Rabu, 04 Maret 2015

Dinamika Perkembangan Hunian Vertikal Di Yogyakarta

Dinamika Perkembangan Hunian Vertikal
Di Yogyakarta[1]
Oleh. Muhammad Zaki Mubarrak, SH., MH.[2]


 Dengan sejarah panjang dalam bidang pendidikan dan pariwisata, Yogyakarta selalu saja menjadi daerah yang eksotis dengan banyak pengharapan yang bisa diperjuangkan bagi para “alumni” kota itu. Sejarah membuktikan bahwa para “alumni” itu selalu saja ingin kembali ke Yogyakarta yang menjanjikan banyak hal, termasuk investasi. Banyak sekali ditemukan bahwa mahasiswa di Yogyakarta telah gemar berbisnis sejak masih mahasiswa, sehingga ketika mereka menjadi alumni maka mereka berhasrat kembali mengulangi bisnis lama mereka di Yogyakarta dengan semangat dan kekuatan yang baru tentunya. Sebagai destinasi pendidikan dan destinasi wisata, Yogyakarta tentunya memiliki jumlah konsumen yang tinggi terhadap bidang ekonomi apapun. Data menunjukan bahwa pada tahun 2012-2013 jumlah mahasiswa baru di Perguruan Tinggi (PT) Negeri saja sudah mencapai angka 7000 jiwa[3], dimana jumlah tersebut belum termasuk jumlah mahasiswa di PT swasta dan jumlah mahasiswa lama. Jika melihat jumlah tersebut maka sulit sekali mengingkari kesimpulan bahwa Yogyakarta sangat strategis untuk dijadilkan lahan investasi, utamanya investasi yang berkaitan dengan pendidikan dan pariwisata.

Berbicara soal investasi yang mendukung kapasitas Yogyakarta sebagai destinasi pendidikan dan destinasi wisata, tentunya akan ditemukan banyak konsep bisnis antara lain: kuliner, pelayanan jasa, jual-beli alat elektronik-pendidikan, property, hoby, dll. Semua jenis bisnis tersebut dapat ditemukan dengan mudah di Yogyakarta, sehingga tak sulit untuk memetakan laju perkembangan bisnis tersebut. Meski sempat terhenti dan lesu karena bencana erupsi Gunung Merapi, laju bisnis di Yogyakarta kembali kondusif pasca bencana tersebut.[4] Rupanya bencana erupsi Gunung Merapi menjadi satu titik tolak tersendiri bagi pelaku bisnis di Yogyakarta, baik itu bisnis kuliner maupun bisnis-bisnis lain seperti properti. Pasca erupsi Gunung Merapi harga-harga komoditi pangan dan komoditi properti di Yogyakarta sungguh liar tak menentu, dimana pasar tak terkendali karena kebutuhan dan perasaan traumatik warga lokal. Harga bahan pangan, utamanya ternak turun hingga mencapai 50 % dari harga normal[5]. Sedangkat harga komoditi properti, utamanya lahan, anjlok hingga sulit mendapatkan pembeli. Situasi itulah kemudian yang dibaca dengan baik oleh banyak pengusaha yang merupakan “alumni” Yogyakarta. Dengan situasi harga bahan pangan yang tak stabil pada waktu itu, pemerintah dengan sigap telah mengendalikannya. Sedangkan ketidakstabilan harga komoditi properti pada waktu itu membawa kisah tersendiri hingga sekarang.

Harga lahan yang anjlok karena perasaan traumatik warga terdampak erupsi Merapi pada waktu itu (akhir tahun 2010) disambut dengan baik oleh para investor. Para investor berbondong-bondong membelanjakan modalnya untuk menabung lahan di Yogyakarta. Geliat investasi yang pada saat itu belum terbaca oleh banyak orang awam tentunya telah terlihat hasilnya saat ini. Apa yang dismpaikan diatas bukan isapan jempol semata, terbukti dengan menjulangnya tower kondotel & apartemen Mataram City yang dirintis sejak tahun 2010. Tak bisa dipungkiri bahwa dengan kemunculan Mataram City ke langit Yogyakarta, menjadikan Yogyakarta saat ini sebagai kota yang sedang tumbuh dan berkembang dengan investasi propertinya. Para investor sangat percaya dengan daya beli masyarakat yang berada di Yogyakarta, terbukti dengan terus menjulangnya tower-tower hotel dan apartemen di Yogyakarta. Sempat ramai dengan penolakan lewat jargon “Jogja ora di dol” , “Jogja asat”, tapi geliat investasi properti di Yogyakarta tetap bergerak terus hingga sekarang. Dengan jumlah mahasiswa dan wisatawan yang terus bertambah tiap tahunnya, bisnis properti kiranya sulit untuk surut. Apalagi ditambah dengan kebijakan Wakil Presiden JK yang mengutarakan bahwa Indonesia akan membangun 1000 tower apartemen untuk dijadikan pola hunian baru bagi masyarakat.[6] Hal-hal tersebut semakin membuktikan bahwa pola investasi properti di Yogyakarta saat ini tengah mengarah kepada hunian vertikal, baik hotel (condotel), apartemen maupun perkantoran. Dengan tidak memandang sebelah mata pada perkembangan bisnis rumah tapak, hunian vertikal memberikan warna baru bagi dinamika investasi properti di Yogyakarta.

Sempat terbuai dengan cepatnya laju pertumbuhan hotel dan apartemen di Yogyakarta, akhirnya pemerintah selaku regulator-pun sadar akan tugas dan kewajibannya. Sejak akhir tahun 2013, pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman mulai menyiapkan regulasi terkait dengan perkembangan hotel dan apartemen di Yogyakarta secara umum. Hal tersebut sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, dimana Pemerintah Daerah wajib membuat aturan tentang rumah susun di daerah.[7] Sejak pertama kali melakukan diskusi dan pengayaan materi muatan Peraturan Perundang-undangan tentang rumah susun bersama tenaga ahli bidang rumah susun[8], hingga saat ini pemerintah daerah (Sleman & Yogyakarta) belum juga merampukan dan mengesahkan Peraturan Perundang-undangan tentang rumah susun tersebut. Padahal jika dibandingkan dengan situasi terkini dilapangan, telah banyak bangunan apartemen dan hotel berdiri yang memerlukan payung hukum yang jelas. Payung hukum dalam bentuk Perda maupun Perkada tersebut tak hanya penting bagi kelangsungan investasi di Yogyakarta, namun juga demi menjaga dan melindungi konsumen properti di Yogyakarta. Bayangkan saja ketika tower-tower yang telah berdiri dan dihuni tersebut tidak memiliki payung hukum (aturan rusun, aturan lingkungan, aturan keamanan, aturan SLF, aturan jual-beli, pajak & retribusi, dll) yang jelas, sehingga riskan untuk dapat terjadi masalah. Jangan sampai investasi yang menggeliat di Yogyakarta hanya kesemuan saja yang menunggu untuk meledak bak bom waktu.

Pemerintah selaku regulator memang terkesan sangat berhati-hati sekaligus “takut” dalam menyusun materi muatan perda maupun perkada tentang rumah susun tersebut. Hal itu terlihat jelas dari waktu yang dibutuhkan untuk menyusun perda dan perkada tersebut, dimana proses tersebut telah berjalan selama 1,5 tahun. Pemerintah daerah memang mengalami situasi sulit dimana belum adanya satu kesepahaman atas konsep aturan yang akan dibuat dimana pengertian akan hunian vertikal (rumah susun) itu sendiri mengalami distorsi dengan pengertian hunian vertikal yang menjadi program pemerintah. Selain masalah batasan pengertian dan cakupan aturannya, pemerintah dalam menyusun perda dan perkada tersebut juga terbelenggu oleh ketentuan UU No. 20 /2011 pasal 16 ayat (2).[9] Sehingga ketika para pelaku usaha meminta petunjuk teknis dan administratif kepada pemerintah, jawaban yang diperoleh tidak memuaskan. Sebagai efek domino atas situasi tersebut, konsumen-pun mengalami kerugian karena tidak adanya kepastian hukum atas apa yang mereka beli.[10]

Belakangan, dengan semakin jelas dan cepatnya progresifitas pembangunan hotel dan apartemen di Yogyakarta, pemerintah daerah juga telah semakin gencar untuk kembali membahas materi muatan perda dan perkada tentang rumah susun tersebut. Secara umum materi muatan perda dan perkada tidak lagi memiliki substansi yang perlu diubah atau dikhawatirkan menimbulkan penafsiran yang salah. Hanya saja yang masih menjadi ganjalan sekaligus mungkin akan ditolak oleh investor adalah ketentuan Pasal 16 ayat (2) sebagaimana disebutkan sebelumnya. Jika tidak ada aral melintang maka tak lama lagi aturan tersebut akan memberikan payung hukum bagi pihak-pihak yang terlibat didalam dinamika investasi properti bertingkat di Yogyakarta saat ini. Artinya kelak aturan tersebut akan menjamin proses perizinan-pembangunan-penjualan-kelengkapan syarat administratif-serah terima-operasional berjalan dengan baik sesuai koridor hukum yang ada.





[1] Disampaikan dalam “Diskusi Pengayaan Isu Perkotaan” bagi staf pembela umum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, 25 Februari 2015, di Yogyakarta.
[2] Penulis adalah Konsultan Rumah Susun (DUAZ Property) dan Direktur Eksekutif Estungkara (Lembaga Kajian Hukum Politik & Pemerintahan), lembaga yang dipercaya menyusun Rancangan Peraturan Daerah (perda) dan Peraturan Kepala Daerah(perkada) Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kota Surabaya Tentang Rumah Susun.
[3] http://yogyakarta.bps.go.id/index.php?r=site/page&view=sosduk.tabel.4-1-19 , diakses pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015.
[4] http://bisnisukm.com/geliat-bisnis-di-jogja-pasca-letusan-merapi.html , diakses pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015.
[7] Sesuai dengan amanat Pasal 28 hingga pasal 34 UU No. 20/2011 yang tersimpul dalam isi pasal 33 UU tersebut : “Pasal 33 : Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan izin rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 serta permohonan izin pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 diatur dengan peraturan daerah.”
[8] Berdasarkan hasil diskusi dan pengayaan materi muatan oleh penulis dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten.
[9] Pasal 16 ayat (2) UU No. 20/2011 : Pelaku pembangunan rumah susun komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.
[10] Pemerintah daerah melalui Kepala Daerah memiliki kewajiban untuk mengesahkan dokumen rumah susun (persetujuan SLF, akta pertelaan, akta pemisahan, Akta pendirian Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS), AD & ART PPPSRS) sebagai syarat terbitnya sertifikat hak milik stuan rumah susun (SHMSRS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar