DALAM MARAHNYA IA
MENGAJARI KAMI
Suatu
pagi dalam balutan usia 25 tahun, ketika pagi itu saya sedang bersiap menuju
tempat saya belajar bekerja, Bapak (biasa kami memanggilnya begitu) mengajak
saya berbicara dan membahas soal persiapan pernikahan saya. Duduk saya
diseberang beliau dengan diskusi ringan seputar persiapan saya menikah di bulan
6. Obrolan ringan seputar undangan dan persiapan awal pernikahan menjadi
obrolan pembuka. Tensi obrolan meningkat dan dalam angan saya telah terbesit
bahwa obrolan ini berpotensi mengarah kepada obrolan dengan gejolak emosi dan
egoisme yang tinggi. Benar saja, alur obrolan itu berujung pada perdebatan
antara anak dan Bapaknya. Gelora muda saya selalu berusaha mencari titik lemah Bapak
untuk akhirnya saya debat. Sedangkan Bapak, dengan gaya khas temperamen nya,
mengeluarkan arahan-arahannya.
Saya
dengan egoisme dan gelora muda saya bertahan dan membela diri habis-habisan,
lalu kemudian Bapak dengan ciri khas tempramen yang cepat naik, mulai marah dan
berakhir pada ucupan yang bagi saya cukup membuat saya gemetar. Saat itu jiwa
muda saya tidak terima dan ingin “melawan”, saya meneteskan air mata
sejadi-jadinya. Mama datang menenangkan saya dan memberi minum saya. Mereda air
mata dan rasa berontak diri saya. Setelah ketenangan menyelimuti dir saya,
kemudian saya bersiap untuk menuju kantor dengan membersihkan wajah sebelumnya.
Dijalanan rupanya gejolak pemberontak saya belum mereda, terbukti dengan 3
orang kakak saya menjadi tempat saya mengadu. Semua mendengarkan dengan
seksama, harapan saya semua akan membela saya dalam pemberontakan ini.
Pembelaan memang saya dapatkan dari ketiga kakak saya tersebut, namun
belakangan yang membuat saya tersenyum justru bukan pembelaan tersebut.
“Rasanya
sudah cukup Bapak dan Mama mengerti dan memahami kita ketika kita berlarian,
menangis dan ngompol di sembarang tempat, sekarang saatnya kita yang memahami
dan mengerti Bapak dan Mama”. Ini kalimat dahsyat yang saya terima hari itu,
tersenyum haru saya menerima kalimat itu. Sampai dikantor saya ambil wudlu dan
tunaikan sholat dhuha dengan harapan dapat lebih tenang. Dalam renungan saya
setelah sholat dhuha, saya berfikir bahwa sungguh dahsyat cara Allah mendidik
umatnya. Terkadang kita dididik dengan begitu kerasnya (oleh Allah SWt),
sehingga tak sanggup rasanya fikiran dan fisik ini menerimanya. Namun di sudut
lainnya, Allah memberikan pengetahuan dan pemahaman dengan halus, dengan
memberi Bapak yang pemarah dan mau menang sendiri. Pada hari itu, dalam
marahnya saya belajar. Belajar memahami jengkal demi jengkal pesan Allah
melalui karya Bapak. Kalimat dahsyat tadi jelas bisa keluar karena kakak saya
telah terlebih dahulu memahami ilmu dalam marahnya Bapak. Sebuah ilmu yang juga
sering Bapak ajarkan pada saya. “Lihat satu titik dari berbagai sudut --- Lihat
suatu sudut dari berbagai titik”. Itu ajaran Bapak saya yang sering saya
sebarluaskan ke teman-teman.
Sungguh
saking emosionalnya saya pagi itu sehingga lupa akan sudut lainnya kemarahan Bapak.
Dalam banyak kesempatan lain, Bapak juga sering marah. Beberapa kemarahan Bapak
akan saya coba ceritakan di tulisan ini. Dijalanan misalnya, Bapak sering marah
soal tidak tertibnya pengguna jalan raya. Kadang mama sering sewot dengan
ocehan Bapak itu, tapi perhatikan sudut lainnya, Bapak mendidik kami soal
ketertiban dan disiplin. Hebat kan Bapak, ada pesan dari sudut lainnya marah Bapak.
Sudut
lainnya marahnya Bapak adalah ketika saya masih kecil, sering saya sewot ketika
disuruh nganterin mama ke pasar. Kenapa saya sewot? Saya sewot karena pastinya
dipasar itu becek dan setelah pulang dari pasar, saya masih kebagian
membersihkan ikan/udang/daging/sayuran hasil belanja dipasar tadi. Semakin
jengkel adalah ketika sudah tu hasil belanjaan saya bersihkan, eh masih juga
dimarahin Bapak soal belum beresnya kerjaan saya. Selalu saja ada yang kurang
dimata Bapak. Sungguh menjengkelkan, namun perhatikan sudut lainnya marah Bapak,
dicerita itu Bapak mendidik kami untuk menjadi anak yang serba bisa, walau
laki-laki, kami tidak boleh alergi pasar, laki-laki itu harus bisa mengerjakan
apa yang dikerjakan perempuan. Begitu juga perempuan, harus bisa mengerjakan
mayoritas pekerjaan laki-laki. Bapak mempersiapkan kami menjadi anak-anak
tangguh.
Bapak
itu menurut salah seorang sesepuh kampungnya di Palak Bengkerung, seorang yang
sangat peduli dengan pendidikan. Ini cerita soal proses kuliah saya, Bapak
sampai kekampus demi membuktikan laporan-laporan progress kuliah saya. Di kampus saya kena marah lagi karena
dianggap berbohong dan mengecewakan bapak. Dalam perjalanan pulang Bapak marah
besar dan sewot ke saya soal kuliah saya. Pembelaan saya waktu itu adalah bahwa
saya ini aktivis dan punya skill lain,
sedangkan ijazah itu formalitas. Perhatikan sudut lainnya dari marahnya Bapak
di cerita ini, Bapak memberikan pelajaran bahwa memang skill dan pergaulan itu penting, tapi mengejar skill dan pergaulan dengan
mengorbankan pendidikan formal dan waktu bukanlah hal yang pantas
diperbandingkan. Raih semuanya dalam batasan waktu dan kamu akan menjadi
pribadi yang unggul nak. Begitulah pesan bapak dalam banyak kesempatan. Sekali lagi,
perhatikan sudut lainnya.
Terakhir
saja, untuk mempersingkat sudut lainnya kemarahan bapak, adalah daya juang. Saya
sering menyelesaikan pekerjaan rumah bersama bapak. Dalam proses itu sangat
sering kami berdua berdebat dan ujung-ujungnya jelas, saya kena marah dan
dianggap kebanyakan bicara. Ada suatu ketika saya menganggap bahwa pekerjaan
rumah tersebut adalah hal yang mustahil untuk bisa diselesaikan. Sehingga beberapa
kali saya debat dengan Bapak. Ujung-ujungnya jelas sekali, bahwa saya kena
marah dan sampai disuruh tidak usah membantu jika tidak ikhlas. Ibarat tawaran
bonus berlipat, segera sya terima usiran itu untuk selanjutnya saya keluar
kerumah teman saya. Sore, saya pulang kerumah, apa yang saya dapati, pekerjaan
yang tadi saya anggap mustahil selesai, oleh Bapak terselesaikan dan hebatnya
Bapak sendiri menyelesaikannya. Saya sih cuek saja terhadap kejadian itu, tapi
coba perhatikan sudut lainnya dan pesan yang ada didalamnya. Dalam marahnya
Bapak mengajari kami untuk tidak mudah menyerah. Satu lagi ungkapan bapak yang
tajam dalam tegak dalam diri saya “Jika suatu urusan itu masih menjadi urusan
manusia maka perjuangkanlah sampai akhir, namun jika urusan itu sudah menjadi
domain dari malaikat maka berdoalah memohon bantuan Allah”. Sudut lainnya dalam
cerita tersebut adalah soal daya juang dan daya doa kami.
Sungguh
dalam marahnya ia mengajari kami. Sungguh sudut lainnya dari marah Bapak
menginspirasi kami. Sedikit cerita saja mengenai sudut lainnya Bapak, karena
tak lama lagi juga saya akan menjadi Suami/Bapak (mau nikah euy). Saya akan
memulai untuk mengaplikasikan apa yang secara langsung dan tak langsung telah
Bapak ajarkan. Menjadi suami, menjadi Bapak dan menjadi Inspirasi bagi
lingkungannya. Sudut lainnya Bapak tentu ada negatifnya, namun biarlah itu
menjadi milik Bapak. Masih banyak sudut lainnya dari Bapak, jika ada waktu
nanti biar saya bukukan (harapan Bapak nih buat punya biografi yang ditulis
anaknya..hehehe) Next saya akan berbicara soal sudut lainnya dari Mama (judul buat
mama : Dengan kesederhanaannya Ia memberi kami “Kekayaan”) dan sudut lainnya
Bapak+Mama (berdua).
Ini finishing yang tertinggal :
BalasHapusMarah dalam sudut lainnya adalah :
M : Mempersiapkan
A : Anak
R : Raih
A : Asa
H : Hidup