketahahan ekonomi, sosial, budaya maupun lingkunagn. UU Rusun tersebut telah cukup mengakomodasi segala kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan rumah susun, baik aspek kepentingan lingkungan, kepentingan sosial, budaya, ekonomi maupun hukum. Dengan pola hunian vertikal atau bahasa undang-undang dikenal Rusun, masyarakat dipaksa untuk merubah pola hidupnya yang tidak hemat dan tidak sadar lingkungan akan lebih sadar dan hemat.

Dengan adanya iuran pemakain air, listrik dan fasilitas umum maka dengan sendirinya jiwa pemboros masyarakat akan tergerus. Masyarakat akan lebih sadar bagaimana memanfaatkan sumber daya dan energi karena pola hunian vertikal menuntut masyarakat untuk megerti arti berbagi air dan berbagi fasilitas umum. Pola hunian vertikal juga akan membuat masyarakat memahami kebersaman dalam merawatfasilitas bersama. Hal tersebut secara umum telah diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Lebih jauh, pola hidup hemat akan diperoleh dengan cara berbagi, dimana tadinya sebuah ruko yang berlantai tida dan hanya dipakai oleh 1 kantor saja kemudian dapat dipakai untuk 3 kantor sekaligus. Tentunya dengan menggunakan system hunian vertikal. Kebiasaan mencuci kendaraan sambil menghambur-hamburkan air akan terhenti karena fasilitas air yang ada diparkir mobil adalah air bersama yang harus digunakan secara bijak. Pemakaian energy harus digunakan secara bijak dan cenderung berhati-hati karena satu saja kesalahan dan kecelakaan menggunakan energy akan berakibat pada rusaknya banyak bangunan disamping, diatas mapun dibawah kita. Dengan menaikan hunian keatas dan semakin keatas maka sawah dan lahan hijau lainnya dapat dipertahankan. Keakraban dalam suasana perkumpulan RT-RW (pada hunian datar) dapat diterapkan dan ditemukan dalam perhimpunan penghuni pemilik satuan rumah susun (PPPSRS).

Dapat dihitung berapa banyak lahan persawahan diselamatkan dengan pola hunian vertikal. Berapa banyak pola hidup yang akan berubah dengan adanya system hunian vertikal. UU Rusun telah mengakomodasi lebih jauh tentang kesempatan memiliki rumah bagi pasangan-pasangan muda yang tergolong dalam masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) baik dalam proses jual beli maupun dalam hal pengadaan.[10]  Tak dipungkiri bahwa sikap antipati (menolak) masyarakat terhadap penyelenggaraan rumah susun (pola hunian vertikal) dilandasi atas ketidak tahuan mereka akan sudut lainnya dari penyelenggaraan rumah susun. Belum lagi provokasi dari lembaga-lembaga non pemerintah yang tidak sepenuhnya faham akan pola hunian vertikal. Sibuk menyuarakan selamatkan lingkungan tolak hunian vertikal tapi membiarkan perambahan hutan untuk pabrik sawit maupun hunian mendatar. Jadi mari bersama mempelajari apa itu system hunian vertikal, dan tinggalah di rumah susun untuk menyelamatkan lingkungan!

Yogyakarta, 16 September 2015






[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak, Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan) / Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
[2] http://rizkikhaharudinakbar.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-rumah-fungsi-dan-syarat.html , diakses pada hari Rabu,  tanggal 16 September 2015, pukul 06.00 WIB.
[3] Pliny the Elder,  Read more at http://www.brainyquote.com/quotes/topics/topic_home.html#dKAzrmKyou2VBzd1.99en
[4] https://www.youtube.com/watch?v=xGDmZw-liFg , diakses pada Rabu,  tanggal 16 September 2015, pukul 05.00 WIB.
[6] http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesia-meningkat-setiap-tahun-ini-datanya , diakses pada hari Rabu tanggal 16 September 2015, pukul 06.15 WIB.
[7] http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150302151819-92-36104/jumlah-lahan-berkurang-produksi-padi-tahun-lalu-merosot/ , diakses pada hari Rabu tanggal 16 September 2015, pukul 06.35 WIB.
[8] http://jdfi.co.id/greenfestival/GreenFest08-kmandi.php , diakses pada hari Selasa tanggal 15 September 2015, pukul 16.30 WIB.
[9] Lih. Pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.
[10] Lih. Ketentuan Pasal  16, 21, 54, 72, 80, 81, 82, 86, 87, 88 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar