Senin, 08 April 2013

TNI-POLRI dan PEMILU yang Gagal




TNI-POLRI dan PEMILU yang Gagal
Oleh : Muhammad Zaki Mubarrak, SH.


            Suhu politik nasional meningkat pada tahun 2013, dimana tahun itu ditasbihkan sebagai tahun politik. Bukan saja karena banyaknya PEMILUKADA didaerah-daerah, namun juga disebabkan oleh eskalasi politik 2014 yang sudah mulai meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari mulai banyaknya “dagangan politik” di televisi oleh Parpol dan tokoh-tokoh yang mendeklarasikankan dirinya menjadi capres. Panasnya suhu politik 2013 bukan hanya karena waktu pelaksanaan semakin dekat namun juga disebabkan oleh kursi panas yang akan ditinggalkan oleh SBY. Secara konstitusional SBY akan melepaskan jabatanya pada 2014. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada Pasal 7 yang berbunyi : Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.  Maka apabila pada 2009 SBY dan Boediono dilantik pada tanggal 20 Oktober 2009, secara konstitusional, hari terakhir SBY dan Boediono menjabat adalah pada tanggal yang sama ditahun 2014. Itu hitungan matematis yang memang tidak secara riil ditulis dalam konstitusi. Namun dapat dipahami secara sederhana oleh semua kalangan.
            Melihat PEMILU 2014 dari sudut pandang konstitusi maka kesimpulan yang akan mengemuka adalah kesimpulan yang sederhana, dimana ketika seorang Presiden telah 2 periode menjabat maka ia akan secara otomatis tidak bisa lagi mencalonkan diri.  Namun PEMILU 2014 nampak sexy dari sudut lainnya, yaitu sudut pandang dinamika politik dan dinamika hukumnya. Dalam dinamika politik, PEMILU 2014 menjadi ajang tarung yang menarik, dimana kesempatan terbuka bagi setiap tokoh parpol untuk mencalonkan diri sebagai Presiden periode 2014 – 2019 sekaligus dapat menghancurkan hegemoni Demokrat 10 tahunan ini. Hingar bingar politik tersebut tidak dapat lepas dari gagalnya SBY mempersiapkan kader penggantinya serta badai kasus korupsi yang menerpa Demokrat. Peluang tersebut menjadi sangat manis dengan dibarengi situasi tidak mengenakan Partai Demokrat. Anas urbaningrum turun tahta dan badai berubah menjadi tsunami dima Demokrat harus bertaruh dengan meletakkan SBY sebagi ketua umumnya.
            Pembahasan ini bukan soal badai atau tsunami demokrat, namun justru soal PEMILU 2014 dan dinamika yang menyelimutinya. Dinamika politik PEMILU 2014 sangat jelas bisa disimpulkan secara sederhana, dimana PEMILU 2014 adalah kompetisi meraih simpati antara banyak tokoh parpol. Sebut saja ARB, HR, YIM, Prabowo Subianto, Megawati, JK dan nama-nama lain yang secara serius ataupun main-main sudah mendeklarasikan dirinya menjadi calon Presiden. Sudah berapa saja iklan ARB di televisi, lalu juga HR, kemudian Prabowo, tentu hal itu menjadi dinamika tersendiri bagi dunia politik ditahu politik 2013 ini. Namun sudut lainnya hegemoni politik 2014 bukan hanya dinamika politik ditahun 2013 tapi juga soal dinamika hukumnya. Sebagai akibat dari lebarnya peluang setiap tokoh mencalonkan diri menjadi capres 2014, maka peluang konflikpun menjadi lebar pula. Baik konflik yang mempengaruhi masa dan basis politik maupun konflik secara intelektual. Berkaca dari kejadian di daerah dimana banyaknya gugatan calon yang gagal menang Pilkada ke MK maka 2014 tentu akan memberi cerita tersendiri. Efek yang muncul dari banyaknya gugatan terhadap hasil-hasil Pilkada adalah molornya waktu pelantikan calon-calon yang menang sehingga hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum.
            Jika direfleksikan pada PEMILU 2014, maka peluang untuk terjadinya ketidakpastian hukum di PEMILU 2014 juga cukup besar. Dimulai dari molornya persiapan-persiapan PEMILU sampai pada kekacauan yang mungkin muncul sebagai akibat dari peluang yang besar bagi setiap calon dari partai tadi, yaitu tidak adanya kesepakatan dari para calon terhadap waktu persiapan, data pemilih, proses pemilihan sampai kepada hasil PEMILU. Hal-hal tersebut dapat berakibat pada molornya PEMILU hingga PEMILU yang tidak mendapatkan pemenang karena masing-masing memiliki data kecurangan. Molornya waktu dan gagalnya memperoleh pemenang PEMILU berakibat pada hal lain yang justru lebih penting dan memiliki urgensi yang darurat yaitu mundurnya pelantikan presiden. Disampaikan sebelumnya bahwa secara konstitusional Presiden RI saat ini memiliki masa jabatan sampai 20 Oktober 2014, sehingga sebelum tanggal tersebut seharusnya telah ada Capres terpilih dan segera dilantik oleh MPR. Namun jika proses persiapan dan pelaksanaan PEMILU berlarut-larut dan hanya mengedepankan kepentingan setiap partai maka niscaya kemungkinan mundur akan menjadi nyata dan negara ini berada dalam situasi yang sulit. Negara ini terancam berada dalam situasi “vacum of power” dimana penguasa eksekutif (Presiden) lama telah turun sesuai amanat konstitusi namun penguasa eksekutif baru belum dimiliki.
            Jika yang dipakai adalah dasar secara konstitusional maka MPR tidak memiliki hak untuk memperpanjang masa tugas penguasa eksekutif lama, dimana saat ini, tugas MPR hanya terbatas pada 3 bidang saja, yaitu :
(1)   Berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
(2)   Melantik Presiden dan Wakil Presiden.
(3)   Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden menurut undang-undang.
Sangat jelas bunyi pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa tidak ada kewenangan MPR memperpanjang jabatan Presiden, sehingga ancaman vacum of power semakin jelas didepan mata. Vacum of power dikatakan mengancam didepan mata karena jelas secara konstitusional Presiden berhenti dan kabinet sebagai pembantu presiden jelas akan ikut berhenti karena bagaimana mungkin pembantu bisa bertahan jika bosnya saja telah tidak diakui alias kosong. Pada 20 Oktober 2014 semua akan berhenti dan tidak dapat bertindak apapun secara konstitusional, sehingga konsep triumvirat (Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negerei, Menteri Pertahanan)  menurut pasal 8 ayat (3) UUD NRI tahun 1945 mentah dengan sendirinya. Situasi jelas, Indonesia berada dalam kekosongan penguasa ketatanegaraan dan tidak ada aturan yang jelas dan kongkrit dalam kontitusi yang mengakomodir situasi ini. Menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra ini adalah situasi darurat konstitusi.

Jika kemudian situasi tersebut memang benar terjadi, bagaimana solusinya? Secara konstitusional jelas tidak ada solusinya, bisa saja sih Presiden mengeluarkan Dekrit seperti yang dilakukan oleh Presiden Sukarno dengan Dekrit Presiden Juli 1959, namun resikonya sangat besar dan hitung-hitungan politiknya harus jelas (menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra). Jika dulu dalam SOB (Staat van Orlog en Beleg)/Undang-Undang situasi darurat, apabila negara dalam keadaan darurat maka yang dapat mengambil alih kekuasaan adalah militer. Namun dengan pengalaman 32 tahun dipimpin rezim Militer mungkinkah rakyat bisa menerimanya?
Dalam hemat saya ada 2 kemungkinan yang mungkin bisa menjadi solusi keadaan tersebut, pertama adalah kemungkinan Militer Menerapkan Kudeta Damai dalam situsi tersebut. Militer dalam sebuah negara, khususnya negara RI, memiliki sejarah perjalan panjang terkait kedekatan militer dan dinamika politik hukum. Memang terkesan menyeramkan jika mendengar kata kudeta militer, seakan-akan disana ada pertumpahan darah. Namun justru tidak seseram yang terbayangkan, militer dapat saja mengkudeta pemerintahan yang kosong itu dengan menerapkan kudeta putih dimana menurut Samuel P. Huntington (ditulis dalam http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/03/31/kudeta-%E2%80%9Cno-way%E2%80%9D/) ada tiga kategori kudeta: (1) Breakthrough coup d’etat, (2) Guardian coup d’etat, dan (3) Veto coup d’etat. Jenis kudeta pertama, kudeta total, paling khas/tipikal, yaitu klik militer melancarkan operasi bersenjata merebut kekuasaan dengan cara menghancurkan pusat kekuasaan rezim, khususnya istana. Pelaku biasanya perwira-perwira muda berpangkat mayor sampai kolonel dengan jabatan-kalau di Indonesia–Komandan Divisi, atau Batalyon. Kudeta total terjadi di Mesir pada 1952, Turki 1960, Libia 1969, Portugal 1974. Di Amerika Latin, pada kurun waktu 1950-1980-an, kudeta jenis ini silih berganti menjadi fenomena politik keseharian.
Kudeta jenis kedua lebih “santun”, sebab para pelakunya tidak bertujuan menjadi penguasa, tetapi semata-mata merespons kekecewaan rakyat terhadap situasi bangsa dan negara. Mereka dipaksa bertindak untuk mengembalikan ketertiban umum, kesejahteraan rakyat, dan memberantas korupsi. Setelah kudeta, biasanya tidak ada perubahan radikal terhadap struktur kekuasaan. Para pemimpinnya biasanya mengklaim bahwa mereka hanya sementara memegang tampuk kekuasaan. Setelah ada pemimpin baru yang dipilih secara demokratis, mereka siap mundur. Contoh paling gamblang adalah kudeta militer terhadap pemerintahan Thaksin pada 2006. Kudeta tanpa satu pun peluru meletus ini langsung mendapat restu dari Raja. Para Jenderal pelaku kudeta pun berjanji segera melangsungkan pemilu untuk memilih pemimpin baru. Kudeta veto, menurut Huntington, adalah gerakan militer untuk melawan kekuasaan sipil, melawan keputusan rakyat yang sebenarnya diambil melalui mekanisme demokrasi yang konstitusional. Contohnya, kudeta militer di Cile 1973. Salvador Allende sesungguhnya pemimpin yang secara sah dipilih rakyatnya. Hanya karena Allende dituding hendak membawa Cile ke “kiri” dan militer Cile termasuk “antek barat“ maka militer akhirnya menjatuhkan pemerintahan Allende. Kudeta jenis ketiga ini juga kerap diwarnai pertumpahan darah. Militer dengan segala kekuatannya memberangus dengan bengis perlawanan rakyat.
Maka jelas bila akhirnya Militer ingin menyelamatkan situasi bangsa maka militer dapat melakukan kudeta jenis kedua menurut Samuel P. Huntington, dimana militer melakukannya dengan santun sampai dengan Presiden dan Wakil Presiden yang baru dilantik oleh MPR dan/atau paling tidak terbentuk aturan baru menyoal situasi tersebut dan kemudian Militer menyerahkan kembali kekuasaan pemerintahan negara secara konstitusional kepada Penguasa Eksekutif.

Kemungkinan kedua menurut hemat saya adalah menggunakan teori Trias Politika dima kekuasaan negara harus tetap dibagi-bagi dan tidak boleh adanya satu lembaga yang memegang 2 bidang kekuasaan negara. Maksudnya adalah jika Presiden dan Wakil Presiden secara konstitusional berhalangan tetap dan triumvirat tidak pada posisinya maka DPR maupun MA+MK jangan sampai menjadi pelaksana tugas kepresidenan. Sebab jika hal tersebut terjadi maka Negara Indonesia justru mengingkari apa yang dianutnya selama ini yaitu soal pemisahan kekuasaan dalam bernegara. Dengan situasi tersebut maka kita perlu kembali mencermati situasi dan posisi keseluruhan penguasa eksekutif. Jika tadi masalahnya soal PEMILU yang gagal maka secar konstitusional, Presiden beserta jajaranya akan menjadi non aktif (berhalangan tetap termasuk konsep triumvirat (pasal 8 UUD NRI tahun 1945). Ini yang menjadi menarik, ditengah carut marut aturan itu, ternyata masih ada penguasa atau bagian dari eksekutif yang tertinggal dan tidak mengikuti berhentinya Presiden secara konstitusional. Bagian dari yang tersisa itu adala Panglima TNI dan Polisi, dimana aturan soal purna tugasnya kedua jabatan itu adalah mengikuti usia pensiun, bukan mengikuti Kabinet. Coba perhatikan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang POLRI dan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 usia pensiun anggota Polisi 58 tahun atau dapat ditambah 2 tahun jika diperlukan dan dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 usia pensiun seorang perwira adalah 58 tahun. Hal tersebut berarti bahwa Panglima TNI dan KAPOLRI bisa saja dan sangat mungkin menjadi penguasa eksekutif yang tersisa. Jika dilihat dari kedudukan, peran dan fungsinya maka Panglima TNI dan KAPOLRI (secara intitusi TNI dan POLRI) memiliki kedekatan dalam setiap pergolakan politik, seperti pada situasi pemberontakan PKI dan dekrit Presiden juli 1959. Maka jika atas nama menyelamatkan bangsa, rakyat bisa saja menerima situasi tersebut dan mendukung keberadaan TNI dan POLRI untuk melaksanakan tugas kepresidenan. Dengan menempatkan urusan Dalam dan Luar negeri pada KAPOLRI dan urusan Pertahanan pad Panglima TNI maka niscaya situasi vacum of power bisa dihindari dan gagalnya pemilu teratasi secara inkonstitusional namun duterima oleh rakyat. (Penulis sangat berharap kritik dan saran terhadap tulisan ini, apabila terdapat hal yang salah maka mohon dapat segera dikritik kepada penulis).
*Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum UGM*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar