Selasa, 15 September 2015

Wujud Hukum Dalam Teori Hukum Klasik : Hukum Klasik Rasa Modern

Wujud Hukum Dalam Teori Hukum Klasik : Hukum Klasik Rasa Modern[1]

Dalam pandangan filsuf Ionia (Kota Miletos, 6 SM) hukum adalah representasi kekuatan (teori hukum klasik). Hukum dibentuk oleh kekuatan yang ada dan diakui saat itu. Jika kekuatan yang ada dan diakui itu dzalim maka akan dzalim pula wajah hukum yang ada di masyarakat, sebaliknya jika kekuatan yang ada dan diakui itu bijaksana maka akan bijaksana pulalah wajah hukum yang ada di masyarakat. Hal tersebut membuat hukum lebih sering menjadi alat bagi pemegang kekuatan. Hukum dipakai untuk egoisme sempit agar kepentingan pemegang kekuatan terjamin tanpa memperhatikan kehidupan sosial lainnya. Hukum alam yang ‘telanjang’ dipuja oleh kalangan filsuf Ionia. Pandangan kosmologi alamiah dan mitis para filsuf Ionia tersebut melahirkan hukum yang hanya memiliki raga.

Hukum tak sepatutnya hanya barisan raga-raga yang kuat, namun justru lebih jauh hukum pun harus memiliki jiwa. Pandangan filsuf Ionia terkoreksi sesaat oleh kalangan Sofis[2] yang menelurkan konsep hukum yang selain memiliki raga, juga memiliki jiwa. Kaum Sofis tak lagi menatap hukum setelanjang para filsuf Ionia, para filsuf sofis telah “membumbui” wajah hukum dengan bumbu-bumbu lain yang diidentikan sebagai jiwa-nya hukum. Pandangan filsuf sofis ini tentunya langsung merobohkan pemujaan atas bentuk hukum kalangan filsuf Ionia yang mewujudkan kekuatan sebagai satu-satunya wajah hukum. Sofisme menyatakan bahwa manusia tak hanya berkekuatan fisik, tapi juga memiliki akal (logos), maka kemudian logos itulah yang menjadi pikiran pembeda dari konsep hukum klasik filsuf Ionia.[3] Paham Sofis tak semata-mata menggunakan pendekatan fisik secara bulat-bulat namun justru mengarah kepada keteraturan (nomos) yang berinti pada moralitas alam. Kekuatan boleh berkuasa tapi tak semata-mata berkuasa menjadi hukum, perlu bagi kekuatan itu untuk memperhatikan nilai kepantasan yang disaring melalui moral alam itu tadi. Moral alam bagi kaum Sofis di implementasikan kedalam nilai kepatutan atas setiap perilaku yang ada. Bukan kepatutan sempit tapi kepatutan luas menurut akal (logos) yang waras. Pada era ini, hukum seakan telah menempati posisi yang ideal sebagai pola untuk mengatur dan mewujudkan konsep nomos.

Jika pada pandangan filsuf Ionia hukum merupakan pandangan hidup yang tertutup atas dasar survival effort maka di era Sofis hukum diadaptasikan pada konsep yang lebih terbuka dengan menambahkan moralitas alam atas kekuatan fisik itu tadi. Konsep inilah kemudian yang membuat pandangan kaum Sofis menjadi “minus”. Kaum Sofis dengan sofisme-nya ternyata memiliki standar ganda atasa pandangan terhadap hukum, dimana titik tolak utama ternyata bukan soal moralitas alam tadi, melainkan masih pada soal kekuatan fisik. Hukum yang baik memang harus memperhatikan nilai moralitas alam (kepatutan umum yang waras) namun determinasi moralitas alam itu masih sangat mungkin kalah atas kekuatan. Hal demikian (kekalahan moralitas alam atas kekuatan manusia) dapat terjadi karena pandangan Sofisme menitik beratkan pada pelaku atas hukum itu sendiri dimana para Sofisme masih mengakui bahwa orang-orang kuat dan berkuasalah yang mampu membentuk hukum serta tentunya menjalankan hukum itu.

Pada akhirnya, sebagai reaksi atas pandangan kaum Sofis tersebut, kemudian Socrates[4] (469-399 SM) memunculkan pandangannya sebagai perlawanan atas faham filsuf Ionia dan faham Sofisme. Menurut Socrates, para filsuf Ionia terlalu memuja kekuatan (manusia) sebagai sentral atas pembentukan hukum, sama halnya dengan kaum Sofis yang tak memahami secara utuh bahwa posisi logos dalam membentuk hukum tidak menempatkan manusia sebagai sentralnya. Dalam alam pemikiran Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, hukum merupakan tatanan kebajikan  yaitu tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah piranti untuk melegetimasi setiap kekuatan yang berkuasa (membantah filsuf Ionia) dan bukan juga alat bagi cendikia untuk membenarkan manusia dengan pembenaran alam (membantah filsuf sofis)[5].  Menurut Socrates, tujuan kehidupan manusia adalah untuk mencapai kebahagian (eudaimonia). Dengan pandangan itulah kemudian Socrates menyimpulkan bahwa kebajikan adalah pengetahuan dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka kekeliruan hanya datang dari kegagalan untuk mengetahui apa yang baik. Sebab itu pulalah Socrates tidak takut ketika menghadapi peradilan yang sesat, karena menurut Socrates, pembangkangan atas hukum (walaupun hukum sesat) adalah pembangkangan atas peradaban manusia itu sendiri. Maka dari itu Socrates menerima dengan tangan terbuka putusan peradilan sesat itu.

Pada zaman se-klasik itu, Socrates berpendapat bahwa hukum merupakan kontrak sosial yang melahirkan kewajiban moral untuk menaati hukum. Dimana kontrak sosial itu dibuat maka disitulah kewajiban moral timbul untuk menaatinya. Bentuk hormat pada hukum bukan karena bentuk hukum itu, tapi justru karena penghargaan yang tinggi atas kontrak sosial yang telah dibuat dan rasa hormat atas lembaga sosial yang luhur (Negara). Ketika pandangan atas hukum bisa memakai pandangan Socrates maka paling tidak, akan banyak orang yang beranggapan bahwa bila melanggar hukum akan mengakibatkan pencabikan atas landasan hidup bersama (kontrak sosial). Secara umum Socrates juga berpendapat bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh factor-faktor non manusia termasuk ekonomi, dimana seringkali pelanggaran hukum terjadi karena kebutuhan untuk memenuhi kenikmatan diri.

Sungguh indah pandangan Socrates atas wajah hukum yang ideal pada masanya. Pada zaman se-klasik itu Socrates telah mengidentifikasi wajah hukum dengan pemikira  yang sangat modern bahwa hukum bukan untuk hukum itu saja, melaninkan hukum dibuat justru untuk manusia itu sendiri. Jadi ada korelasi antara bentuk hukum dengan kebutuhan dan perkembangan manusia. Tidak kemudian membuat hukumberdasarkan kekuatan yang ada, atau melegitimasi moral alam demi kepentingan kaum pintar sofisme. Socrates memberikan pandangan bahwa hukum pada zaman klasik pun dapat menjelma menjadi hukum klasik dengan rasa modern dimana kekuatan-kekuatan fisik maupun pemikiran-pemikiran non fisik pada masa itu coba ia mentahkan. Semoga dalam era modern ini tidak justru mengalami kemunduran dengan wajah hukum modern dengan rasa klasik (siapa kuat dia dapat/menang). Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S. An Nahl (16) ayat 90[6]. Semoga.

Yogyakarta, 15 September 2015




[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak, Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan) / Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
[2] Sofis adalah nama yang diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup dan berkarya pada zaman yang sama dengan Sokrates. Mereka muncul pada pertengahan hingga akhir abad ke-5 SM
[3] Bernard L. Tanya. Dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm. 27.
[4] Socrates (Yunani: Σωκράτης, Sǒcratēs) (469 SM - 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat.
[5] http://rgs-opini-hukum.blogspot.co.id/2013/05/hukum-menurut-socrates.html, diakses pada tanggal 15 September 2015, pukul 05.00 WIB.
[6] "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar