Jumat, 18 September 2015

Berguru Pada Hukum atau Berhukum Pada Guru

Wujud Hukum Dalam Teori Hukum Klasik : Berguru Pada Hukum atau Berhukum Pada Guru[1]

Wajah hukum dalam setiap era peradaban manusia adalah manifestasi atas pola pikir dan kehidupan manusia di zamannya. Semakain modern dan cerdas manusia yang terlahir di suatu era maka tentu akan semakin modern dan maju peradaban hukumnya. Sebaliknya jika semakin primitive manusia yang terlahir pada suatu era maka peradaban hukumnya akan semakin dangkal. Logika sebab-akibat tersebut secara umum dapat diakui bersama sebagai hal yang lumrah terjadi, namun terkadang pemikiran-pemikiran tertentu akan berubah ketika ada satu orang saja pemikir yang berani berbeda. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sofisme atas pemikiran filsuf Ionia maupun bantahan Socrates atas ke-hedonisan hukum kaum sofi. Hukum selalu dituntut untuk mengikuti perkembangan manusia, sebab jika tidak maka hukum akan membuat kekacauan didalam peradaban manusia. Sangat lumrah jika kiranya Socrates menganggap bahwa sesungguhnya manusia harus mengakui hukum sebagai komitmen hidup di lingkungan sosial hingga ke lingkungan Negara. Sikap sokrates sungguh menggemparkan zamannya, Sokrates mencoba keluar dari kemunafikan kaum sofi yang “menjual-belikan” hukum.

Sebagai komitmen hidup kepada lingkungan sosial dan lingkungan Negara, hukum di masa Sokrates diletakan sebagai komitmen diri. Komitmen itu dibuktikan oleh Sokrates sekalipun ia berada dalam penjara yang sesat. Meski Socrates dihukum oleh peradilan sesat ia tetap menerima, karena ia sungguh menghormati komitmennya atas hukum. Negara seakan lupa bahwa tugasnya sebagai penyelenggara hukum haruslah menegakkan hukum dan menjauhkannya dari kekuatan-kekuatan penguasa. Namun apa daya, kekuatan pemikiran Socrates msih kalah dengan kuasa Negara atas hukum. Keteraturan yang diciptakan Negara cenderung berubah menjadi tirani ditengah orang-orang yang salah dalam mengendalikan hukum. Situasi tersebut membuat murid Socrates, Plato (427 SM – 347 SM)[2] berfikir untuk memodifikasi pemikiran Socrates. Hukum bagi Plato tak sebatas pada konsep keteraturan tatanan kehidupan manusia yang diatur oleh Negara, tapi juga diperlukan idea (akal/logika) dalam menjalankannya. Hukum memerlukan logika kecerdasan atas keadilan dan logika kecerdasan atas moral[3]. Hukum yang diatur dan dilaksanakan oleh Negara, bagi Plato haruslah dipakai untuk menegakkan keadilan dengan menggunakan instrument aturan (perundang-undangan). Kesempurnaan penegakan hukum akan tercipta jika idea (akal/logika) dapat membawa para pemimpin Negara beserta aparaturnya kearah kecerdasan moralitas yang baik. Dengan demikian nantinya Negara yang berhukum dapat berjalan dengan dipimpin oleh aparatur Negara yang baik pula.

Jadi bagi Plato, hukum itu bukan hanya soal komitmen (kontrak) sosial antara masaing masing individu dengan individu lainnya ataupun dengan Negara, tapi juga soal Negara itu sendiri. Apakah kemudian komitmen sosial maupun komitmen Negara atas hukum dapat dijalankan dengan sendirinya tanpa ada individu-individu yang baik didalamnya?  Dalam khasanah berfikir Plato, kesempurnaan individu dalam berhukum akan dapat terwujud jika Negara berada dalam konteks yang benar, yaitu Negara dibawah kendali guru moral, para pemimpin yang bijak, para mitra bestari maupun individu lain yang secara moral telah teruji.[4] Dengan di kendalikan oleh aristocrat yang secara moralitas terjamin, maka hukum akan menghadirkan keadilan ditengah-tengah situasi yang sedang sulit mencipta keadilan. Sebagaiman situasi sulit yang dialami oleh gurunya, Socrates, yang sulit menemukan keadilan ditengah belantara hukum dan Negara. Jadi Plato menyampaikan ke permukaan bahwa hukum merupakan tatanan terbaik untuk menata dunia fenomena dengan idea agar ketidak adilan dapat berubah dengan keadilan bersama dengan penghimpunan aturan-aturan yang ada oleh lembaga yang disebut Negara. Dengan mengarungi pemikiran Plato, paling tidak Plato menginspirasi bahwa komitmen atas hukum pada Negara harus diimbangi dengan kecerdasan moralitas bagi aparat Negara itu sendiri sehingga gagasan hukum bagi keadilan dapat tercapai.

Balada guru dan murid antara Socrates dan Plato nampaknya merupakan fenomena pada era itu, dimana setelah Plato menelurkan teori-teorinya Aristoteles[5] (384 SM – 322 SM) yang merupakan murid Plato kemudian mengkritisi pandangan Plato soal hukum. Secara sederhana Aristoteles menyampaikan bahwa hukum bukan hanya bertujuan atas keadilan tapi juga harus memberikan kebahagiaan (eudainmonia)[6] bagi setiap inan yang menikmati hukum itu. Hukum tidak dibenarkan untuk menebarkan ancaman kepada individu-individu. Hukum bukan hanya soal doktrin benar-salah atas apa kata undang-undang, tapi lebih jauh lagi justru soal keadilan yang membahagiakan. Jadi basis dari hukum selain soal moralitas normanya, moralitas instrument pelaksanya juga terkait dengan basis kesamaan dalam keadilan dan kebahagian sebagaimana dipaparkan aristoteles.

Sebagaimana pendapat Plato bahwa Negara wajib menjamin keadilan atas hukum, maka Aristoteles menjadikannya lebih spesifik bahwa selain Negara menjamin adanya keadilan atas hukum, Negara juga wajib mendistribusikan keadilan itu kepada masyarakat agar dapat melahirkan kebahagian didalamnya. Distribusi keadilan atas hukum wajib dipenuhi oleh Negara tanpa terkecuali, sehingga manifestasi atas  eudainmonia bagi manusia-manusia yang telah berkomitmen pada hukum dan Negara dapat dicapai. Dengan demikian, konsep keadilan atas hukum bagi Arstoteles bukan hanya sesederhana keadilan berbasis kesamaan, tapi lebih jauh haruslah berupa keadilan yang distributif dan keadilan yang korektif. Keadilan harus disalurkan oleh Negara dalam kapasitasnya sebagai pelaksana atas komitmen hukum dari masyarakat kepada individu-individu secara proporsional sehingga dapat menyampaikan pesan keadilan yang mebahagiakan (eudainmonia) atas hukum. Demikian pula halnya dengan karakteristik keadilan korektif yang disimpulkan oleh Aristoteles dimana hukum harus memberikan keadilan yang mampu berwujud sebagai pembenar/pengkoreksi atas apa-apa yang belum benar didalam masyarakat (remedial). Setiap tindakan yang salah harus diberikan balasan yang adil oleh Negara sesuai dengan nilai moralitas dan etis dalam masyarakat dan setiap kerugian harus diganti sesuai dengan skala kerugian yang tercipta.

Hukum tidak selalu statis, hukum dan keadilan adalah guru dalam setiap sejarah peradaban manusia. Hukum yang usang bukan berarti hukum yang tidak tahu apa-apa, hukum yang usang adalah guru bagi hukum dimasa depan. Keberadaan hukum di masa lalu adalah pondasi atas ketahanan hukum dan keadilan dimasa depan. Hukum bersifat futuristik bukan karena norma-norma yang dikandung didalamnya saja, tapi juga soal instrument pelaksana yang ada didalamnya serta tentang komitmen atas hukum dan keadilan itu sendiri. Sebagaimana Al Qur’an menyampaikan bahwa : “Katakanlah (Muhammad): lakukanlah nadzar (penelitian dengan menggunakan metode ilmiah) mengenai apa yang ada di langit dan di bumi ...”[7]. Keilmiahan masa lalu bukan soal sejarahnya, tapi sejauh mana masa lalu dapat memberikan pandangan tentang masa depan hukum maupun keadilan dengan cara pengkajian secara ilmiah atas unur-unsur dan perilaku dimasa itu.

Yogyakarta, 18 September 2015






[1] Oleh Muhammad Zaki Mubarrak, Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum, Politik dan Pemerintahan) / Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
[2] http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-plato.html , diakses pada hari Jum’at, tanggal 18 September 2015, pukul 05.00 WIB.
[3] Teguh Prasetyo dkk, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum  (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat), Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2014, Hlm. 94.
[4] Bernard L. Tanya. Dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm. 40.
[5] Aristoteles (bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung – lih. https://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles .
[6] http://www.kompasiana.com/hariadideutsch/pola-pemikiran-socrates-plato-dan-aristoteles_550fd9fba33311c739ba7d5c , diakses pada hari Jum’at, tanggal 18 September 2015, pukul 05.30 WIB.
[7] QS. Yunus ayat 101.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar