Sabtu, 12 September 2015

Wujud Hukum Dalam Teori Hukum Klasik : Kekuatan adalah Hukum

Wujud Hukum Dalam Teori Hukum Klasik : Kekuatan adalah Hukum[1]

Kehidupan manusia merupakan sebuah perjalanan waktu yang memiliki wujud tak serupa dalam setiap masanya. Manusia selalu memberikan kontribusi bagi zamannya masing-masing, baik itu kontribusi yang berdampak positif maupun yang berdampak negatif kepada lingkungannya. Sejarah selalu membuktikan bahwa manusia selalu menjadi perusak dalam tatanan kehidupannya sendiri sekaligus kadang menjadi “montir” bagi kerusakan itu sendiri. Secara umum sejarah dunia mencatat bahwa hancurnya peradaban Kota Miletos[2] adalah buah karya dari bangsa Persia yang haus akan kekuasaan dan penaklukan. Miletos yang terkenal dengan tokoh-tokoh filsufnya, banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran menakjubkan pada zamannya. Sebagai dampak dari pemikiran-pemikiran yang luar biasa dari para filsuf Miletos, kota itu menjadi pusat peradaban bagi filsafat barat. Dengan kemampuannya (nafsu) manusia selalu merusak peradaban dan kemudian memperbaikinya lagi dengan kekuatan yang baru.
Pola kehidupan manusia seperti tersebut diatas seakan terus terulang dan sulit dicegah disetiap zamamnnya. Tercatat dalam sejarah bahwa manusia merupakan penemu yang berbakat, ketika banyak penemuan diciptakan untuk kemajuan manusia dan kedamaian, justru menjadi alat untuk saling menguasai. Berkaca pada kejadian di era abad 6 SM di Kota Miletos, dapat sedikit diambil pelajaran bahwa setiap kekuatan manusia sesungguhnya adalah malapetaka jika tak dikendalikan dengan baik. Para filsuf Miletos (Ionia) seperti Anaximander, Thales, Heraklitus dan Empedocles yang sangat dekat dengan kosmologi kealamiahan dan mitis menyimpulkan bahwa kekuatan sesuangguhnya merupakan inti dari tatanan alam.[3] Kesimpulan tersebut bukan isapan jempol semata ketika memang faktanya banyak yang kuat kemudian berkuasa dalam menata kehidupan lingkungannya. Kesimpulan para filsuf Kota Miletos tersebut dapat dipahami secara naluriah, sebab pada zaman itu yang kuatlah yang akan dominan menguasai tatanan kehidupan, sebagaimana Persia kemudian menaklukan Ionia. Pandangan kosmologi alamiah dan mitis para filsuf Ionia tersebut melahirkan  konsep bahwa sesungguhnya kekuatan adalah hukum. Maka dengan demikian yang kuat akan mampu membentuk hukum.
Dalam kehidupan masyarakat hukum menjadi domain penting yang digunakan untuk mengatur pola kehidupan masyarakat. Patut dimengerti bersama bahwa pada era klasik semacam era Kota Miletos tersebut, hukum merupakan cerminan kekuatan yang ada. Dinamika sosial tidak bisa dikatakan sebagai dinamika yang majemuk dan berwarna. Dinamika sosial adalah dinamika satu warna, dimana warna yang kuat akan menghapus warna sosial yang lain. Situasi tersebut menjadi sebuah cerminan wajah masyarakat yang belakangan dikenal sebagai konsep “feodal”. Tak pantas rasanya seorang manusia yang tak memiliki kekuatan apapun melakukan protes atas ketidakadilan sosial yang ia alami. Justru yang terjadi adalah ketika sesuatu yang terjadi berada diluar kuasanya, maka setiap insan yang berada didalam system tersebut akan menerima dengan terbuka. Ketidakberanian mendobrak atas apa yang terjadi merupakan hal lazim pada zaman itu di kota Miletos. Keberadaan penguasa merupakan symbol dari tegaknya hukum.
Ketika sekelompok manusia tersesat dihutan, maka hukum yang terbentuk adalah siapa yang survive dialah yang dapat menjadi hukum dalam kelompok itu. Tak ada peluang bagi ruang diskusi ataupun kebersamaan menentukan tujuan. Jika ingin selamat didalam hutan maka kekuatanlah yang dipakai dalam menentukan sikap, bukan lagi pada tatanan moralitas ataupun etika. Ketika seorang ibu harus mendiamkan anak kecil yang menangis ditengah kejaran hewan buas, maka bekapan kematian merupakan simbol atas tegaknya hukum demi untuk survive ditengah hutan. Tak perlu pembelaan jika si anak yang menangis itu kehilangan nyawanya, karena dia tidak kuat untuk bertahan dalam keadaan itu. Sekali lagi terbukti bahwa Kekuatan adalah tatanan hukum yang sempurna dalam wajah hukum di zaman klasik. Tak salah pula ketika Al Qur’an[4] menceritakan bahwa Fir Aun menciptakan hukumnya sendiri untuk menghidupmatikan seseorang. Bagi firaun, hukum adalah kekuasaan dan kekuatan yang ia genggam, hukum adalah firaun itu sendiri.
Seorang filsuf asal Amerika bernama Ayn Rand (1905-1982) mengatakan bahwa egoisme tidak punya rasa malu, siapapun berhak untuk angkat bahu menentukan hukum bagi nasibnya sendiri.[5] Bagi Rand yang merupakan kelahiran Rusia ini, rasa iba adalah kelemahan bagi manusia, siapa yang cepat iba maka celakalah ia. Pemikiran Rand tersebut senyampang dengan apa yang ada dalam pola kehidupan zaman klasik dimana rasa kasian adalah titik lemah dari hukum. Sekali lagi penulis menyampaikan bahwa cerminan pemikiran Rand dan tentunya para filsuf Ionia tersebut adalah pemikiran wujud hukum pada zaman klasik dimana memang kekuatan merupakan determinasi hukum atas kehidupan. Sulit menghindarkan anggapan bahwa wujud hukum pada zaman klasik adalah wujud hukum yang mengerikan dimana penguasa adalah pembentuk hukum dan kaum lemah adalah santapan empuk bagi pembuat hukum, jika kaum lemah itu tak tunduk.
Pemikiran tentang wujud hukum klasik yang “mengerikan” tersebut tentunya tak dapat lagi di implementasikan dalam era yang modern ini, karena telah banyak titik lemah yang kemudian tidak membuat hukum sebagai piranti yang memanusiakan manusia. Namun belakangan penulis sedikit mengendus bahwa pola hukum pada zaman klasik nampaknya sedang digandrungi oleh beberapa pemegang kuasa atas hukum. Lembaga seperti Kejaksaan, Polri, KPK, bahkan Presiden seakan membuat hukum sebagai implementasi dari kekuasaan yang mereka miliki. Taka da lagi hukum yang seharusnya buta dan tak berpihak. Hukum seakan mata angin kompas yang mengarah pada arah mana angina kekuasaan ingin menuju. Hukum tak lagi bisa menjadi tatanan hidup yang ideal bagi manusia yang menggantungkan nasibnya dalam hukum, tapi justru hukum sedikit-sedikit memangsa setiap manusia yang mencoba mengahalnginya. Apakah kemudian  pengandaian, “roda itu bulat kadang diatas kadang dibawah” dapat menjadi pembenar atas perilaku hukum penguasa yang seakan kembali pada wujud hukum di zaman klasik? Hukum sebagai tatanan kekuatan tak dapat lagi dibenarkan dalam zaman sekarang ini. Hukum sesungguhnya merupakan interpretasi atas kehidupan masyarakat itu sendiri.
Yogyakarta, 12 September 2015




[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak, Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan) / Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
[2] Kota miletos adalah salah satu dari kota-kota di Ionia yang berada di Asia Kecil dengan peradaban yang baik dalam bidang ekonomi dan kutural. Pada era abad 6 SM, Kota Miletos adalah pusat peradaban Ionia dengan para filsufnya. (www.wikipedia.org)
[3] Bernard L. Tanya. Dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010.
[4] Al Qur’an surat Taha (136 ayat) dan Surat Al-Qasas (88 ayat) yang menceritakan betapa tiran-nya raja Firaun pada zamannya, dan ia menciptakan hukum dengan kekuatannya dengan membunuh dan menghidupkan orang (tidak membunuh).
[5] Ulasan mengenai pemikiran Ayn Rand ini, lihat Nathaniel & Barbara Branden, Who is Ayn?, 1962.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar