NAIK BOLEH ASAL....

Memang jika ditilik dari lintasan sejarah, kenaikan harga BBM bukan hanya terjadi dimasa SBY berkuasa saja, namun pada periode-periode sebelumnya pun BBM telah beberapa kali dinaikan. Seperti yang tertulis dalam http://nusantaranews.wordpress.com/2008/12/04/28-kali-kenaikan-bbm-sejak-1966/ sejak jatuhnya pemerintahan Soekarno dan masuknya pengaruh kapitalis liberal di era tahun 1967, Pemerintah (Presiden) telah menaikkan harga BBM sebanyak 28 kali dalam kurun waktu 41 tahun. Rata-rata setiap 1.5 tahun (18 bulan), pemerintah menaikkan harga BBM. Selama kurang setengah abad, pemerintah telah menaikkan harga BBM rata-rata 10.000 kali atau 1 juta % lebih mahal dari tahun 1965.
Sejarah Kebijakan 5 Presiden RI dalam Bahan Bakar Minyak
Hanya 5 kali pemerintah menurunkan harga BBM. Pertama ketika tahun 1986, Pemerintahan Soeharto menurunkan solar sebesar 17.4%. Kedua, ketika krismon tahun 1998, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut Pres. Soeharto mencabut Keppres 69 Tahun1998 tentang kenaikan BBM, dan lalu menerbitkan Keppres 78 Tahun 1998 untuk menurunkan kembali bensin, solar dan minyak tanah masing-masing 16.7%, 8.3% dan 20%.
Kebijakan serupa dilakukan oleh Pres Megawati menurunkan harga solar dari Rp 1,890.- kembali menjadi Rp 1,650.- di tahun 2003. Dan di masa pemerintahan SBY sekarang, harga bensin kembali diturunkan Rp 500 di awal Desember 2008 setelah kenaikan Rp 1500 di akhir Mei 2008 silam.
Ketika data statistik telah disampaikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan harga BBM di Indonesia bukanlah barang baru, lalu kemudian apa yang membuat kenaikan BBM kali ini menjadi menarik dan sangat seksi untuk diperbincangkan. Dalam pandangan saya ada 4 hal yang menarik untuk ditelaah lebih mendalam dan selanjutnya menjadi kesimpulan. Pertama adalah mengenai pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kata demi kata dalam kedua pasal tersebut sangat jelas dan transparan mengatakan bahwa setiap warga negara punya kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, jadi apa yang dikatakan Menko Perekonomian Hatta Rajasa bahwa 70 persen subsidi salah sasaran adalah menyesatkan. Subsidi secara umum bukanlah diperuntukan bagi kaum tertentu, bukan pula salah sasaran, justru ketika hal ini dijadikan alasan kenapa BBM naik maka Pemerintah blunder dan menyesatkan pemahaman dari pasal 27 UUD 1945 yang mengatakan bahwa semua rakyat Indonesia punya kedudukan yang sama dan punya hak yang sama dalam kesejahteraan. Bukan malah ada pengkotakan-pengkotakan kaya dan miskin. Dalam hal ini saya menyatakan bahwa ini blunder pemerintah dalam pernyataannya.
Hal menarik kedua adalah kajian saya terhadap bunyi pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. BBM jelas merupakan kekayaan alam yang terkandung didalam Bumi seperti apa yang disebutkan oleh pasal 33 tersebut, namun mengapa justru kekayaan Bumi Indonesia berupa BBM tersebut justru membuat rakyat semakin tertindas dan terpuruk. Independensi harga BBM tidak dimiliki oleh Indonesia, padahal secara statistik data jelas berbicara bahwa Indonesia adalah negara kaya SDA. Disini saya dapat menyimpulkan bahwa negara ini salah urus, negara ini dikelola oleh orang-orang yang salah. Ketika konstitusi secara bijak telah mengamanatkan kesejahteraan demi kesejahteraan namun Pemerintah justru menghasilkan kesengsaraan demi kesengsaraan bagi rakyat. Dalam bahasan kedua ini saya menyerukan pergantian penguasaan negara atau revolusi total dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia yang menjadi pengelola SDA Indonesia.
Hal menarik ketiga adalah sebuah pernyataan dari anggota DPR RI asal PDIP, Rieke Dyah Pitaloka ‘oneng bajaj bajuri’, dalam tayangan “Apa Kabar Indonesia Pagi” edisi 28 Maret 2012, ‘oneng’ menyatakan bahwa ada kesalahan dalam memahami makna dari APBN dan subsidi. APBN itu adalah uang rakyat untuk negara agar negara dapat menjalankan tugasnya dan yang menerima subsidi sebenarnya bukan rakyat, tapi justru rakyat yang mensubsidi anggota-anggota DPR dan penerintah lewat APBN. Saya sepakat dengan pernyataan ‘oneng’ dalam acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” tersebut. APBN memang merupakan singkatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pemaknaan secara filosofis, APBN merupakan uang rakyat yang disalurkan melalui pajak-pajak dan iuran retribusi lain yang langsung dipercayakan rakyat kepada pemerintah demi berjalannya pemerintahan yang baik dan bersih. Maka selanjutnya dapat disimpulkan bahwa rakyat, secara berduyun-duyun, gotong royong mensubsidi Negara (pemerintah, DPR, dll) agar dikemudian hari dapat mengembalikan subsidi tersebut melalui pelayanan-pelayanan publik yang baik, melalui peraturan dan kebijakan yang pro rakyat. Namun saat ini yang terjadi justru sebaliknya, yang ada malah pelayanan-pelayan publik yang keteteran dalam melayani rakyat, kemudian juga diperparah dengan peraturan dan kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat. Kebijakan menaikan BBM salah satu bukti kegagalan pemerintah menggunakan uang rakyat dalam menentukan kebijakan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar