Hunian
Vertikal Menyelamatkan Lingkungan (sawah)[1]
Sebagai
mahluk sosial, manusia memiliki kodrat untuk hidup bersama (menikah) dan
memenuhi segala macam bentuk kebutuhan pokok yang biasanya dirangkum dalam
sandang, pangan, papan. Kebutuhan akan sandang, pangan, papan merupakan hal
alamiah yang membuat manusia kemudian berfikir keras untuk mengupayakan jalan
agar kebutuhan tersebut terpenuhi. Menurut Abraham Maslow, manusia cenderung
akan memenuhi kebutuhan dasarnya agar memiliki pondasi yang kuat dalam
kehidupan dan kemudian barulah kebutuhan-kebutuhan lain secara bertahap akan
dikejarnya. Hal tersebut menurut Maslow berlangsung secara instinctoid (alamiah) sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh
hewan untuk memenuhi kebutuhannya. Ketika perut telah kenyang dan pakaian sudah
cukup maka tujuan pemenuhan lainnya adalah papan (rumah). Kebutuhan akan rumah
tinggal juga merupakan kebutuhan pokok yang (kadang) dalam pemenuhannya,
diperlukan usaha yang ekstra keras. Usaha yang ekstra keras dianggap wajar,
karena rumah bukan sekedar bangunan tempat berlindung saja. Lebih jauh dari
itu, menurut beberapa ahli[2]
rumah secara fisik berarti suatu bangunan tempat kembali dari berpergian,
bekerja, tempat tidur dan beristirahat memulihkan kondisi fisik dan mental yang
letih dari melaksanakan tugas sehari-hari. Sedangkan secara ditinjau secara
psikologis rumah berarti suatu tempat untuk tinggal dan untuk melakukan hal-hal
tersebut di atas, yang tentram, damai, menyenangkan bagi penghuninya. rumah
dalam pengertian psikologis ini lebih mengutamakan situasi dan suasana daripada
kondisi dan keadaan fisik rumah itu sendiri.
Dapat
dibayangkan, selain pangan dan sandang, betapa rumah menjadi suatu kebutuhan
yang cukup penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Dalam sebuah pepatah
barat[3]
yang kemudian menjadi inpirasi lagu[4]
dikatakan bahwa, home is where the heart
is (rumah adalah tempat dimana hati kita terpaut). Sungguh dalam dan
penting arti rumah bagi peradaban manusia. Melihat pentingnya arti rumah bagi
peradaban umat manusia tersebut maka tak heran jika kebutuhan rumah sangatlah
tinggi. Sebagaimana data yang disampaikan oleh Real Estate Indonesia (REI)
bahwa total kebutuhan rumah di Indonesia per tahunnya bisa mencapai 2,6 juta
unit.[5] Jumlah
kebutuhan tersebut tak semuanya dapat dipenuhi oleh pelaku pembangunan maupun
pemerintah, sebab dalam setahun masih terdapat kekurangan jumlah unit sebanyak
400ribu. Data REI tersebut bukanlah isapan jempol semata, tapi justru
seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah. Pemerintah perlu mewaspadai
angka pernikahan yang setiap tahunnya memiliki trend meningkat. Sebagaimana
data yang disajikan oleh BKKBN RI dimana pada 2009 jumlah masyarakat yang
menikah sebanyak 2.162.268 dan pada tahun 2013 menjadi sebanyak 2.218.130
pernikahan.[6]
Data BKKBN tersebutlah yang seharusnya
menjadi acuan peringatan bagi Pemerintah dimana sesungguhnya keluarga-keluarga
baru tersebut selalu berorientasi untuk memiliki rumah tinggal sendiri. Kalau
tadi disampaikan bahwa home is where the
heart is maka bagi setiap pasangan baru, belum ada tempat untuk hatinya
berpaut, karena saat ini lahan perumahan makin sempit dan harga tanah makin
mahal. Karena mahalnya harga tanah, pelaku pembangunan sulit membebaskan lahan
hingga berhektar-hektar untuk membangun perumahan, apalagi dikota besar seperti
Jakarta, Solo, Yogyakarta, Semarang, dll. Lahan semakin sempit dan potensi alih
fungsi persawahan jadi perumahan semakin nyata.
Lalu dengan situasi
yang demikian itu apakah solusinya?
Dengan
situasi demikian itu, maka pemanfaat lahan harus direncanakan dengan matang.
Jika tidak tentunya akan mengorbankan lahan-lahan produktif yang menjadi
lumbung atas ketahanan pangan maupun
ketahanan lingkungan. Perencanaan yang matang tentunya bisa dimulai dengan
restrukturisasi aturan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR). Dengan memetakan lokasi-lokasi produktif untuk
kepentingan ketahanan pangan dan ketahanan lingkungan maka kemudian pola hunian
vertikal dapat dimulai. Pemetaan dengan mendasar pada RTRW maupun RDTR tentunya
akan memberikan tren positif atas pembangunan hunian vertikal. Gesekan antara
warga yang belum faham benar (konsep hunian vertikal) dengan pelaku
pembangunan, pemerintah maupun penghuni hunian vertikal tersebut nantinya dapat
dihindarkan. Masyarakat terdampat (sekitar) lokasi pembangunan hunian vertikal
akan dengan senang hati menerima pembangunan hunian vertikal tanpa antipasti.
Dengan merubah pola hunian mendatar menjadi pola hunian vertikal akan
memberikan banyak keuntungan bagi keberlangsungan peradaban manusia, maupun
lingkungannya. Dengan luasan tanah persawahan yang saat ini terus berkurang,
dari 13,83 juta hektare menjadi 13,79
juta hektare (berkurang sebanyak 41.612 hektare)[7].
Situasi tersebut jelas perlu dikendalikan dengan konservasi lahan dan
pemanfaatan lahan secara benar. Salah satunya adalah merubah pola hunian datar
kepola hunian vertikal.
Jika
menggunakan data REI yang telah disampaikan sebelumnya maka dapat dibayangkan
berapa kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebanyak 2,6 juta
hektare. Memakai logika sederhana saja, jika 1 (satu) unit rumah secara
sederhana saja membutuhkan tanah 70 meter persegi maka berapa puluh juta meter
persegi tanah yang akan ditutup beton? Berapa sawah yang harus dikorbankan? Tentunya
sangat banyak dan luas, sehingga cukup menghawatirkan bagi keberlangsungan
ketahanan pangan dan ketahanan lingkungan. Situasi tersebut belum ditambah
dengan pola hidup orang Indonesia yang sulit diajak berhemat atas pemakaian
energy dan air. Data yang dirilis website JDFI Green Festival 2008, dimana
rata-rata pemakaian air bersih harian per orang Indonesia adalah 144 L atau
setara dengan sekitar 8 botol galon air kemasan. (Survey Direktorat
Pengembangan Air Minum, Ditjen Cipta Karya pada tahun 2006). Sedangkan
rata-rata pemakaian air harian per orang Indonesia yang tinggal di kota besar
bisa sampai 250 L atau setara dengan sekitar 13 botol galon air kemasan.
(Sulistyoweni Widanarko, Guru Besar Ilmu Teknik Penyehatan Lingkungan UI,
2004).[8] Sungguh ironi ditengah semangat untuk
membangunan ketahanan pangan dan ketahanan lingkungan di Indonesia. Hal
tersebut sangat bisa dirubah jika secara bersama-sama, pemerintah menggandeng
pelaku pembangunan (swasta) dan para ahli untuk merubah pola hunian masyarakat
yang hanya berkembang dikawasan datar menjadi pola hunian vertikal.
Menurut
Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), tujuan
penyelenggaraan rumah susun di Indonesia adalah menjamin terwujudnya hunian
yang layak huni, serasi, sehat, seimbang, efisien, efektif dan terjangkau demi
mewujudkan lingkungan yang baik guna membangun ketahanan ekonomi, sosial dan
budaya.[9] Negara telah mengatur sedemikian rupa agar
masyarakat dapat menerima dan menjalankan pola hunian baru, yaitu pola hunian
vertikal agar dapat dicapai ketahahan ekonomi, sosial, budaya maupun
lingkunagn. UU Rusun tersebut telah cukup mengakomodasi segala kepentingan yang
terkait dengan penyelenggaraan rumah susun, baik aspek kepentingan lingkungan,
kepentingan sosial, budaya, ekonomi maupun hukum. Dengan pola hunian vertikal
atau bahasa undang-undang dikenal Rusun, masyarakat dipaksa untuk merubah pola
hidupnya yang tidak hemat dan tidak sadar lingkungan akan lebih sadar dan
hemat.
Dengan
adanya iuran pemakain air, listrik dan fasilitas umum maka dengan sendirinya
jiwa pemboros masyarakat akan tergerus. Masyarakat akan lebih sadar bagaimana
memanfaatkan sumber daya dan energi karena pola hunian vertikal menuntut
masyarakat untuk megerti arti berbagi air dan berbagi fasilitas umum. Pola
hunian vertikal juga akan membuat masyarakat memahami kebersaman dalam
merawatfasilitas bersama. Hal tersebut secara umum telah diatur dalam banyak
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Lebih jauh, pola hidup
hemat akan diperoleh dengan cara berbagi, dimana tadinya sebuah ruko yang
berlantai tida dan hanya dipakai oleh 1 kantor saja kemudian dapat dipakai
untuk 3 kantor sekaligus. Tentunya dengan menggunakan system hunian vertikal.
Kebiasaan mencuci kendaraan sambil menghambur-hamburkan air akan terhenti
karena fasilitas air yang ada diparkir mobil adalah air bersama yang harus
digunakan secara bijak. Pemakaian energy harus digunakan secara bijak dan
cenderung berhati-hati karena satu saja kesalahan dan kecelakaan menggunakan
energy akan berakibat pada rusaknya banyak bangunan disamping, diatas mapun
dibawah kita. Dengan menaikan hunian keatas dan semakin keatas maka sawah dan
lahan hijau lainnya dapat dipertahankan. Keakraban dalam suasana perkumpulan
RT-RW (pada hunian datar) dapat diterapkan dan ditemukan dalam perhimpunan
penghuni pemilik satuan rumah susun (PPPSRS).
Dapat
dihitung berapa banyak lahan persawahan diselamatkan dengan pola hunian
vertikal. Berapa banyak pola hidup yang akan berubah dengan adanya system
hunian vertikal. UU Rusun telah mengakomodasi lebih jauh tentang kesempatan
memiliki rumah bagi pasangan-pasangan muda yang tergolong dalam masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR) baik dalam proses jual beli maupun dalam hal
pengadaan.[10] Tak dipungkiri bahwa sikap antipati (menolak)
masyarakat terhadap penyelenggaraan rumah susun (pola hunian vertikal)
dilandasi atas ketidak tahuan mereka akan sudut lainnya dari penyelenggaraan
rumah susun. Belum lagi provokasi dari lembaga-lembaga non pemerintah yang
tidak sepenuhnya faham akan pola hunian vertikal. Sibuk menyuarakan selamatkan
lingkungan tolak hunian vertikal tapi membiarkan perambahan hutan untuk pabrik
sawit maupun hunian mendatar. Jadi mari bersama mempelajari apa itu system
hunian vertikal, dan tinggalah di rumah susun untuk menyelamatkan lingkungan!
Yogyakarta, 16
September 2015
[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak,
Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan)
/ Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta.
[2] http://rizkikhaharudinakbar.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-rumah-fungsi-dan-syarat.html , diakses pada hari Rabu, tanggal 16 September 2015, pukul 06.00 WIB.
[3] Pliny the Elder, Read more at
http://www.brainyquote.com/quotes/topics/topic_home.html#dKAzrmKyou2VBzd1.99en
[4] https://www.youtube.com/watch?v=xGDmZw-liFg , diakses pada Rabu, tanggal 16 September 2015, pukul 05.00 WIB.
[5] http://finance.detik.com/read/2012/02/16/065221/1843675/1016/wuih-kebutuhan-rumah-capai-26-juta-unit-per-tahun , diakses pada hari Rabu, tanggal 16 September 2015, pukul 05.30 WIB.
[6]
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesia-meningkat-setiap-tahun-ini-datanya
, diakses pada hari Rabu tanggal 16 September 2015, pukul 06.15 WIB.
[7]
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150302151819-92-36104/jumlah-lahan-berkurang-produksi-padi-tahun-lalu-merosot/
, diakses pada hari Rabu tanggal 16 September 2015, pukul 06.35 WIB.
[8]
http://jdfi.co.id/greenfestival/GreenFest08-kmandi.php , diakses pada hari
Selasa tanggal 15 September 2015, pukul 16.30 WIB.
[10] Lih. Ketentuan Pasal 16, 21, 54, 72, 80, 81, 82, 86, 87, 88 Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar