Wujud Hukum Dalam
Teori Hukum Klasik : Kekuatan adalah Hukum[1]
Kehidupan manusia merupakan sebuah
perjalanan waktu yang memiliki wujud tak serupa dalam setiap masanya. Manusia selalu
memberikan kontribusi bagi zamannya masing-masing, baik itu kontribusi yang
berdampak positif maupun yang berdampak negatif kepada lingkungannya. Sejarah selalu
membuktikan bahwa manusia selalu menjadi perusak dalam tatanan kehidupannya
sendiri sekaligus kadang menjadi “montir” bagi kerusakan itu sendiri. Secara umum
sejarah dunia mencatat bahwa hancurnya peradaban Kota Miletos[2]
adalah buah karya dari bangsa Persia yang haus akan kekuasaan dan penaklukan. Miletos
yang terkenal dengan tokoh-tokoh filsufnya, banyak menghasilkan
pemikiran-pemikiran menakjubkan pada zamannya. Sebagai dampak dari pemikiran-pemikiran
yang luar biasa dari para filsuf Miletos, kota itu menjadi pusat peradaban bagi
filsafat barat. Dengan kemampuannya (nafsu) manusia selalu merusak peradaban
dan kemudian memperbaikinya lagi dengan kekuatan yang baru.
Pola kehidupan manusia seperti
tersebut diatas seakan terus terulang dan sulit dicegah disetiap zamamnnya. Tercatat
dalam sejarah bahwa manusia merupakan penemu yang berbakat, ketika banyak
penemuan diciptakan untuk kemajuan manusia dan kedamaian, justru menjadi alat
untuk saling menguasai. Berkaca pada kejadian di era abad 6 SM di Kota Miletos,
dapat sedikit diambil pelajaran bahwa setiap kekuatan manusia sesungguhnya
adalah malapetaka jika tak dikendalikan dengan baik. Para filsuf Miletos
(Ionia) seperti Anaximander, Thales, Heraklitus dan Empedocles yang sangat
dekat dengan kosmologi kealamiahan dan mitis menyimpulkan bahwa kekuatan
sesuangguhnya merupakan inti dari tatanan alam.[3]
Kesimpulan tersebut bukan isapan jempol semata ketika memang faktanya banyak
yang kuat kemudian berkuasa dalam menata kehidupan lingkungannya. Kesimpulan para
filsuf Kota Miletos tersebut dapat dipahami secara naluriah, sebab pada zaman
itu yang kuatlah yang akan dominan menguasai tatanan kehidupan, sebagaimana
Persia kemudian menaklukan Ionia. Pandangan kosmologi alamiah dan mitis para
filsuf Ionia tersebut melahirkan konsep
bahwa sesungguhnya kekuatan adalah hukum. Maka dengan demikian yang kuat akan
mampu membentuk hukum.
Dalam kehidupan masyarakat hukum
menjadi domain penting yang digunakan untuk mengatur pola kehidupan masyarakat.
Patut dimengerti bersama bahwa pada era klasik semacam era Kota Miletos
tersebut, hukum merupakan cerminan kekuatan yang ada. Dinamika sosial tidak
bisa dikatakan sebagai dinamika yang majemuk dan berwarna. Dinamika sosial
adalah dinamika satu warna, dimana warna yang kuat akan menghapus warna sosial
yang lain. Situasi tersebut menjadi sebuah cerminan wajah masyarakat yang
belakangan dikenal sebagai konsep “feodal”. Tak pantas rasanya seorang manusia
yang tak memiliki kekuatan apapun melakukan protes atas ketidakadilan sosial
yang ia alami. Justru yang terjadi adalah ketika sesuatu yang terjadi berada
diluar kuasanya, maka setiap insan yang berada didalam system tersebut akan
menerima dengan terbuka. Ketidakberanian mendobrak atas apa yang terjadi
merupakan hal lazim pada zaman itu di kota Miletos. Keberadaan penguasa
merupakan symbol dari tegaknya hukum.
Ketika sekelompok manusia tersesat
dihutan, maka hukum yang terbentuk adalah siapa yang survive dialah yang dapat menjadi hukum dalam kelompok itu. Tak ada
peluang bagi ruang diskusi ataupun kebersamaan menentukan tujuan. Jika ingin
selamat didalam hutan maka kekuatanlah yang dipakai dalam menentukan sikap,
bukan lagi pada tatanan moralitas ataupun etika. Ketika seorang ibu harus
mendiamkan anak kecil yang menangis ditengah kejaran hewan buas, maka bekapan
kematian merupakan simbol atas tegaknya hukum demi untuk survive ditengah hutan. Tak perlu pembelaan jika si anak yang
menangis itu kehilangan nyawanya, karena dia tidak kuat untuk bertahan dalam
keadaan itu. Sekali lagi terbukti bahwa Kekuatan adalah tatanan hukum yang
sempurna dalam wajah hukum di zaman klasik. Tak salah pula ketika Al Qur’an[4]
menceritakan bahwa Fir Aun menciptakan hukumnya sendiri untuk menghidupmatikan
seseorang. Bagi firaun, hukum adalah kekuasaan dan kekuatan yang ia genggam,
hukum adalah firaun itu sendiri.
Seorang filsuf asal Amerika bernama
Ayn Rand (1905-1982) mengatakan bahwa egoisme tidak punya rasa malu, siapapun
berhak untuk angkat bahu menentukan hukum bagi nasibnya sendiri.[5]
Bagi Rand yang merupakan kelahiran Rusia ini, rasa iba adalah kelemahan bagi
manusia, siapa yang cepat iba maka celakalah ia. Pemikiran Rand tersebut
senyampang dengan apa yang ada dalam pola kehidupan zaman klasik dimana rasa
kasian adalah titik lemah dari hukum. Sekali lagi penulis menyampaikan bahwa
cerminan pemikiran Rand dan tentunya para filsuf Ionia tersebut adalah
pemikiran wujud hukum pada zaman klasik dimana memang kekuatan merupakan
determinasi hukum atas kehidupan. Sulit menghindarkan anggapan bahwa wujud
hukum pada zaman klasik adalah wujud hukum yang mengerikan dimana penguasa
adalah pembentuk hukum dan kaum lemah adalah santapan empuk bagi pembuat hukum,
jika kaum lemah itu tak tunduk.
Pemikiran tentang wujud hukum klasik
yang “mengerikan” tersebut tentunya tak dapat lagi di implementasikan dalam era
yang modern ini, karena telah banyak titik lemah yang kemudian tidak membuat
hukum sebagai piranti yang memanusiakan manusia. Namun belakangan penulis
sedikit mengendus bahwa pola hukum pada zaman klasik nampaknya sedang
digandrungi oleh beberapa pemegang kuasa atas hukum. Lembaga seperti Kejaksaan,
Polri, KPK, bahkan Presiden seakan membuat hukum sebagai implementasi dari
kekuasaan yang mereka miliki. Taka da lagi hukum yang seharusnya buta dan tak
berpihak. Hukum seakan mata angin kompas yang mengarah pada arah mana angina kekuasaan
ingin menuju. Hukum tak lagi bisa menjadi tatanan hidup yang ideal bagi manusia
yang menggantungkan nasibnya dalam hukum, tapi justru hukum sedikit-sedikit
memangsa setiap manusia yang mencoba mengahalnginya. Apakah kemudian pengandaian, “roda itu bulat kadang diatas
kadang dibawah” dapat menjadi pembenar atas perilaku hukum penguasa yang seakan
kembali pada wujud hukum di zaman klasik? Hukum sebagai tatanan kekuatan tak
dapat lagi dibenarkan dalam zaman sekarang ini. Hukum sesungguhnya merupakan
interpretasi atas kehidupan masyarakat itu sendiri.
Yogyakarta, 12 September 2015
[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak,
Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan)
/ Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
[2] Kota miletos adalah salah satu
dari kota-kota di Ionia yang berada di Asia Kecil dengan peradaban yang baik
dalam bidang ekonomi dan kutural. Pada era abad 6 SM, Kota Miletos adalah pusat
peradaban Ionia dengan para filsufnya. (www.wikipedia.org)
[3] Bernard L. Tanya. Dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010.
[4] Al Qur’an surat Taha (136 ayat) dan
Surat Al-Qasas (88 ayat) yang menceritakan betapa tiran-nya raja Firaun pada
zamannya, dan ia menciptakan hukum dengan kekuatannya dengan membunuh dan menghidupkan
orang (tidak membunuh).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar