Senin, 05 Agustus 2013

Budaya Mudik, Mudik Budaya...

Budaya Mudik, Mudik Budaya...


     Ramadhan 1434 H telah hinggap diujung bulan, aroma lebaran makin terasa manis dipelupuk mata. Geliat para penikmat ramadhan tampak khusuk di setiap hening masjid. Hingar bingar kebersamaan muncul dijalanan seiring dengan perasaan was-was para penunggu kampung halaman. Mudik, sebuah hajatan besar yang sulit ditinggalkan dalam tradisi lebaran Indonesia. Mudik menjadi sesuatu yang harus bahkan hampir menjadi wajib hukumnya bagi mayoritas perantau. Belumlah terasa lebaran jika dalam perantauan si perantau belum pulang kekampung halaman dan membawa aroma kesuksesan. Mudik menjadi sebuah rutinitas tahunan yang banyak menghabiskan energi namun juga menciptakan geliat emosinal tersendiri. Jalanan penuh sesak dengan rombongan kereta besi yang seakan diburu oleh raungan kerinduang kampung halaman.
    
     Masih banyak perdebatan dan penelitian soal definisi dan sejarah mudik. ada yang bilang bahwa mudik itu berasal dari kata udik yang artinya kampungan, adalagi yang menyampaikan bahwa mudik itu berasal dari bahasa betawi, yang memfilosofikan pada hulu-dan hilir. Sebagian orang juga mendefinisikan mudik dalam kata yang berasal dari bahasa Arab. Dalam terminologi bahasa Arab mudik dapat didefinisikan dalam 3 buah pengertian yang masing-masing memiliki makna sendiri-sendiri namun tetap berkesimpulan satu. 

     Mudik dari akar kata “ adhoo-a” yang berarti “ yang memberikan cahaya atau menerangi”, ini bisa dipahami dengan mudah, bahwa mereka para pemudik itu secara khusus memberikan ‘cahaya’ atau menerangi kampung-kampung halaman mereka. 

     Mudik dari akar kata “ Adhoo-‘a”, yang berarti “ yang menghilangkan “, slanjutnya, mudik berasal dari bahasa arab yang berarti : orang yang menghilangkan. Hal ini juga akan mudah kita tangkap, bahwa mereka pemudik itu adalah orang-orang perantauan yang dipenuhi beban perasaan kerinduan, dan kesedihan karena jauh dari orangtua, keluarga atau kampung halamannya. Karenanya mereka melakukan aktifitas mudik , dalam rangka ‘menghilangkan’ semua kesedihan tersebut.

     Mudik dari akar kata “ adzaa-qo” yang berarti “ yang merasakan atau mencicipi “, orang yang mudik ke kampung halaman pastilah mereka yang ingin kembali ‘merasakan dan mencicipi’ suasana kampung tempat kelahiran. Akhirnya, istilah mudik dari manapun asalnya, sesungguhnya tetap bisa kita perluas dan selami maknanya dari ‘versi’ padanan kata bahasa arabnya.

     Apapun definisi dan sejarah yang kemudian menjadi dasar mudik, tradisi mudik telah lama dan lekat dalam darah daging budaya lebaran Indonesia. Mudik bukan lagi sekadar kerinduang akan kampung halaman namun telah menjadi budaya yang sulit ditinggalkan. Saking sulitnya mudik ditinggalkan atau diubah untuk sebuah hal yang modern, setiap perantau rela mempersiapkan mudiknya berbulan-bulan bahkan setahun sebelumnya. Resiko apapun ditempuh, seorang pemudik asal Malang bahkan melakukan budaya mudik ini dengan menggunakan becak untuk mencapai tujuan Semarang. Dimuat dalam republika.co.id tanggal 3/08/2013, Tony (34 tahun) mudik dari malang menuju semarang dengan menggunakan becak. Dapat dibayangkan bagaimana mudik menjadi sebuah tradisi (budaya) yang sangat melekat dan sulit ditinggalkan bagi masyarakat Indonesia. Resiko apapun yang muncul menjadi pertaruhan yang seakan sebanding dengan apa yang akan didapat oleh si pemudik di kampung halaman. 

     Salah satu contoh dari pemudik asal Malang tersebut sesungguhnya dapat dijadikan sebagai representasi bahwa mudik telah menjadi budaya nasional yang seharusnya dapat dikelola dengan baik. Resiko celaka dijalan, biaya tinggi, energi fisik yang terkuras dianggap sebanding dengan nuansa kampung halaman dan berkumpulnya keluarga. Resiko tersebut bukan hanya arus datang saja namun juga resiko yang mungkin muncul pada arus balik. Resiko pertama tetap sama, yaitu pada tataran resiko celaka, resiko biaya dan resiko energi namun juga termasuk resiko gegar budaya.

     Resiko gegar budaya  jelas termasuk dalam salah satu resiko yang muncul dalam setiap perhelatan mudik di Indonesia. Kedatangan para perantau yang membawa cerita sukses menjadi sebuah fatamorgana yang menyejukan bagi sanak famili di kampung halaman. Jika ingin sukses maka merantaulah, dan jika ingin merantau ya kekota besar. Cerita sukses yang terkadang bersifat fatamorgana menjadikan budaya mudik memiliki sebuah idiom baru yang tercipta, yaitu "mudik budaya". Ketika si perantau membawa "cerita suksesnya" kekampung halaman dan cerita itu menawarkan sebuah kefatamorganaan impian. Para penghuni kampung halaman yang seharusnya-pun bisa kreatif dikampung halaman jadi berubah haluan untuk ikiut-ikutan mengadu nasib (menyesaki kota). Para pribumi kehilangan semangatnya sebagi penerus kepribumian setiap kampung yang disinggahi pemudik. Kampung nelayan berubah menjadi kampung perantau, kampung tani berubah jadi kampung perantau.

     Keberadaan para kampungisme dirusak oleh cerita fatamorgana kotaisme dan kampung kehilangan budayanya. Ketika budaya mudik menciptakan mudik budaya dan berhulu pada masyarakat yang kotaisme. Seakan kesuksesan hanya tgersedia pada kota-kota rantau yang belum jelas kebenarannya. Petani teladan yang mengharapkan keturunanannya menjadi ahli tani dikampung berubah menjadi buruh tani di kota sebagai akibat dari cerita sukses yang masih fatamorgana. Kemudian terus berlanjut dan berantai sehingga tumpukan penduduk pribumi inim skill di kota menumpuk dan kembali mudik budaya memberikan hasilnya. Budaya mudik seharusnya dapat menjadi budaya yang baik ketika memang cerita yang muncul bukan fatamorgana kesuksesan. Ketika memang semua pemudik menjalani kisah mudiknya dengan apa adanya, bukan dengan kisah "kesuksesan" yang kosong. Sehingga pribumi yang berkwalitas tetap menjadi berkwalitas di buminya, tidak malah mandul akibat kotaisme. Mudah-mudahan tradisi (budaya) mudik tahun ini dapat memberi banyak pencerahan yang benar-benar cerah bagi keluarga kita dirumah. Selamat mudik dan jangan lupa berhati-hati dijalan, kampung halaman kita tetap disana dan tak usah terburu-buru meraihnya. Minal Aidzin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar