(dulu) Merdeka atau Mati!!! (sekarang) Merdeka dan Matii.....
Bulan Agustus menjadi bulan yang penuh suka cita bagi bangsa Indonesia. Melalui proses yang panjang dan melelahkan, Agustus menjadi bulan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dwitunggal Soekarno-Hatta di bulan Agustus pada tanggal 17 tahun 1945 atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Keringat dan darah dikucurkan demi daulatnya ibu pertiwi, Soedirman memimpin perang gerilya walau kondisi fisik melemah. Kartini, Dewi Sartika memperjuangkan hak-hak perempuan yang selalu dianggap terbelakang. Kapiten Pattimura, Sultan Hasanuddin, Christina Martha Tiahahu, Frans Kaisiepo, dengan lantang menyuarakan kobaran semangat Indonesia dari timur. Barat ke Timur, Utara ke Selatan, tiap jengkal wilayah dipertaruhkan dengan nyawa. Sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan para putra ibu pertiwi rela menumpahkan darahnya demi tegaknya merah putih. Pahlawan Revolusi, Pahlawan Reformasi, merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan sekedar merdeka biasa, tapi harapan merdeka sesungguhnya.
Ketika era 60-an hingga 90-an, semangat dan jiwa patriotisme putra-putri ibu pertiwi dengan mudah ditemukan. Nilai-nilai kepahlawanan muncul dengan idealisme nasionalis yang kuat. Berbondong-bondong orang akan mendengarkan dengan seksama pidato Soekarno di radio, terik panas bukan halangan untuk sekedar melihat sang bapak bangsa. Pasca Soekarno menjabatpun, nilai-nilai kepahlawanan dan jiwa nasionalisme tetap saja terkekang dalam sanubari, bioskop keliling dan televisi umum dikerumuni oleh banyak warga yang ingin sekedar menonton film-film perjuangan. Judul-judul seperti: Enam Djam di Djogja (1951), Anak-Anak Revolusi (1964), Janur Kuning (1979), Serangan Fajar (1981) merupakan cerita sederhana yang dapat dengan cepat memainkan imajinasi nyata sikap nasionalis para putra-putri pertiwi. Selepas film-film yang mengimajikan para putra-putri pertiwi, era 90-an masih mampu membendung arus liberalis yang individualis dengan lomba-lomba yang tak kalah nasionalis-nya dibanding imajinasi film tersebut. Bendera merah putih masih mampu membuat tiap putra-putri pertiwi menantikan Agustus sebagai bulannya kemerdekaan. Bahkan nasionlisme di era 90-an tak hanya sebatas Agustus yang membahana merah, namun juga pada peringatan-peringatan seperti G-30 S - PKI, Hari pahlawan 10 November, Hari Kartini 21 April, dll. Hampir semua tanggal bersejarah mampu kembali mengimajikan alam pikiran para putra-putri pertiwi kedalam semangat nasionalis.
Arus perubahan yang semakin meluas seakan tak mampu lagi dibendung oleh jiwa-jiwa patriot yang nasionalis. Kebobrokan moral mulai merasuki para pemimpin bangsa yang tadinya juga kuat nasionalismenya. Atas nama kepentingan pribadi, golongan dan bahkan keluarganya, harta bangsa dikeruk, rakyat dibodohi dengan surga kemakmuran yang ternyata hanya fatamorgana. Terungkap bahwa "negara digadaikan atas nama pembanguan". Gerbong orde baru yang menganggap orde lama tak layak lagi memimpin kemudian digusur oleh orde reformasi yang katanya menjanjikan sesuatu yang lebih baik. Habibie "disingkirkan" dan mulailah era reformasi menjadi pahlawan baru.
Sejak ditumbangkannya penguasa orde baru pada Mei 1998, Reformasi memberikan banyak perubahan. Termasuk perubahan karakter bangsa yang mulai lepas dari polanya. Bangsa ini menjadi lebih tidak sabaran dan agresif. Secara struktural ketatanegaraan mungkin reformasi memberikan dampak yang cukup signifikan bagi Republik Indonesia. Lembaga negara mengalami reposisi yang cukup tajam, beberapa lembaga baru dibentuk sebagai amanat konstitusi. Kecenderungan executive heavy turun drastis menjadi legislative heavy dan birokrasipun ikut-ikutan berubah. Namun kemudian mari perhatikan sudut lainnya dari pergerakan gerbong reformasi ini. Semangat reformasi yang oleh para tokohnya diharapkan dapat diterima dan diteruskan dengan baik oleh para putra-putri bangsa justru membuat bangsa ini tampak lebih liberal dan individualis. Bangsa ini justru terkoyak-koyak oleh kebebasan yang tercipta pasca reformasi.
Kemiskinan Moral yang melahirkan Kemiskinan Intelektual
Pasca reformasi keadaan bangsa ini semakin tercabik-cabik oleh sesuatu yang bernama kebebasan dan hak asasi. Setiap individu merasa bebas dan memiliki hak asasi yang wajib dihormati tanpa merasa bahwa ada aturan atas itu semua. Tiap individu merasa bahwa haknya adalah hak yang paling asasi dan wajib dihormati, walaupun hak asasinya itu berjalan diatas perut-perut yang lapar. Kebebasan yang dimiliki tiap individu saat ini adalah kebabsan mutlak yang harus dijaga oleh setiap orang lainnya, walaupun kebebasan itu berada didepan penjara-penjara kehidupan individu lainnya. Perasaan miskin atas material dan kesejahteraan bukan merupakan masalah yang perlu dipecahkan oleh pemimpin bangsa ini. Negara ini pasca reformasi mengalami perubahan yang sangat drastis pada sisi moralitas kebangsaan. Rasa nasionalisme terkikis oleh kebebasan itu sendiri. Perut yang lapar masih bisa menahan teriknya sinar liberalisme, kerongkongan kering rela tidak menerima kebebasan yang ditawarkan jika kebebasan itu berdiri di atas kebebasan orang lain. Ketika moralitas bangsa ini mulai miskin maka kemiskinan lain akan segera menimpa putra-putri pertiwi. Kemiskinan Moral akan berimbas pada kemiskinan intelektual. Para kaya dan para cerdas lupa bahwa walau ditangan kanan dan kirinya bertabur kekayaan dan kecerdasan, mereka masih memiliki kaki untuk melangkah pada sesuatu yang baik.
Para kaya lupa bahwa masih banyak langkah yang bisa dilakukan untuk mengisi perut-perut yang kelaparan, bukan justru menyumpal mulat penguasa dengan uang halanya yang kemudian menjadi haram dan busuk. Para cerdas cendikia lupa bahwa diluar kepalanya masih banyak kaum-kaum tak terdidik yang kepalanya kosong tak terisi oleh kecerdasan karena si cerdas hanya berusaha mencari kekayaan haram dengan kecerdasannya. Kemiskinan Moral dan Kemiskinan Intelektual yang terjadi di bangsa ini tak luput dari rasa patriotik dan jiwa nasionalis yang mulai luntur bahkan terhapus. Nasionalisme menjadi barang tak membanggakan, yang membanggakan adalah ketika anak 5 tahun dianggap cerdas ketika mampu bicara mother, father, i love you, i love america. Patriotisme dianggap tidak gaul dan tidak berkonsep kekinian ketika yang gaul dan kekinian itu adalah Ironman, Spyderman, dan Superman tidak ada lagi kisah teriakan lantang Bung Tomo, putra-putri pertiwi lupa siapa Ayam Jantan dari Timur, bahkan mungkin banyak yang tak lagi tau mengapa ada sebutan Si Jalak Harupat. Ironis, nilai-nilai kebangsaan dan nasionalis tak bernilai lagi dan gejala kemisminan moral yang pada akhirnya berujung pada kemiskinan intelektual telah akut pada bangsa ini.

