TNI-POLRI dan PEMILU yang Gagal
Oleh : Muhammad Zaki Mubarrak, SH.
Suhu
politik nasional meningkat pada tahun 2013, dimana tahun itu ditasbihkan
sebagai tahun politik. Bukan saja karena banyaknya PEMILUKADA didaerah-daerah,
namun juga disebabkan oleh eskalasi politik 2014 yang sudah mulai meningkat. Hal
tersebut dapat dilihat dari mulai banyaknya “dagangan politik” di televisi oleh
Parpol dan tokoh-tokoh yang mendeklarasikankan dirinya menjadi capres. Panasnya
suhu politik 2013 bukan hanya karena waktu pelaksanaan semakin dekat namun juga
disebabkan oleh kursi panas yang akan ditinggalkan oleh SBY. Secara
konstitusional SBY akan melepaskan jabatanya pada 2014. Sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada Pasal 7 yang berbunyi :
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan. Maka apabila pada 2009 SBY dan
Boediono dilantik pada tanggal 20 Oktober 2009, secara konstitusional, hari
terakhir SBY dan Boediono menjabat adalah pada tanggal yang sama ditahun 2014. Itu
hitungan matematis yang memang tidak secara riil ditulis dalam konstitusi.
Namun dapat dipahami secara sederhana oleh semua kalangan.
Melihat
PEMILU 2014 dari sudut pandang konstitusi maka kesimpulan yang akan mengemuka
adalah kesimpulan yang sederhana, dimana ketika seorang Presiden telah 2
periode menjabat maka ia akan secara otomatis tidak bisa lagi mencalonkan diri.
Namun PEMILU 2014 nampak sexy dari sudut
lainnya, yaitu sudut pandang dinamika politik dan dinamika hukumnya. Dalam dinamika
politik, PEMILU 2014 menjadi ajang tarung yang menarik, dimana kesempatan
terbuka bagi setiap tokoh parpol untuk mencalonkan diri sebagai Presiden
periode 2014 – 2019 sekaligus dapat menghancurkan hegemoni Demokrat 10 tahunan
ini. Hingar bingar politik tersebut tidak dapat lepas dari gagalnya SBY
mempersiapkan kader penggantinya serta badai kasus korupsi yang menerpa
Demokrat. Peluang tersebut menjadi sangat manis dengan dibarengi situasi tidak
mengenakan Partai Demokrat. Anas urbaningrum turun tahta dan badai berubah
menjadi tsunami dima Demokrat harus bertaruh dengan meletakkan SBY sebagi ketua
umumnya.
Pembahasan
ini bukan soal badai atau tsunami demokrat, namun justru soal PEMILU 2014 dan
dinamika yang menyelimutinya. Dinamika politik PEMILU 2014 sangat jelas bisa
disimpulkan secara sederhana, dimana PEMILU 2014 adalah kompetisi meraih
simpati antara banyak tokoh parpol. Sebut saja ARB, HR, YIM, Prabowo Subianto,
Megawati, JK dan nama-nama lain yang secara serius ataupun main-main sudah
mendeklarasikan dirinya menjadi calon Presiden. Sudah berapa saja iklan ARB di
televisi, lalu juga HR, kemudian Prabowo, tentu hal itu menjadi dinamika
tersendiri bagi dunia politik ditahu politik 2013 ini. Namun sudut lainnya
hegemoni politik 2014 bukan hanya dinamika politik ditahun 2013 tapi juga soal
dinamika hukumnya. Sebagai akibat dari lebarnya peluang setiap tokoh
mencalonkan diri menjadi capres 2014, maka peluang konflikpun menjadi lebar
pula. Baik konflik yang mempengaruhi masa dan basis politik maupun konflik
secara intelektual. Berkaca dari kejadian di daerah dimana banyaknya gugatan
calon yang gagal menang Pilkada ke MK maka 2014 tentu akan memberi cerita
tersendiri. Efek yang muncul dari banyaknya gugatan terhadap hasil-hasil Pilkada
adalah molornya waktu pelantikan calon-calon yang menang sehingga hal itu
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Jika
direfleksikan pada PEMILU 2014, maka peluang untuk terjadinya ketidakpastian
hukum di PEMILU 2014 juga cukup besar. Dimulai dari molornya
persiapan-persiapan PEMILU sampai pada kekacauan yang mungkin muncul sebagai
akibat dari peluang yang besar bagi setiap calon dari partai tadi, yaitu tidak
adanya kesepakatan dari para calon terhadap waktu persiapan, data pemilih,
proses pemilihan sampai kepada hasil PEMILU. Hal-hal tersebut dapat berakibat
pada molornya PEMILU hingga PEMILU yang tidak mendapatkan pemenang karena
masing-masing memiliki data kecurangan. Molornya waktu dan gagalnya memperoleh
pemenang PEMILU berakibat pada hal lain yang justru lebih penting dan memiliki
urgensi yang darurat yaitu mundurnya pelantikan presiden. Disampaikan
sebelumnya bahwa secara konstitusional Presiden RI saat ini memiliki masa
jabatan sampai 20 Oktober 2014, sehingga sebelum tanggal tersebut seharusnya
telah ada Capres terpilih dan segera dilantik oleh MPR. Namun jika proses
persiapan dan pelaksanaan PEMILU berlarut-larut dan hanya mengedepankan
kepentingan setiap partai maka niscaya kemungkinan mundur akan menjadi nyata
dan negara ini berada dalam situasi yang sulit. Negara ini terancam berada
dalam situasi “vacum of power” dimana penguasa eksekutif (Presiden) lama telah
turun sesuai amanat konstitusi namun penguasa eksekutif baru belum dimiliki.
Jika
yang dipakai adalah dasar secara konstitusional maka MPR tidak memiliki hak
untuk memperpanjang masa tugas penguasa eksekutif lama, dimana saat ini, tugas
MPR hanya terbatas pada 3 bidang saja, yaitu :
(1)
Berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar.
(2)
Melantik Presiden dan Wakil Presiden.
(3)
Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden
menurut undang-undang.
Sangat
jelas bunyi pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa tidak ada kewenangan MPR memperpanjang jabatan Presiden, sehingga ancaman
vacum of power semakin jelas didepan
mata. Vacum of power dikatakan
mengancam didepan mata karena jelas secara konstitusional Presiden berhenti dan
kabinet sebagai pembantu presiden jelas akan ikut berhenti karena bagaimana
mungkin pembantu bisa bertahan jika bosnya saja telah tidak diakui alias
kosong. Pada 20 Oktober 2014 semua akan berhenti dan tidak dapat bertindak
apapun secara konstitusional, sehingga konsep triumvirat (Menteri Luar Negeri,
Menteri Dalam Negerei, Menteri Pertahanan) menurut pasal 8 ayat (3) UUD NRI tahun 1945
mentah dengan sendirinya. Situasi jelas, Indonesia berada dalam kekosongan
penguasa ketatanegaraan dan tidak ada aturan yang jelas dan kongkrit dalam
kontitusi yang mengakomodir situasi ini. Menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
ini adalah situasi darurat konstitusi.
Jika
kemudian situasi tersebut memang benar terjadi, bagaimana solusinya? Secara konstitusional
jelas tidak ada solusinya, bisa saja sih Presiden mengeluarkan Dekrit seperti
yang dilakukan oleh Presiden Sukarno dengan Dekrit Presiden Juli 1959, namun
resikonya sangat besar dan hitung-hitungan politiknya harus jelas (menurut
Prof. Yusril Ihza Mahendra). Jika dulu dalam SOB (Staat van Orlog en Beleg)/Undang-Undang
situasi darurat, apabila negara dalam keadaan darurat maka yang dapat mengambil
alih kekuasaan adalah militer. Namun dengan pengalaman 32 tahun dipimpin rezim
Militer mungkinkah rakyat bisa menerimanya?
Dalam
hemat saya ada 2 kemungkinan yang mungkin bisa menjadi solusi keadaan tersebut,
pertama adalah kemungkinan Militer Menerapkan Kudeta Damai dalam situsi
tersebut. Militer dalam sebuah negara, khususnya negara RI, memiliki sejarah
perjalan panjang terkait kedekatan militer dan dinamika politik hukum. Memang
terkesan menyeramkan jika mendengar kata kudeta militer, seakan-akan disana ada
pertumpahan darah. Namun justru tidak seseram yang terbayangkan, militer dapat
saja mengkudeta pemerintahan yang kosong itu dengan menerapkan kudeta putih
dimana menurut Samuel P. Huntington (ditulis dalam http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/03/31/kudeta-%E2%80%9Cno-way%E2%80%9D/)
ada tiga kategori kudeta: (1) Breakthrough coup d’etat, (2) Guardian coup
d’etat, dan (3) Veto coup d’etat. Jenis kudeta pertama, kudeta total, paling
khas/tipikal, yaitu klik militer melancarkan operasi bersenjata merebut
kekuasaan dengan cara menghancurkan pusat kekuasaan rezim, khususnya istana.
Pelaku biasanya perwira-perwira muda berpangkat mayor sampai kolonel dengan
jabatan-kalau di Indonesia–Komandan Divisi, atau Batalyon. Kudeta total terjadi
di Mesir pada 1952, Turki 1960, Libia 1969, Portugal 1974. Di Amerika Latin,
pada kurun waktu 1950-1980-an, kudeta jenis ini silih berganti menjadi fenomena
politik keseharian.
Kudeta
jenis kedua lebih “santun”, sebab para pelakunya tidak bertujuan menjadi
penguasa, tetapi semata-mata merespons kekecewaan rakyat terhadap situasi
bangsa dan negara. Mereka dipaksa bertindak untuk mengembalikan ketertiban
umum, kesejahteraan rakyat, dan memberantas korupsi. Setelah kudeta, biasanya
tidak ada perubahan radikal terhadap struktur kekuasaan. Para pemimpinnya
biasanya mengklaim bahwa mereka hanya sementara memegang tampuk kekuasaan.
Setelah ada pemimpin baru yang dipilih secara demokratis, mereka siap mundur.
Contoh paling gamblang adalah kudeta militer terhadap pemerintahan Thaksin pada
2006. Kudeta tanpa satu pun peluru meletus ini langsung mendapat restu dari
Raja. Para Jenderal pelaku kudeta pun berjanji segera melangsungkan pemilu untuk
memilih pemimpin baru. Kudeta veto, menurut Huntington, adalah gerakan militer
untuk melawan kekuasaan sipil, melawan keputusan rakyat yang sebenarnya diambil
melalui mekanisme demokrasi yang konstitusional. Contohnya, kudeta militer di
Cile 1973. Salvador Allende sesungguhnya pemimpin yang secara sah dipilih
rakyatnya. Hanya karena Allende dituding hendak membawa Cile ke “kiri” dan
militer Cile termasuk “antek barat“ maka militer akhirnya menjatuhkan
pemerintahan Allende. Kudeta jenis ketiga ini juga kerap diwarnai pertumpahan
darah. Militer dengan segala kekuatannya memberangus dengan bengis perlawanan
rakyat.
Maka
jelas bila akhirnya Militer ingin menyelamatkan situasi bangsa maka militer
dapat melakukan kudeta jenis kedua menurut Samuel P. Huntington, dimana militer
melakukannya dengan santun sampai dengan Presiden dan Wakil Presiden yang baru
dilantik oleh MPR dan/atau paling tidak terbentuk aturan baru menyoal situasi
tersebut dan kemudian Militer menyerahkan kembali kekuasaan pemerintahan negara
secara konstitusional kepada Penguasa Eksekutif.
Kemungkinan
kedua menurut hemat saya adalah menggunakan teori Trias Politika dima kekuasaan
negara harus tetap dibagi-bagi dan tidak boleh adanya satu lembaga yang
memegang 2 bidang kekuasaan negara. Maksudnya adalah jika Presiden dan Wakil
Presiden secara konstitusional berhalangan tetap dan triumvirat tidak pada
posisinya maka DPR maupun MA+MK jangan sampai menjadi pelaksana tugas
kepresidenan. Sebab jika hal tersebut terjadi maka Negara Indonesia justru
mengingkari apa yang dianutnya selama ini yaitu soal pemisahan kekuasaan dalam
bernegara. Dengan situasi tersebut maka kita perlu kembali mencermati situasi
dan posisi keseluruhan penguasa eksekutif. Jika tadi masalahnya soal PEMILU
yang gagal maka secar konstitusional, Presiden beserta jajaranya akan menjadi
non aktif (berhalangan tetap termasuk konsep triumvirat (pasal 8 UUD NRI tahun
1945). Ini yang menjadi menarik, ditengah carut marut aturan itu, ternyata
masih ada penguasa atau bagian dari eksekutif yang tertinggal dan tidak
mengikuti berhentinya Presiden secara konstitusional. Bagian dari yang tersisa
itu adala Panglima TNI dan Polisi, dimana aturan soal purna tugasnya kedua
jabatan itu adalah mengikuti usia pensiun, bukan mengikuti Kabinet. Coba
perhatikan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang POLRI dan Undang-Undang
Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
tahun 2002 usia pensiun anggota Polisi 58 tahun atau dapat ditambah 2 tahun
jika diperlukan dan dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 usia
pensiun seorang perwira adalah 58 tahun. Hal tersebut berarti bahwa Panglima TNI
dan KAPOLRI bisa saja dan sangat mungkin menjadi penguasa eksekutif yang
tersisa. Jika dilihat dari kedudukan, peran dan fungsinya maka Panglima TNI dan
KAPOLRI (secara intitusi TNI dan POLRI) memiliki kedekatan dalam setiap
pergolakan politik, seperti pada situasi pemberontakan PKI dan dekrit Presiden
juli 1959. Maka jika atas nama menyelamatkan bangsa, rakyat bisa saja menerima
situasi tersebut dan mendukung keberadaan TNI dan POLRI untuk melaksanakan
tugas kepresidenan. Dengan menempatkan urusan Dalam dan Luar negeri pada
KAPOLRI dan urusan Pertahanan pad Panglima TNI maka niscaya situasi vacum of power bisa dihindari dan
gagalnya pemilu teratasi secara inkonstitusional namun duterima oleh rakyat. (Penulis
sangat berharap kritik dan saran terhadap tulisan ini, apabila terdapat hal
yang salah maka mohon dapat segera dikritik kepada penulis).
*Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana
Fakultas Hukum UGM*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar