Jumat, 05 April 2013

DALAM MARAHNYA IA MENGAJARI KAMI


DALAM MARAHNYA IA MENGAJARI KAMI

      Suatu pagi dalam balutan usia 25 tahun, ketika pagi itu saya sedang bersiap menuju tempat saya belajar bekerja, Bapak (biasa kami memanggilnya begitu) mengajak saya berbicara dan membahas soal persiapan pernikahan saya. Duduk saya diseberang beliau dengan diskusi ringan seputar persiapan saya menikah di bulan 6. Obrolan ringan seputar undangan dan persiapan awal pernikahan menjadi obrolan pembuka. Tensi obrolan meningkat dan dalam angan saya telah terbesit bahwa obrolan ini berpotensi mengarah kepada obrolan dengan gejolak emosi dan egoisme yang tinggi. Benar saja, alur obrolan itu berujung pada perdebatan antara anak dan Bapaknya. Gelora muda saya selalu berusaha mencari titik lemah Bapak untuk akhirnya saya debat. Sedangkan Bapak, dengan gaya khas temperamen nya, mengeluarkan arahan-arahannya.
          
        Saya dengan egoisme dan gelora muda saya bertahan dan membela diri habis-habisan, lalu kemudian Bapak dengan ciri khas tempramen yang cepat naik, mulai marah dan berakhir pada ucupan yang bagi saya cukup membuat saya gemetar. Saat itu jiwa muda saya tidak terima dan ingin “melawan”, saya meneteskan air mata sejadi-jadinya. Mama datang menenangkan saya dan memberi minum saya. Mereda air mata dan rasa berontak diri saya. Setelah ketenangan menyelimuti dir saya, kemudian saya bersiap untuk menuju kantor dengan membersihkan wajah sebelumnya. Dijalanan rupanya gejolak pemberontak saya belum mereda, terbukti dengan 3 orang kakak saya menjadi tempat saya mengadu. Semua mendengarkan dengan seksama, harapan saya semua akan membela saya dalam pemberontakan ini. Pembelaan memang saya dapatkan dari ketiga kakak saya tersebut, namun belakangan yang membuat saya tersenyum justru bukan pembelaan tersebut.

          “Rasanya sudah cukup Bapak dan Mama mengerti dan memahami kita ketika kita berlarian, menangis dan ngompol di sembarang tempat, sekarang saatnya kita yang memahami dan mengerti Bapak dan Mama”. Ini kalimat dahsyat yang saya terima hari itu, tersenyum haru saya menerima kalimat itu. Sampai dikantor saya ambil wudlu dan tunaikan sholat dhuha dengan harapan dapat lebih tenang. Dalam renungan saya setelah sholat dhuha, saya berfikir bahwa sungguh dahsyat cara Allah mendidik umatnya. Terkadang kita dididik dengan begitu kerasnya (oleh Allah SWt), sehingga tak sanggup rasanya fikiran dan fisik ini menerimanya. Namun di sudut lainnya, Allah memberikan pengetahuan dan pemahaman dengan halus, dengan memberi Bapak yang pemarah dan mau menang sendiri. Pada hari itu, dalam marahnya saya belajar. Belajar memahami jengkal demi jengkal pesan Allah melalui karya Bapak. Kalimat dahsyat tadi jelas bisa keluar karena kakak saya telah terlebih dahulu memahami ilmu dalam marahnya Bapak. Sebuah ilmu yang juga sering Bapak ajarkan pada saya. “Lihat satu titik dari berbagai sudut --- Lihat suatu sudut dari berbagai titik”. Itu ajaran Bapak saya yang sering saya sebarluaskan ke teman-teman.


         Sungguh saking emosionalnya saya pagi itu sehingga lupa akan sudut lainnya kemarahan Bapak. Dalam banyak kesempatan lain, Bapak juga sering marah. Beberapa kemarahan Bapak akan saya coba ceritakan di tulisan ini. Dijalanan misalnya, Bapak sering marah soal tidak tertibnya pengguna jalan raya. Kadang mama sering sewot dengan ocehan Bapak itu, tapi perhatikan sudut lainnya, Bapak mendidik kami soal ketertiban dan disiplin. Hebat kan Bapak, ada pesan dari sudut lainnya marah Bapak.

      Sudut lainnya marahnya Bapak adalah ketika saya masih kecil, sering saya sewot ketika disuruh nganterin mama ke pasar. Kenapa saya sewot? Saya sewot karena pastinya dipasar itu becek dan setelah pulang dari pasar, saya masih kebagian membersihkan ikan/udang/daging/sayuran hasil belanja dipasar tadi. Semakin jengkel adalah ketika sudah tu hasil belanjaan saya bersihkan, eh masih juga dimarahin Bapak soal belum beresnya kerjaan saya. Selalu saja ada yang kurang dimata Bapak. Sungguh menjengkelkan, namun perhatikan sudut lainnya marah Bapak, dicerita itu Bapak mendidik kami untuk menjadi anak yang serba bisa, walau laki-laki, kami tidak boleh alergi pasar, laki-laki itu harus bisa mengerjakan apa yang dikerjakan perempuan. Begitu juga perempuan, harus bisa mengerjakan mayoritas pekerjaan laki-laki. Bapak mempersiapkan kami menjadi anak-anak tangguh.

        Bapak itu menurut salah seorang sesepuh kampungnya di Palak Bengkerung, seorang yang sangat peduli dengan pendidikan. Ini cerita soal proses kuliah saya, Bapak sampai kekampus demi membuktikan laporan-laporan progress kuliah saya. Di kampus saya kena marah lagi karena dianggap berbohong dan mengecewakan bapak. Dalam perjalanan pulang Bapak marah besar dan sewot ke saya soal kuliah saya. Pembelaan saya waktu itu adalah bahwa saya ini aktivis dan punya skill lain, sedangkan ijazah itu formalitas. Perhatikan sudut lainnya dari marahnya Bapak di cerita ini, Bapak memberikan pelajaran bahwa memang skill dan pergaulan itu penting, tapi mengejar skill  dan pergaulan dengan mengorbankan pendidikan formal dan waktu bukanlah hal yang pantas diperbandingkan. Raih semuanya dalam batasan waktu dan kamu akan menjadi pribadi yang unggul nak. Begitulah pesan bapak dalam banyak kesempatan. Sekali lagi, perhatikan sudut lainnya.

       Terakhir saja, untuk mempersingkat sudut lainnya kemarahan bapak, adalah daya juang. Saya sering menyelesaikan pekerjaan rumah bersama bapak. Dalam proses itu sangat sering kami berdua berdebat dan ujung-ujungnya jelas, saya kena marah dan dianggap kebanyakan bicara. Ada suatu ketika saya menganggap bahwa pekerjaan rumah tersebut adalah hal yang mustahil untuk bisa diselesaikan. Sehingga beberapa kali saya debat dengan Bapak. Ujung-ujungnya jelas sekali, bahwa saya kena marah dan sampai disuruh tidak usah membantu jika tidak ikhlas. Ibarat tawaran bonus berlipat, segera sya terima usiran itu untuk selanjutnya saya keluar kerumah teman saya. Sore, saya pulang kerumah, apa yang saya dapati, pekerjaan yang tadi saya anggap mustahil selesai, oleh Bapak terselesaikan dan hebatnya Bapak sendiri menyelesaikannya. Saya sih cuek saja terhadap kejadian itu, tapi coba perhatikan sudut lainnya dan pesan yang ada didalamnya. Dalam marahnya Bapak mengajari kami untuk tidak mudah menyerah. Satu lagi ungkapan bapak yang tajam dalam tegak dalam diri saya “Jika suatu urusan itu masih menjadi urusan manusia maka perjuangkanlah sampai akhir, namun jika urusan itu sudah menjadi domain dari malaikat maka berdoalah memohon bantuan Allah”. Sudut lainnya dalam cerita tersebut adalah soal daya juang dan daya doa kami.

       Sungguh dalam marahnya ia mengajari kami. Sungguh sudut lainnya dari marah Bapak menginspirasi kami. Sedikit cerita saja mengenai sudut lainnya Bapak, karena tak lama lagi juga saya akan menjadi Suami/Bapak (mau nikah euy). Saya akan memulai untuk mengaplikasikan apa yang secara langsung dan tak langsung telah Bapak ajarkan. Menjadi suami, menjadi Bapak dan menjadi Inspirasi bagi lingkungannya. Sudut lainnya Bapak tentu ada negatifnya, namun biarlah itu menjadi milik Bapak. Masih banyak sudut lainnya dari Bapak, jika ada waktu nanti biar saya bukukan (harapan Bapak nih buat punya biografi yang ditulis anaknya..hehehe)  Next saya akan berbicara soal sudut lainnya dari Mama (judul buat mama : Dengan kesederhanaannya Ia memberi kami “Kekayaan”) dan sudut lainnya Bapak+Mama (berdua). 

1 komentar:

  1. Ini finishing yang tertinggal :
    Marah dalam sudut lainnya adalah :
    M : Mempersiapkan
    A : Anak
    R : Raih
    A : Asa
    H : Hidup

    BalasHapus