Wujud Hukum Dalam
Teori Hukum Klasik : Hukum Klasik Rasa Modern[1]
Dalam pandangan filsuf Ionia (Kota
Miletos, 6 SM) hukum adalah representasi kekuatan (teori hukum klasik). Hukum
dibentuk oleh kekuatan yang ada dan diakui saat itu. Jika kekuatan yang ada dan
diakui itu dzalim maka akan dzalim pula wajah hukum yang ada di masyarakat,
sebaliknya jika kekuatan yang ada dan diakui itu bijaksana maka akan bijaksana
pulalah wajah hukum yang ada di masyarakat. Hal tersebut membuat hukum lebih
sering menjadi alat bagi pemegang kekuatan. Hukum dipakai untuk egoisme sempit
agar kepentingan pemegang kekuatan terjamin tanpa memperhatikan kehidupan
sosial lainnya. Hukum alam yang ‘telanjang’ dipuja oleh kalangan filsuf Ionia.
Pandangan kosmologi alamiah dan mitis para filsuf Ionia tersebut melahirkan
hukum yang hanya memiliki raga.
Hukum tak sepatutnya hanya barisan
raga-raga yang kuat, namun justru lebih jauh hukum pun harus memiliki jiwa.
Pandangan filsuf Ionia terkoreksi sesaat oleh kalangan Sofis[2]
yang menelurkan konsep hukum yang selain memiliki raga, juga memiliki jiwa.
Kaum Sofis tak lagi menatap hukum setelanjang para filsuf Ionia, para filsuf
sofis telah “membumbui” wajah hukum dengan bumbu-bumbu lain yang diidentikan
sebagai jiwa-nya hukum. Pandangan filsuf sofis ini tentunya langsung merobohkan
pemujaan atas bentuk hukum kalangan filsuf Ionia yang mewujudkan kekuatan
sebagai satu-satunya wajah hukum. Sofisme menyatakan bahwa manusia tak hanya
berkekuatan fisik, tapi juga memiliki akal (logos),
maka kemudian logos itulah yang
menjadi pikiran pembeda dari konsep hukum klasik filsuf Ionia.[3]
Paham Sofis tak semata-mata menggunakan pendekatan fisik secara bulat-bulat
namun justru mengarah kepada keteraturan (nomos)
yang berinti pada moralitas alam. Kekuatan boleh berkuasa tapi tak semata-mata
berkuasa menjadi hukum, perlu bagi kekuatan itu untuk memperhatikan nilai
kepantasan yang disaring melalui moral alam itu tadi. Moral alam bagi kaum
Sofis di implementasikan kedalam nilai kepatutan atas setiap perilaku yang ada.
Bukan kepatutan sempit tapi kepatutan luas menurut akal (logos) yang waras. Pada era ini, hukum seakan telah menempati
posisi yang ideal sebagai pola untuk mengatur dan mewujudkan konsep nomos.
Jika pada pandangan filsuf Ionia
hukum merupakan pandangan hidup yang tertutup atas dasar survival effort maka di era Sofis hukum diadaptasikan pada konsep
yang lebih terbuka dengan menambahkan moralitas alam atas kekuatan fisik itu
tadi. Konsep inilah kemudian yang membuat pandangan kaum Sofis menjadi “minus”.
Kaum Sofis dengan sofisme-nya ternyata memiliki standar ganda atasa pandangan
terhadap hukum, dimana titik tolak utama ternyata bukan soal moralitas alam
tadi, melainkan masih pada soal kekuatan fisik. Hukum yang baik memang harus
memperhatikan nilai moralitas alam (kepatutan umum yang waras) namun
determinasi moralitas alam itu masih sangat mungkin kalah atas kekuatan. Hal
demikian (kekalahan moralitas alam atas kekuatan manusia) dapat terjadi karena
pandangan Sofisme menitik beratkan pada pelaku atas hukum itu sendiri dimana
para Sofisme masih mengakui bahwa orang-orang kuat dan berkuasalah yang mampu
membentuk hukum serta tentunya menjalankan hukum itu.
Pada akhirnya, sebagai reaksi atas
pandangan kaum Sofis tersebut, kemudian Socrates[4]
(469-399 SM) memunculkan pandangannya sebagai perlawanan atas faham filsuf
Ionia dan faham Sofisme. Menurut Socrates, para filsuf Ionia terlalu memuja
kekuatan (manusia) sebagai sentral atas pembentukan hukum, sama halnya dengan
kaum Sofis yang tak memahami secara utuh bahwa posisi logos dalam membentuk hukum tidak menempatkan manusia sebagai
sentralnya. Dalam alam pemikiran Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, hukum
merupakan tatanan kebajikan yaitu
tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah piranti
untuk melegetimasi setiap kekuatan yang berkuasa (membantah filsuf Ionia) dan
bukan juga alat bagi cendikia untuk membenarkan manusia dengan pembenaran alam
(membantah filsuf sofis)[5]. Menurut Socrates, tujuan kehidupan manusia
adalah untuk mencapai kebahagian (eudaimonia).
Dengan pandangan itulah kemudian Socrates menyimpulkan bahwa kebajikan adalah
pengetahuan dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka
kekeliruan hanya datang dari kegagalan untuk mengetahui apa yang baik. Sebab itu
pulalah Socrates tidak takut ketika menghadapi peradilan yang sesat, karena
menurut Socrates, pembangkangan atas hukum (walaupun hukum sesat) adalah
pembangkangan atas peradaban manusia itu sendiri. Maka dari itu Socrates
menerima dengan tangan terbuka putusan peradilan sesat itu.
Pada zaman se-klasik itu, Socrates
berpendapat bahwa hukum merupakan kontrak sosial yang melahirkan kewajiban
moral untuk menaati hukum. Dimana kontrak sosial itu dibuat maka disitulah
kewajiban moral timbul untuk menaatinya. Bentuk hormat pada hukum bukan karena
bentuk hukum itu, tapi justru karena penghargaan yang tinggi atas kontrak
sosial yang telah dibuat dan rasa hormat atas lembaga sosial yang luhur
(Negara). Ketika pandangan atas hukum bisa memakai pandangan Socrates maka
paling tidak, akan banyak orang yang beranggapan bahwa bila melanggar hukum
akan mengakibatkan pencabikan atas landasan hidup bersama (kontrak sosial). Secara
umum Socrates juga berpendapat bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh
factor-faktor non manusia termasuk ekonomi, dimana seringkali pelanggaran hukum
terjadi karena kebutuhan untuk memenuhi kenikmatan diri.
Sungguh indah pandangan Socrates
atas wajah hukum yang ideal pada masanya. Pada zaman se-klasik itu Socrates
telah mengidentifikasi wajah hukum dengan pemikira yang sangat modern bahwa hukum bukan untuk
hukum itu saja, melaninkan hukum dibuat justru untuk manusia itu sendiri. Jadi
ada korelasi antara bentuk hukum dengan kebutuhan dan perkembangan manusia. Tidak
kemudian membuat hukumberdasarkan kekuatan yang ada, atau melegitimasi moral
alam demi kepentingan kaum pintar sofisme. Socrates memberikan pandangan bahwa
hukum pada zaman klasik pun dapat menjelma menjadi hukum klasik dengan rasa
modern dimana kekuatan-kekuatan fisik maupun pemikiran-pemikiran non fisik pada
masa itu coba ia mentahkan. Semoga dalam era modern ini tidak justru mengalami
kemunduran dengan wajah hukum modern dengan rasa klasik (siapa kuat dia
dapat/menang). Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S. An Nahl (16) ayat 90[6].
Semoga.
Yogyakarta, 15 September 2015
[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak,
Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan)
/ Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta
[2]
Sofis
adalah nama yang diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup dan berkarya
pada zaman yang sama dengan Sokrates. Mereka muncul pada pertengahan hingga
akhir abad ke-5 SM
[3] Bernard L. Tanya. Dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm. 27.
[4] Socrates (Yunani: Σωκράτης,
Sǒcratēs) (469 SM - 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan
salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat.
[5] http://rgs-opini-hukum.blogspot.co.id/2013/05/hukum-menurut-socrates.html, diakses pada tanggal 15
September 2015, pukul 05.00 WIB.
[6] "Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar