Dinamika Perkembangan Hunian Vertikal
Di Yogyakarta[1]
Oleh. Muhammad Zaki Mubarrak, SH., MH.[2]
Dengan sejarah panjang dalam bidang pendidikan dan pariwisata,
Yogyakarta selalu saja menjadi daerah yang eksotis dengan banyak pengharapan
yang bisa diperjuangkan bagi para “alumni” kota itu. Sejarah membuktikan bahwa
para “alumni” itu selalu saja ingin kembali ke Yogyakarta yang menjanjikan
banyak hal, termasuk investasi. Banyak sekali ditemukan bahwa mahasiswa di
Yogyakarta telah gemar berbisnis sejak masih mahasiswa, sehingga ketika mereka
menjadi alumni maka mereka berhasrat kembali mengulangi bisnis lama mereka di
Yogyakarta dengan semangat dan kekuatan yang baru tentunya. Sebagai destinasi
pendidikan dan destinasi wisata, Yogyakarta tentunya memiliki jumlah konsumen
yang tinggi terhadap bidang ekonomi apapun. Data menunjukan bahwa pada tahun
2012-2013 jumlah mahasiswa baru di Perguruan Tinggi (PT) Negeri saja sudah
mencapai angka 7000 jiwa[3],
dimana jumlah tersebut belum termasuk jumlah mahasiswa di PT swasta dan jumlah
mahasiswa lama. Jika melihat jumlah tersebut maka sulit sekali mengingkari
kesimpulan bahwa Yogyakarta sangat strategis untuk dijadilkan lahan investasi,
utamanya investasi yang berkaitan dengan pendidikan dan pariwisata.
Berbicara soal investasi yang mendukung kapasitas Yogyakarta
sebagai destinasi pendidikan dan destinasi wisata, tentunya akan ditemukan
banyak konsep bisnis antara lain: kuliner, pelayanan jasa, jual-beli alat
elektronik-pendidikan, property, hoby, dll. Semua jenis bisnis tersebut dapat
ditemukan dengan mudah di Yogyakarta, sehingga tak sulit untuk memetakan laju
perkembangan bisnis tersebut. Meski sempat terhenti dan lesu karena bencana
erupsi Gunung Merapi, laju bisnis di Yogyakarta kembali kondusif pasca bencana tersebut.[4]
Rupanya bencana erupsi Gunung Merapi menjadi satu titik tolak tersendiri bagi
pelaku bisnis di Yogyakarta, baik itu bisnis kuliner maupun bisnis-bisnis lain
seperti properti. Pasca erupsi Gunung Merapi harga-harga komoditi pangan dan
komoditi properti di Yogyakarta sungguh liar tak menentu, dimana pasar tak
terkendali karena kebutuhan dan perasaan traumatik warga lokal. Harga bahan
pangan, utamanya ternak turun hingga mencapai 50 % dari harga normal[5].
Sedangkat harga komoditi properti, utamanya lahan, anjlok hingga sulit
mendapatkan pembeli. Situasi itulah kemudian yang dibaca dengan baik oleh
banyak pengusaha yang merupakan “alumni” Yogyakarta. Dengan situasi harga bahan
pangan yang tak stabil pada waktu itu, pemerintah dengan sigap telah mengendalikannya.
Sedangkan ketidakstabilan harga komoditi properti pada waktu itu membawa kisah
tersendiri hingga sekarang.
Harga lahan yang anjlok karena perasaan traumatik warga
terdampak erupsi Merapi pada waktu itu (akhir tahun 2010) disambut dengan baik
oleh para investor. Para investor berbondong-bondong membelanjakan modalnya
untuk menabung lahan di Yogyakarta. Geliat investasi yang pada saat itu belum
terbaca oleh banyak orang awam tentunya telah terlihat hasilnya saat ini. Apa
yang dismpaikan diatas bukan isapan jempol semata, terbukti dengan menjulangnya
tower kondotel & apartemen Mataram City yang dirintis sejak tahun 2010. Tak
bisa dipungkiri bahwa dengan kemunculan Mataram City ke langit Yogyakarta,
menjadikan Yogyakarta saat ini sebagai kota yang sedang tumbuh dan berkembang
dengan investasi propertinya. Para investor sangat percaya dengan daya beli
masyarakat yang berada di Yogyakarta, terbukti dengan terus menjulangnya
tower-tower hotel dan apartemen di Yogyakarta. Sempat ramai dengan penolakan lewat
jargon “Jogja ora di dol” , “Jogja asat”, tapi geliat investasi properti di
Yogyakarta tetap bergerak terus hingga sekarang. Dengan jumlah mahasiswa dan
wisatawan yang terus bertambah tiap tahunnya, bisnis properti kiranya sulit
untuk surut. Apalagi ditambah dengan kebijakan Wakil Presiden JK yang
mengutarakan bahwa Indonesia akan membangun 1000 tower apartemen untuk
dijadikan pola hunian baru bagi masyarakat.[6]
Hal-hal tersebut semakin membuktikan bahwa pola investasi properti di
Yogyakarta saat ini tengah mengarah kepada hunian vertikal, baik hotel
(condotel), apartemen maupun perkantoran. Dengan tidak memandang sebelah mata
pada perkembangan bisnis rumah tapak, hunian vertikal memberikan warna baru
bagi dinamika investasi properti di Yogyakarta.
Sempat terbuai dengan cepatnya laju pertumbuhan hotel dan
apartemen di Yogyakarta, akhirnya pemerintah selaku regulator-pun sadar akan
tugas dan kewajibannya. Sejak akhir tahun 2013, pemerintah Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Sleman mulai menyiapkan regulasi terkait dengan perkembangan hotel
dan apartemen di Yogyakarta secara umum. Hal tersebut sesuai amanat
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, dimana Pemerintah Daerah
wajib membuat aturan tentang rumah susun di daerah.[7]
Sejak pertama kali melakukan diskusi dan pengayaan materi muatan Peraturan
Perundang-undangan tentang rumah susun bersama tenaga ahli bidang rumah susun[8],
hingga saat ini pemerintah daerah (Sleman & Yogyakarta) belum juga
merampukan dan mengesahkan Peraturan Perundang-undangan tentang rumah susun
tersebut. Padahal jika dibandingkan dengan situasi terkini dilapangan, telah
banyak bangunan apartemen dan hotel berdiri yang memerlukan payung hukum yang
jelas. Payung hukum dalam bentuk Perda maupun Perkada tersebut tak hanya
penting bagi kelangsungan investasi di Yogyakarta, namun juga demi menjaga dan
melindungi konsumen properti di Yogyakarta. Bayangkan saja ketika tower-tower
yang telah berdiri dan dihuni tersebut tidak memiliki payung hukum (aturan
rusun, aturan lingkungan, aturan keamanan, aturan SLF, aturan jual-beli, pajak
& retribusi, dll) yang jelas, sehingga riskan untuk dapat terjadi masalah.
Jangan sampai investasi yang menggeliat di Yogyakarta hanya kesemuan saja yang
menunggu untuk meledak bak bom waktu.
Pemerintah selaku regulator memang terkesan sangat berhati-hati
sekaligus “takut” dalam menyusun materi muatan perda maupun perkada tentang
rumah susun tersebut. Hal itu terlihat jelas dari waktu yang dibutuhkan untuk
menyusun perda dan perkada tersebut, dimana proses tersebut telah berjalan
selama 1,5 tahun. Pemerintah daerah memang mengalami situasi sulit dimana belum
adanya satu kesepahaman atas konsep aturan yang akan dibuat dimana pengertian
akan hunian vertikal (rumah susun) itu sendiri mengalami distorsi dengan pengertian
hunian vertikal yang menjadi program pemerintah. Selain masalah batasan
pengertian dan cakupan aturannya, pemerintah dalam menyusun perda dan perkada
tersebut juga terbelenggu oleh ketentuan UU No. 20 /2011 pasal 16 ayat (2).[9]
Sehingga ketika para pelaku usaha meminta petunjuk teknis dan administratif
kepada pemerintah, jawaban yang diperoleh tidak memuaskan. Sebagai efek domino
atas situasi tersebut, konsumen-pun mengalami kerugian karena tidak adanya
kepastian hukum atas apa yang mereka beli.[10]
Belakangan, dengan semakin jelas dan cepatnya progresifitas
pembangunan hotel dan apartemen di Yogyakarta, pemerintah daerah juga telah
semakin gencar untuk kembali membahas materi muatan perda dan perkada tentang
rumah susun tersebut. Secara umum materi muatan perda dan perkada tidak lagi
memiliki substansi yang perlu diubah atau dikhawatirkan menimbulkan penafsiran
yang salah. Hanya saja yang masih menjadi ganjalan sekaligus mungkin akan
ditolak oleh investor adalah ketentuan Pasal 16 ayat (2) sebagaimana disebutkan
sebelumnya. Jika tidak ada aral melintang maka tak lama lagi aturan tersebut
akan memberikan payung hukum bagi pihak-pihak yang terlibat didalam dinamika
investasi properti bertingkat di Yogyakarta saat ini. Artinya kelak aturan
tersebut akan menjamin proses perizinan-pembangunan-penjualan-kelengkapan
syarat administratif-serah terima-operasional berjalan dengan baik sesuai
koridor hukum yang ada.
[1] Disampaikan dalam “Diskusi Pengayaan Isu Perkotaan” bagi
staf pembela umum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, 25 Februari 2015, di
Yogyakarta.
[2] Penulis adalah Konsultan Rumah
Susun (DUAZ Property) dan Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum
Politik & Pemerintahan), lembaga yang dipercaya menyusun Rancangan
Peraturan Daerah (perda) dan Peraturan Kepala Daerah(perkada) Kota Yogyakarta, Kabupaten
Sleman, Kota Surabaya Tentang Rumah Susun.
[3] http://yogyakarta.bps.go.id/index.php?r=site/page&view=sosduk.tabel.4-1-19 , diakses pada hari Senin
tanggal 23 Februari 2015.
[4]
http://bisnisukm.com/geliat-bisnis-di-jogja-pasca-letusan-merapi.html
, diakses pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015.
[5] http://ilmu-perpustakaan.blogspot.com/2011/12/dampak-letusan-gunung-merapi-terhadap.html
, diakses pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015.
[6]
http://jabar.tribunnews.com/2014/08/28/jusuf-kalla-ingin-lanjutkan-program-1000-tower-untuk-rakyat-miskin
, diakses pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015.
[7] Sesuai dengan amanat Pasal 28
hingga pasal 34 UU No. 20/2011 yang tersimpul dalam isi pasal 33 UU tersebut :
“Pasal 33 : Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan izin rencana fungsi dan
pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 serta permohonan izin
pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
diatur dengan peraturan daerah.”
[8] Berdasarkan hasil diskusi dan
pengayaan materi muatan oleh penulis dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten.
[9] Pasal 16 ayat
(2) UU No. 20/2011 : Pelaku pembangunan rumah susun komersial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya
20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang
dibangun.
[10] Pemerintah daerah melalui Kepala
Daerah memiliki kewajiban untuk mengesahkan dokumen rumah susun (persetujuan
SLF, akta pertelaan, akta pemisahan, Akta pendirian Perhimpunan Pemilik dan
Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS), AD & ART PPPSRS) sebagai syarat
terbitnya sertifikat hak milik stuan rumah susun (SHMSRS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar