Jumat, 15 November 2013

MK tetap berwibawa, Moralitaslah yang tak terjaga....

     Mahkamah Konstitusi (MK) sempat menjadi kebanggaan banyak rakyat Indonesia dalam keteguhannya menjaga dan mempertahankan integritasnya secara kelembagaan maupun person per personnya. Sifat dan sikap kenegarawanan setiap hakimnya membuat decak kagum insan pencari keadilan, bahkan sempat jadi bahan lelucon bahwa Hakim MK sudah tidak doyan duit alias malaikat KW 1. Sungguh situasi yang membanggakan dan mengharukan ditengah carut marutnya moral pemimpin bangsa ini. Hal tersebut sungguh menjadi sisa-sisa keindahan bangsa ini selain keindahan alamnya. Sampai akhirnya MK dipimpin oleh Akil Mochtar yang diharapkan mampu kembali mengibarkan kebanggan rakyat atas idealismenya. Fiat Justitia Ruat Caelum.
     
     Namun apa yang diharapkan jauh dari keberhasilan, beberapa bulan menjabat, Akil diciduk oleh KPK di rumah dinasnya. Rumah Jabatan yang seharusnya bebas dari bau busuk kecurangan jadi tempat transaksi yang tak sepantasnya. MK yang seharusnya mampu menjadi role model dan menularkan kelebihannya kepada lembaga lain malah terjerembab dalam kubangan korupsi. Sang ketua, ketua yang biasa memutuskan final dan mengikat tak mampu menolak gemericik rupiah. Akil menerima suap dari orang yang berperkara di MK. Banyak komentator berkicau bahwa "MK runtuh", "ini gara-gara latar belakang si ketua adalah politisi/advokat". Tidak ada yang salah dari komentar itu, namun hanya seharusnya kita perlu mawas diri. Bersyukur sudah ada yang berani menangkap, selanjutnya mari kita tajamkan pengawasan kita kepada MK dan lembaga-lembaga lainnya.

     Beberapa waktu pasca bombastisnya penangkapan Akil, kemudian sang wakil Ketua MK, Hamdan Zoelva dilantik untuk menjadi Ketua MK menggantikan Akil yang bermoral buruk. Harapan kembali menggelora ditengah keterpurukan citra MK, apalagi sang Ketua baru menjanjikan bahwa beberapa bulan saja MK akan kembali kepada situasi semula. Kemantapan harapan itu kembali runtuh dan berujung pada kekecewaan pada Kamis, 14 November 2013. Sidang MK yang terhormat dan langsung dipimpin oleh Ketua MK rusuh dan kacau. Para pengunjung sidang tidak terima dengan putusan yang ada. Hakim-hakim MK dikejar dan ruang sidang diobrak-abrik. Sungguh memalukan, setelah Akil yang memalukan bangsa secara Kepemimpinan maka kali ini kejadian dihari Kamis tersebut kembali memalukan bangsa secara kelembagaan dan kenegaraan. Rumah negara, yang seharusnya steril dan aman dikacaukan oleh segelintir orang tak bertanggung jawab sehingga terjadi aksi anarkis. Banyak komentator berkicau bahwa kejadian tersebut akibat wibawa MK runtuh, namun bagi penulis kejadian tersebut bukan soal wibawa MK yang runtuh namun justru soal masyarakat yang tidak siap berdemokrasi dan berperilaku hukum secara baik serta pihak keamanan yang kecolongan. MK tetap pada wibawanya, MK tetap terhormat, oknum-oknum itu saja yang berperilaku tidak terhormat dan polisi yang tidak sigap. Dalam hal ini kecenderungan pemicunya adalah oknum yang tidak sadar akan ketimurannya dan dasar moralitas kebangsaannya. Lupakan soal polisi yang selalu beralasan soal prosedur tetap pengamanan dan protokoler. Sampai kapanpun yang namanya polisi sulit untuk berjiwa besar mengakui bahwa mereka kecolongan, intinya hal tersebut sudah prosedural.

     Kejadian di dalam proses persidangan MK tersebut sungguh memalukan dan dapat secara kasat mata dikategorikan sebagai "contempt of court" atau perlawanan/penghinaan terhadap kekuasaan peradilan. Sungguh ironi dalam sebuah negara hukum dimana lembaga peradilannya dilecehkan dirumahnya sendiri. Di Indonesia "contempt of court" pertama kali dikenal dalam Undang-Undang no. 14/1985 tentang Mahkamah Agung. Sekali lagi dapat dikatakan bahwa kejadian di gedung MK tersebut bukan soal tidak adanya kewibawaan MK namun justru oknum yang bersidanglah yang tidak bisa menghargai kewibawaan lembaga peradilan. Kejadian tersebut jelas merupakan kategori "contempt of court" dimana peradilan dilecehkan, yang pada akhirnya dapat menjadi auto kritik kepada bangsa ini. Janganlah para komentator berkomentar soal wibawa peradilan sementara para oknum pengacara, oknum pengajar, oknum petugas negara masih saja membuka peluang untuk serong. Para komentator yang notabene adalah pengajar tersebut seharusnya ikut bertanggung jawab atas rusaknya moralitas para oknum tersebut. Lewat komentar-komentar sinisnya, para komentator tersebut seharusnya juga bisa dikategorikan sebagai "contempt of court" dimana komentator-komentator tersebut kadang sering melecehkan hakim dan lembaga peradilan yang mulia dengan komentar-komentarnya. Di beberapa negara, diantaranya Amerika dan Inggris "contempt of court" telah menjadi isu yang sensitif sejak lama, namun dibangsa ini "contempt of court" masih saja dibahas dan dibahas tanpa tau ujungnya (masih dalam RUU). Inggris telah membuat "contempt of court act"  pada tahun 1981. sehingga pendefinisian dan klasifikasi "contempt of court" telah jelas sehingga lembaga peradilan telah sangat menjadi lembaga yang agung. Sehingga masyarakat memiliki kewajiban untuk menghargai peradilan tanpa ada alasan pembantah.

     Di Indonesia "contempt of court" masih secara umum diatur dalam KUHP yaitu dalam pasal 207, 217, 224. Memang belum ada aturan yang khusus untuk konten "contempt of court". Sehingga perilaku amoril terhadap lembaga peradilan masih saja sering terjadi, apalagi saat ini media telah sangat cepat berkembang. Adanya media sosial seperti Twitter, Facebook, Path, dll., seharusnya dapat menjadi pendorong atas lahirnya aturan khusus yang mengatur soal "contempt of court". Sehingga bukan lagi lembaga peradilannya yang dianggap tak berwibawa namun sebaliknya masyarakatlah seharusnya yang mampu menempatkan diri dalam setiap situasi dan keadaan. Maka MK bukan tidak berwibawa namun kitalah yang seharusnya mengintrospeksi diri kita, sudahkah kita secara benar menempatkan hukum sebagai panglima, meletakan moralitas sebagai dasar berperilaku. Bangsa yang besar tidak hanya mampu menghargai masa lalunya namun juga harus memiliki visi yang jelas untuk masa depan bangsanya sendiri. Menghargai peradilan, meletakan hukum dijalurnya dan mendasari perilaku dengan moralitas adalah pribadi aseli bangsa yang wajib dibangun. Bukan saja #saveMK atau #saveKPK namun justru keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukumlah seharusnya yang diselamatkan. #savejustice



Tidak ada komentar:

Posting Komentar